Keluar dari Zona Nyaman : Menjadi Mahasiswa Antropologi

Thasya Aulia
Mahasiswa Antropologi Universitas Brawijaya Malang
Konten dari Pengguna
4 November 2020 12:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Thasya Aulia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Gambar : Google Images
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Gambar : Google Images
ADVERTISEMENT
Menjadi mahasiswa antropologi merupakan tantangan besar yang pernah saya alami dalam hidup. Jika boleh jujur menjadi seorang mahasiswa antropologi bukan merupakan minat utama saya, tetapi adalah sebuah keputusan yang tiba-tiba saja terpikirkan. Saya benar-benar awam mengenai antropologi, bahkan baru tahu istilah program studi tersebut saat memutuskan jurusan pada saat seleksi SNMPTN.
ADVERTISEMENT
Ketika memilih jurusan, saya dibimbing oleh guru BK yang bisa dibilang menjadi tempat curhat atau keluh kesah siswa kelas 12 saat itu. Beberapa pilihan diberikan oleh guru BK tadi karena saya tidak bisa memilih jurusan yang merupakan minat saya. Saya memiliki minat di seni rupa dan desain, namun harapan tersebut kandas karena tidak disetujui oleh orang tua untuk kuliah pada satu perguruan tinggi di Bandung yang cukup terkenal. Selain itu saya memikirkan biaya tiap semesternya, saya anak pertama dan orang tua saya masih memiliki 3 tanggungan anak lagi. Apapun kampusnya, jika berhubungan dengan desain komunikasi visual memiliki uang semester yang cukup tinggi.
Namun karena ingin keluar dari Jakarta yang merupakan tempat lahir saya sendiri, saya memiliki tekad yang cukup kuat untuk memilih kampus di luar Jakarta. Pilihan tersebut tertuju pada banyak kampus dan akhirnya memutuskan untuk memilih Universitas Brawijaya. Oleh karena itu saya tidak ingin menyia-nyiakan nilai saya selama enam semester, saya memutuskan untuk segera masuk kampus impian tanpa mengeluarkan biaya pendaftaran sepersenpun. Saya memikirkan banyak taktik agar saya bisa masuk ke Universitas Brawijaya melalui SNMPTN. Plihan saya tertuju pada jurusan antropologi. Sebuah jurusan yang cukup awan didengar pada telinga saya, namun memiliki peluang yang cukup tinggi karena peminat jurusan tersebut bisa dibilang cukup sedikit. Saya yakin dan mengunci pilihan pada antropologi. Setelah memilih barulah saya mencari tahu lebih dalam mengenai antropologi. Ternyata cukup menarik namun saya masih belum paham mengenai sebenarnya studi ini belajar apa sih? Saya sangat bersyukur ketika pilihan yang saya pilih menjadi nyata, ya saya masuk jurusan Antropologi di Universitas Brawijaya. Rasa senang dan takut ternyata melebur menjadi satu. Pada satu sisi saya sangat senang dan bangga pada diri sendiri karena telah berhasil tetapi di sisi lain saya juga takut salah jurusan. Namun karena belum dijalani, saya memutuskan untuk tetap tenang dan mempersiapkan diri agar tidak terlalu terkejut saat sudah menjalaninya.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, awal-awal menjadi seorang mahasiswa antropologi bagi saya ternyata sangat berat. Saya ingin menyerah saja rasanya, karena benar-benar tuntutan yang ada merupakan kebalikan dari passion saya. Saya tidak terlalu suka membaca, namun dituntut untuk selalu membaca. Apalagi tulisan dari jurnal yang ada tentu cukup berat bagi saya saat itu. Saya juga tidak suka menulis, tetapi disini saya dituntut untuk bisa menulis dengan baik. Selain itu tidak boleh ada plagiasi dalam tulisan sekecil apapun, wah benar-benar mau gila saja rasanya. Masa-masa paling berat adalah ketika mengimbangi tugas kuliah, tugas ospek, dan organisasi. Saat menjadi maba saya sudah memulai untuk berorganisasi pada salah satu organisasi pusat yang ada di Kampus. Tujuannya adalah agar tetap menjalankan passion (desain) disamping menjalankan kewajiban sebagai mahasiswa antropologi.
ADVERTISEMENT
Setiap malam terutama menjelang ujian akhir rasanya membuat kepala saya pening. Ketika saat masih sekolah ujian yang diberikan adalah ujian tulis, kali ini ujian diberikan berbentuk project. Memang ujian tersebut di bawa pulang, namun proses pengerjaannya yang membutuhkan waktu lebih lama dari ujian tulis. Setiap dosen memberikan paper yang berbeda, sehingga saya harus mengerjakan lebih dari satu paper yang bertumpuk. Selain itu pembuatan paper tidak boleh asal, sumber harus tervalidasi salah satunya adalah jurnal ilmiah. Saya dan teman-teman mulai mengerjakan project tersebut sampai tidak tidur. Wah disini “the power of kepepet” seringkali menjadi andalan. Berkali-kali saya memutuskan untuk mundur, namun bagaimanapun juga saya harus bertanggung jawab atas pilihan saya. Mau susah, mau senang karena itu adalah pilihan saya maka sebisa mungkin saya menjalankan semua itu dengan sebaik-baiknya.
ADVERTISEMENT
Semester demi semester saya lalui dan banyak sekali lika-liku disana. Meskipun saya merasa bahwa ilmu yang saya miliki masih sangat kurang, tetapi disini saya mendapat pelajaran hidup yang cukup berharga. Pertama, karena didikan yang cukup keras disini membuat saya berpikir untuk lebih “memanusiakan manusia”. Kedua, membaca adalah sebuah kebiasaan yang harus diterapkan oleh setiap manusia. Selain menambah wawasan, manfaat dari membaca dan memahami sesuatu dengan baik bisa memberikan dampak yang baik bagi kehidupan. Terakhir, belajar bertanggung jawab dan berjuang untuk memberikan yang terbaik atas pilihan yang telah ditentukan. Beberapa poin yang telah disebutkan tadi jujur saja membuat saya menjadi seorang pribadi yang lebih bertanggung jawab dari sebelumnya. Jadi kesimpulannya, meskipun disini sangat berat bagi saya tapi saya juga mendapat pelajaran berharga bagi hidup. Jujur saja sampai saat ini semakin berat, namun disitulah tantangannya. Semoga saja saya bisa menyelesaikan studi dengan baik sampai akhir dengan hasil yang memuaskan.
ADVERTISEMENT