Mereka yang Tersisih oleh Kapitalisme dalam Film Lead Me Home

Muhammad Thaufan Arifuddin
Pengamat Media dan Politik. Penggiat Kajian Filsafat, Mistisisme Timur dan Cultural Studies. Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Konten dari Pengguna
21 Oktober 2023 12:11 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Thaufan Arifuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ada ribuan tunawisma di Amerika hari ini sebagai akibat dari sistem kompetisi kapitalisme. Foto: https://www.pexels.com/
zoom-in-whitePerbesar
Ada ribuan tunawisma di Amerika hari ini sebagai akibat dari sistem kompetisi kapitalisme. Foto: https://www.pexels.com/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Film Lead Me Home rilis tahun 2021, tetapi masih tayang di platform Netflix minggu ini. Film dokumenter yang disutradarai oleh Pedro Kos dan Jon Shenk ini memperlihatkan sisi lain dari paradoks Amerika. Di balik megahnya kapitalisme Amerika dan ideologi "American Dream" ada segelintir orang yang tersisih dan terpaksa memilih hidup di jalan sebagai tunawisma (homeless).
ADVERTISEMENT
Film ini secara apik memotret kota-kota di sekitar pantai Barat Amerika tepatnya di Los Angeles, San Francisco dan Seattle. Film ini menggunakan kacamata "show don't tell approach" untuk menunjukkan sisi kemanusiaan yang terpinggirkan di balik megahnya gedung-gedung pencakar langit Amerika.
Sekitar 500.000 warga Amerika yang harus tidur di dalam tenda-tenda setiap malam di Amerika. Film Lead Me Home hanya memotret potongan kecil dari realitas kaum pinggiran di Amerika.
Film ini memperlihatkan pergulatan kemanusiaan beberapa tunawisma yang harus menjalani kehidupan keseharian mereka di bawah langit Amerika dengan ragam permasalahan dan harapan. Benar-benar wajah pergulatan bumi manusia Amerika.
Tunawisma (homeless) bukan fenomena alamiah tetapi fenomena sistem kapitalisme di wilayah urban. Foto: https://www.pexels.com/
Dalam film ini direpresentasikan beberapa tunawisma Afro-Amerika yang sudah uzur yang masih berharap memiliki tempat tinggal untuk menetap dan menata masa depan. Mimpi ini seirama dengan keinginan seorang tunawisma transgender suatu ketika dapat merasakan hangatnya rumah tempat tinggal plus layanan psikiater yang ia butuhkan.
ADVERTISEMENT
Harapan ini juga senada dengan mimpi seorang tunawisma perempuan yang masih terlihat muda yang juga ingin memiliki tempat tinggal, tetapi nasib telah melemparkannya di jalanan selama empat tahun.
Tunawisma bisanya mendirikan gubuk-gubuk kecil untuk tempat tinggal. Foto: https://www.pexels.com/
Seorang tunawisma lainnya direpresentasikan dalam film ini. Ia seorang pria berkulit putih dan berkacamata. Ketika bercerita tentang dirinya sebagai tunawisma, ia meneteskan air mata menumpahkan perasaan dan kesedihannya.
Namun, tangisannya tiba-tiba dikontrastkan dengan megahnya jembatan Golden Gate di San Fransisco yang memotong tangisannya. Golden Gate yang dilalui oleh mobil-mobil mewah setiap hari adalah simbol pencapaian kapitalisme Amerika yang ternyata juga melahirkan paradoks ribuan tunawisma di berbagai negara bagian Amerika.
Sisi human interest film dokumenter ini juga semakin terasa dan terlihat ketika memotret kehidupan dan keseharian tunawisma-tunawisma dalam film ini. Ada yang membawa pakaiannya ke laundry koin, ada yang tinggal di penampungan, ada yang berpura-pura tabah di hadapan anak-anaknya yang masih kecil, ada yang menjadi korban kekerasan dan bahkan ada juga yang sedang menunggu kelahiran anaknya.
Golden Gate adalah simbol kemajuan kapitalisme Amerika yang ternyata juga melahirkan ribuan tunawisma. Foto: https://www.pexels.com/
Alhasil, film ini bisa memperlihatkan problem terbesar kapitalisme Amerika hari ini. Banyak warga Amerika yang tidak punya tempat tinggal sehingga tidak hidup secara layak. Tentu saja, ini bukan kutukan sejarah yang tak bisa diubah. Ini adalah wajah keserakahan manusia yang ditopang oleh sistem kapitalisme yang eksploitatif.
ADVERTISEMENT
Film ini tentu bukan tentang Amerika saja, film ini juga tentang realitas sosial di Indonesia yang meminggirkan banyak orang dan hanya menguntungkan segelintir saja. Semoga dunia bisa diubah dengan sistem humanisme kolektif sebab "another world is possible".