Mengapa Perceraian di China Meningkat Saat Masa Karantina di Rumah?

Konten Media Partner
1 April 2020 13:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Foto: Kelly Sikkema dalam Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Kelly Sikkema dalam Unsplash
ADVERTISEMENT
Sebagian orang berpikir social distancing atau karantina di rumah akan membuat hubungan antara suami istri yang tinggal bersama akan semakin membaik. Mereka bisa sama-sama mengisi quality time bersama, menghabiskan waktu berhari-hari dengan kegiatan yang berbeda dan mungkin juga saling mencurahkan isi hati keduanya di waktu-waktu tertentu tanpa batas ruang dan waktu, sehingga bisa lebih terkoneksi.
ADVERTISEMENT
Namun, nyatanya tidak selalu begitu. Fakta membuktikan, tingkat perceraian di China meningkat secara signifikan di tengah karantina akibat wabah virus corona. Dikutip dari DailyMail, permintaan perceraian berdatangan ke kantor urusan pencatatan pernikahan di seluruh Negeri Tirai Bambu.
Lu Shijun, manajer urusan pencatatan pernikahan di Dazhou, Provinsi Sichuan, menceritakan ada 300 pasangan yang hendak bercerai dalam tiga minggu terakhir. Lalu, satu distrik lain di Xi'an Provinsi Shaanxi, sebanyak 14 permintaan datang dalam satu hari mencapai batas maksimal yang ditetapkan oleh pemerintah setempat. Bahkan, otoritas pemerintah Fuzhou, di Provinsi Fujian telah menetapkan batas permintaan perceraian perhari yaitu 10 janji perceraian setelah menerima permintaan dalam jumlah besar.
Lu Shijun mengatakan faktor utama yang sering menjadi alasan percerian adalah karena mereka menghabiskan waktu bersama terlalu banyak saat karantina di rumah atau social distancing.
ADVERTISEMENT
"Banyak pasangan muda yang menghabiskan banyak waktu di rumah. Mereka cenderung masuk ke perdebatan sengit karena sesuatu yang kecil dan terburu-buru untuk bercerai," lanjut Lu.

Pendapat marital counselor

Foto: Hutomo Abrianto dalam Unsplash
Untuk menanggapi hal ini lebih dalam, Temali berbincang dengan Diah Mahmudah pakar psikologi sekaligus konsultan pernikahan (marital counselor). Ia mengatakan perceraian bukanlah suatu fenomena yang terjadi secara mendadak. Pasti ada proses panjang secara psikologis yang mendahuluinya.
"Fenomena perceraian itu seperti gunung es, saya melihat es atau masalah yang keluar saat perceraian hanyalah 20 persen saja. Selebihnya karena masalah tertimbun di dalam sejak dulu dan tidak terjadi mendadak. Pasti ada proses sebelumnya, bagaimana akhirnya mereka bisa memutuskan untuk melakukan perceraian," jelas Diah.
Lalu, kenapa terjadi ledakan saat mereka sering menghabiskan waktu bersama?
ADVERTISEMENT
Diah berpendapat, hal ini karena berbagai gesekan yang terjadi selama pernikahan terbuka satu persatu. Dulu, sebelum adanya wabah, ketika ada permasalahan mereka bisa pergi mencari pengalihan dengan pergi ke luar rumah. Cenderung flight atau melarikan diri dari masalah. Misalnya, dengan melakukan aktivitas di luar bertemu teman atau pergi ke tempat kerja.
"Masalah-masalah yang tidak tuntas tersebut muncul kembali di dalam rumah. Memancing konflik baru yang bisa memperparah situasi," ucap Diah.
Ada dua faktor perceraian yang menjadi sorotan, pertama dari segi frekuensi bertemu yang lebih banyak. Waktu bersama membuat mereka membuka kembali ransel emosi negatif yang selama ini terpendam dan mereka tidak punya kompetensi untuk mengelolanya.
"Kompetensi ini sangat penting dalam pernikahan, mereka harus bisa menguasai dan memperlajarinya. Kompetensi ini bisa dipelajari dalam marital conflict management," kata Diah lagi.
ADVERTISEMENT
Kedua, dari segi wabah virus. Tidak menutup kemungkinan bahwa corona membawa atmosfer emosi negatif seperti rasa takut, terancam, exhausted serta kecemasan yang meningkat akan membuat mental semakin rapuh.
Kondisi ini akan membuat orang semakin sensitif atau istilahnya "senggol bacok". Oleh karena itu, pada akhirnya kita akan sering terpancing ke dalam konflik yang sebenarnya bisa diselesaikan secara bersama.

Solusi dan cara menyikapi pasangan saat masa karantina

Foto: Siora18 dalam Unsplash
Apapun latar belakang dari kasus perceraian, kedua pasangan pasti mengawali pernikahan dalam bentuk ketertarikan dan cinta. Mereka diharuskan untuk mampu merawat cinta tersebut. Walaupun memang melalui proses yang pelik baik karena masalah personal, masalah penyesuaian antara keduanya maupun masalah di luar. Jangan biarkan masalah tersebut terus menumpuk dan akhirnya meledak menuntut penuntasan yang berujung pada perceraian.
ADVERTISEMENT
Adapun perawatan cinta, bisa dimulai dengan melakukan komunikasi yang selalu menerapkan tema harga diri. Artinya, dalam setiap komunikasi harus selalu melibatkan "kita". Hal itu berlaku di setiap ranah atau aspek pernikahan, seperti saat berbicara tentang keuangan, karier, perihal rumah, pendidikan anak dan lain sebagainya.
"Namun sayangnya, kebanyakan pasangan bergerak tidak demikian. Mereka kurang berbicara dalam perspektif bersama, bertahan dengan situasi 'maunya saya dan maunya kamu'. Mungkin jalan beriringan tapi tidak untuk mendekat. Paralel seperti rel kereta api, kan jalan dari sisi kanan dan kiri tapi tidak pernah bertemu, padahal ketemunya itu yang sangat penting dalam pernikahan." jelas Diah.
Selain dari komunikasi, perawatan cinta juga bisa dilakukan dengan mengelola pernikahan melalui tiga pilar cinta menurut Robert Sternberg. Pertama, passion atau tentang ketertarikan fisik atau chemistry pasangan.
ADVERTISEMENT
Kedua, intimacy, yaitu berhubungan dekat dengan pasangan baik dalam hal jarak maupun secara emosional. Utamanya, saling menghargai pasangan masing-masing, menerima adanya perbedaan dan saling melengkapi satu sama lain. Kemudian yang terkahir adalah commitment yaitu tentang mengelola permasalahan bersama. Mau bekerja sama untuk menyampaikan dan menyelesaikan berbagai masalah secara tuntas tanpa menghindar.
"Fenomena gunung es ini memang bisa menutupi kebaikan pasangan dan menjadikannya terkubur. Jadi, coba deh buka foto pernikahan, ingat dulu saat pertama kali bertemu. Kenapa kita suka ke pasangan dan membuat dia menjadi orang satu-satunya yang kita cintai. Nostalgia, flashback pada awal niat menikah untuk apa," jelas Diah.
Selaku muslim atau agama lain juga, pernikahan itu bukan hanya sebatas komitmen dengan pasangan tapi juga komitmen dengan Maha Pencipta. Hal itu juga bisa menjadi sebuah renuangan dan kontemplasi luar biasa untuk akhirnya kembali meneguhkan komitmen untuk menyelesaikan berbagai meacam masalah yang tidak tuntas.
ADVERTISEMENT
"Mengembalikan perspektif bersama, aku dan kamu menjadi kita. Apapun masalahnya perspektifnya jadi kita. Cari kompromi dan buat kolaborasi untuk solusi terbaik. Lalu, masing-masing pasangan juga harus punya kompetensi untuk dapat mengelola emosi negatif. Insya Alloh meskipun ada corona dan sempat terguncang, enggak bikin ambyar," pungkas Diah.
Namun, jika tidak bisa mengelola sendiri, hubungilah profesional atau marital counselor yang akan membantumu menyelesaikan masalah. Terakhir, untuk yang ingin mempelajari marital conflict management lebih lanjut terkait masa karantina wabah virus corona, Dandiah Consultant mengadakan kelas online melalui WhatsApp bertajuk Positive Parenting Series dimulai pada 11 April mendatang. Kamu bisa kepoin langsung di Instagram @dandiah_consultant***