Menjadi Minoritas Seperti Soekarno

Konten Media Partner
3 September 2019 11:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Foto: Ir. Soekarno bersama Ibu Inggit di Ende/ https://koransulindo.com
Menjadi minoritas di sebuah wilayah atau dalam sebauh keadaan tidak membuat gerak kita terbatas. Menghadapi perbedaan yang ada harus disikapi dengan terbuka dan dewasa bukan dengan perasaan sendirian dan dikucilkan. Seperti itu yang dicontohkan oleh Ir. Soenarno saat mengalami pengasingan di Ende, Flores.
ADVERTISEMENT
Diangkut dengan kapal laut selama 8 hari 8 malam tanpa diberi tahu kemana tujuan, adalah hal yang dialami Soenarno sebagai pembuka masa pengasingannya di Ende, Flores. Tiba tepat pukul 8 pagi di pelabuhan Ende, Soekarno mengalami pengasingan selama 4 tahun lamanya, dari 1934 sampai 1938.
Dalam masa pengasingan tersebut, Soekarno menjadi minoritas di wilayah barunya. Orang Jawa diantara kebanyakan Orang Timur atau Flores. Orang beragama Islam diantara kebanyakan pemeluk agama Kristen katolik dan protestan.
Tujuan dari pengasingan oleh pihak Belanda tersebut adalah supaya Soekarno merasa terbuang dan akhirnya menyerah dari perjuangannya. Di satu titik, usaha tersebut hampir berhasil, sang Proklamator hampir saja mengucap kata menyerah.
Namun berkat dukungan istrinya, Inggit Garnasih, yang turut serta dalam pengasingan, Soekarno bangkit kembali dan berjanji akan terus berjuang.
ADVERTISEMENT
Foto: https://rosodaras.wordpress.com
Berjuang di suatu wilayah yang sangat asing sebelumnya bagi Soekarno, membuat informasi yang didapat amat terbatas. Soekarno pun menjalin relasi dengan tokoh masyrakat serta agama setempat. Salah satunya adalah Soekarno menjalin persahabatan dengan dua Misionaris asal Belanda SDV (Serikat Sabda Allah), yaitu Pater Gerardus Huijtink dan Pater Joanes Bouma, di rumah Biara Santo Yosef.
Soekarno menjalin ikatan emosional yang kuat dengan dua pastor biara tersebut, meskipun keduanya berasal dari Belanda. Hingga kedua misionaris tersebut bersimpati dan mendukung cita-cita luhur Soekarno yaitu kemerdekaan Indonesia.
Soekarno pun diberikan akses untuk membaca berbagi buku dan majalah disana. Selain itu, Soekarno juga biasa berkonsultasi tentang rencana dan jadwal pementasan Tonil (sandiwara) hasil karyanya. Serta bertukar pikiran dan berbicang akrab dengan kedua kawannya tersebut yang beragama Kristen.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sejarah juga mencatat pria yang biasa disapa Bung Karno tersebut, memperluas jaringan dengan menjalin persahabatan dengan para pastur yang ada di Katedral-katedral di Ende. Sehingga Bung Karno dibebaskan untuk menggunakan perpustakaan oleh para pastor.
Foto: Gedung Immaculata yang sedang dalam tahap pemugaran/ https://journalaventure.wordpress.com
Bung Karno juga mendekati masyarakat sekitar lewat jalur kesenian. Tepatnya di Gedung pertunjukan Immaculata yang masih ada hingga saat ini, telah dipentaskan tonil drama karya Bung Karno dengan tema-tema perjuangan melawan penjajah. Tercatat, ada 13 karya drama yang telah dihasilkan oleh Bung Karno.
ADVERTISEMENT
[Penulis: Izzudin | Editor: Nurul]