Peneliti Oxford, Paparkan Fakta Tentang Buzzer di Indonesia

Konten Media Partner
7 Oktober 2019 11:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Foto: Pintrest.com
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Pintrest.com
ADVERTISEMENT
Media sosial dan politik menjadi satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan. Media sosial kini menjadi alat untuk mengomunikasikan segala macam kegiatan politik kepada masyarakat. Alih-alih dari fungsinya untuk berinteraksi secara virtual, media sosial saat ini, menjadi semakin rumit. Teknologi semakin berkembang dan pengetahuan masyarakat akan hal demikian juga kian meningkat. Hal itu menyebabkan arus informasi membludak, datang dari berbagai kalangan baik individu, kelompok ataupun lembaga. Dengan seperti itu, informasi yang tersebar menjadi sangat beragam dan tidak lepas dari resiko hoaks dan manipulasi.
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, para ilmuwan Universitas Oxford melakukan penelitian terhadap sejumlah negara yang memanipulasi opini publik lewat cyber troops atau yang sekarang kita kenal dengan sebutan buzzer. Dalam hasil penelitian yang berjudul The Global Disinformation Order,2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation, ada sekitar 70 negara yang mengerahkan aktivitas buzzer untuk menguasai opini publik. Jumlah tersebut meningkat 150% dibandingkan dua tahun lalu yang hanya menunjukkan jumlah 28 negara.
Foto: Jurnal Penelitian
Dalam jurnal tersebut, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang termasuk ke dalam daftar tersebut. Adapun platform media sosial yang sering digunakanoleh buzzer Indonesia untuk memanipulasi opini publik adalah Twitter, Whatsapp, Instagram dan Facebook. Dirilis dari data tabel, pelaku yang membiayai buzzer tersebut adalah politisi dan partai-partai politik, serta lembaga swasta yang memiliki kepentingan tertentu. Mereka mengeluarkan dana dalam kisaran satu juta sampai lima puluh juta rupiah untuk membayar para buzzer.
ADVERTISEMENT
Para buzzer yang dikerahkan bertugas untuk membentuk propaganda pro pemerintah atau partai, melawan oposisi, menjelek-jelekkan pribadi lawan, melancarkan kampanye atau membentuk opini-opini tertentu untuk memecah belah pemikiran masyarakat. Mereka membuat konten manipulasi dan menjejali media sosial dengan konten tersebut tanpa henti, penggunaan tagar juga sering digunakan agar konten manipulasi itu menjadi trending topic. Akun masing-masing media sosial yang digunakan dalam aktivitas cyber troops ini adalah akun palsu dan juga akun bot.
Sebenarnya, aktivitas cyber troops ini bukan hal yang asing dan sudah sering dilakukan. Sampai sekarang, China menjadi satu negara yang paling aktif dalam memaniulasi informasi di media sosial. Pada tahun 2019 pemerintah China memulainya dengan mencemarkan perjuangan demokrasi di Hongkong.
ADVERTISEMENT
“Mereka mengarahkan fokus manipulasi pada pengguna platform domestik seperti Weibo, WeChat dan QQ” tertulis dalam laporan tersebut. Kendati pun seperti itu, selain domestik mereka juga berusaha untuk menyasar khlayak global untuk bersimpati pada permasalahan tersebut.
Belajar dari permasalahan tersebut, kita sebagai pengguna media sosial harus semakin waspada dalam menggunakannya. Jangan gampang percaya pada informasi-informasi yang tersbar dalam media sosial. Seperti yang dikatakan pengamat media sosial, Centurion C. Priyatna dalam artikel sebelumnya, inti dari penggunaan media sosial adalah cek dan ricek. Jangan sampai kita sembarangan post, repost, replay ataupun mempermasalahkan hal- hal yang tidak jelas kebenarannya.
Foto: Unsplash.com
“Fenomena buzzer akan terus ada, apalagi setelah masyarakat tahu kalau menjadi seorang buzzer itu bisa menghasilkan. Perkembangan teknologi yang luas bisa memunculkan berbagai macam pekerjaan baru dan juga menghilangkan pekerjaan lama seperti yang sifatnya tradisional” ucap Centurion.
ADVERTISEMENT
Jadi alangkah lebih baik kita lebih bijak dan meningkatkan ilmu literasi media agar tidak mudah dibodohi oleh konten-konten di media sosial.
[Penulis: Lupi Y]