news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Mengapa Pemimpin Perempuan Publik Berpotensi Menjadi Istri Idaman?

Konten Media Partner
2 November 2019 15:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mengapa Pemimpin Perempuan Publik Berpotensi Menjadi Istri Idaman?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Judulnya agak cheesy ya. Ehehe. Tapi..
..saya hanya ingin menasihati diri sekaligus merubah mindset yang barangkali masih berpikir bahwa perempuan pemimpin adalah hal yang tak patut.
ADVERTISEMENT
Bagiku, pengalaman pemimpin (sebagai perempuan) di ranah publik adalah aset berharga bagi mengelola rumah tangga.
Tatkala perempuan dihanyutkan oleh peran kepemimpinannya — seperti menjadi sombong, tak menaati suami dalam kebaikan, tak bisa jaga kehormatan diri, serta abai dalam mengurus keluarga — maka menurutku ini fatal.
Begitu juga sebaliknya — tatkala orang berpikir jika perempuan pemimpin di ranah publik itu pasti nggak becus menata rumah tangga, memberangus kodratnya sendiri, dan opini patriarkis lainnya — menurutku ini tak tepat pula.
Nah, apa bekal-bekal yang menurutku dapat diambil dari kepemimpinan di ranah publik, untuk menjadi istri dan ibu idaman?

Pertama, mudah memahami beban kepemimpinan suami dalam rumah tangga

Kayak rindunya Dilan, menanggung beban kepemimpinan itu berat. He.. he.. Bayangkan, pemimpin bertanggungjawab untuk memastikan segalanya berjalan dengan baik!
ADVERTISEMENT
Ia juga harus memperhatikan tiap-tiap yang dipimpinnya agar hidup layak, sekaligus menjalani peran mereka secara oke.
Pemimpin juga kemungkinan besar akan kesal jika anak buahnya membangkang, tidak menghormati pemimpin, susah kooperatif, kritik dan nuntut terus tanpa solusi, ngeyel, ndagel, dan bermacam-macam.
Jika perempuan pemimpin mengerti betul beban ini, sudah semestinya ia lebih mudah mengerti pula beban kepemimpinan seorang suami. Bayangkan, bagaimana sulitnya harus nanggung anggota keluarga? Kalau anak istri nuntut non stop gimana enggak stres?
Walau misal Ibu ini punya pendapat berlainan dengan suami, ia segera ingat pengalamannya dalam pemimpin. Bahwa berbeda pendapat adalah hal niscaya, namun pada akhirnya bos lah yang menentukan keputusan akhir.
Adapun jika kebijakan pemimpin salah, itu dapat dijadikan pembelajaran bersama.
ADVERTISEMENT
Maka, berempatilah, seperti berempati pada diri sendiri.

Kedua, memadukan perasaan dan logika dalam berumahtangga

Jadi pemimpin nggak bisa kalau selamanya di-drive pakai perasaan. Apalagi perempuan itu berpotensi punya sejuta rasa, bisa-bisa keberjalanan sesuatunya nggak efisien kalau perasaan ini nggak dirapikan pikiran.
Terlalu logis dan dingin juga enggak bakal baik bagi tim. Tetap butuh energi rasa dari pemimpin buat bikin tim semangat terus buat bekerja baik.
Di ranah rumah, hal ini bakal berguna banget agar si Ibuk pemimpin ini enggak baperan. Alih-alih demikian, si Ibu justru dapat mengelola perasaannya agar tersemai hangat dalam rumah tangga — terbantu oleh logika yang merapikan.

Ketiga, terlatih untuk mengatur waktu dengan baik

Sebagai entrepreneur, menyusun jadwal kegiatan selama sepekan dan harian sangat membantuku. Aku berpikir, kebiasaan ini akan sangat membantu jika diterapkan pula di ranah keluarga.
ADVERTISEMENT

Keempat, profesionalitas manajemen membantu pengaturan peran tiap anggota keluarga agar termaksimalkan

Pemimpin yang baik bertanggungjawab agar tiap anggota timnya memiliki peran yang jelas, serta dapat memaksimalkan potensi masing-masing.
Pembagian peran ini, bisa banget diterapkan di keluarga. Mulai dari pengaturan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga sesederhana potong rumput atau cuci piring — hingga saling men-support minat dan bakat masing-masing.

Kelima, menjadi rekan diskusi kesayangan yang seru bagi anggota keluarga

Sebagai pemimpin, mengetahui isu yang tengah hits sekaligus merawat jiwa pembelajar terhadap topik-topik tertentu adalah hal yang bakal membantu banget. Apalagi, jika ia kerap kali berhubungan dengan pihak luar. Tentu perlu wawasan agar tidak sesat dan diperdaya.
Jika etos ini rajin dipupuk, kemudian dikonversi ke dalam tatanan keluarga — maka sang Ibuk ini berpotensi untuk jadi penasihat terbaik bagi suami dan anak-anaknya.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, logika serta wawasannya dapat memperkaya tiap anggota keluarga, namun di sisi yang lain kenyamanan dan kelembutannya akan memberikan sokongan psikologis yang hangat.
__
“Leave those crowns in the garage when you come home.” (Tanggalkan mahkotamu di garasi ketika pulang ke rumah.)
Begitu saran CEO PepsiCo, Indra Nooyi (Buibuk lho doi) yang sudah menikah selama 37 tahun dengan suaminya. Nggak mengungkit-ungkit ego menjadi kunci dalam kelanggengan rumahtangganya.
Tory Burch, salah seorang mompreneur juga bilang, “Prioritize your family first, then everything will fall in its exact place.” (Prioritaskan keluargamu lebih dahulu, nanti kesemuanya akan diatur dengan sendirinya.)
Atau, sebaik-baik contoh adalah istri pertama dari uswatun hasanah umat Muslim, Khadijah binti Khuwalid, seorang saudagar kaya Makkah. Ialah perempuan tegas, bijak, berwawasan luas — namun begitu penyayang — sehingga Rasulullah SAW terkenang selalu akan sosoknya.
ADVERTISEMENT
Yep. Mungkin beberapa perempuan tetap menjadi pemimpin di ranah publik setelah menikah. Tetapi ada pula beberapa yang ‘pensiun’. Enggak masalah, karena ini soal pilihan serta kesepakatan bersama keluarga. Hehe.
Namun, semoga para Buibuk ini dapat mengolah pengalaman memimpinnya menjadi energi positif penuh berkah bagi keluarga-- baik dilanjutkan maupun tidak.***