Kecolongan Penjagaan WBP: Alarm Keras Bagi Sistem Pemasyarakatan Indonesia

Konten dari Pengguna
29 Mei 2020 7:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mantra Arsana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi hukum Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hukum Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Oleh : I Kadek Sudiarsana S.H.
Direktur Utama Panca Paradipta Law Associates
ADVERTISEMENT
Sistem Pemasyarakatan kembali menjadi perbincangan hangat publik. Setelah pro-kontra kebijakan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengenai kebijakan integrasi dan asimilasi narapidana dan anak pidana di tengah pandemik Covid-19, kini problematika muncul adanya dugaan penyalahgunaan aturan kunjungan. Masalah ini mencuat setelah Siti Fadilah, narapidana kasus korupsi yang saat ini menjadi Warga Binaan Permasyarakatan (WBP) Rutan Pondok Bambu, muncul sebagai narasumber dalam acara talkshow milik seorang youtuber, Dedi Corbuzier.
Siti Fadilah sendiri adalah mantan Menteri Kesehatan terjerat kasus korupsi oleh Lembaga Anti Rasuah (KPK RI) terkait pengadaan alat kesehatan di kementeriannya tahun 2005 silam. Dalam kasus ini, Siti Fadilah terbukti menerima gratifikasi dengan total Rp. 1,9 miliar dan berdasarkan putusan hakim yang bersangkutan divonis 4 (empat) tahun penjara, denda Rp 200 juta, subsider 2 bulan kurungan pada tahun 2017.
ADVERTISEMENT
Dalam talkshow yang kemudian viral di media sosial ini, Dedi Corbuzier menjenguk Siti Fadilah yang sedang mendapatkan izin untuk perawatan kesehatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto. Namun dalam kunjungan ini nampak bahwa yang bersangkutan bersedia untuk diwawancara mengenai topik terkait virus corona, konspirasi dan sebagainya. Padahal sebagai seorang WBP, Siti Fadilah semestinya fokus pada kesehatannya agar segera pulih dan kembali menjalani hukumannya di Rutan.
Mengapa video talkshow ini menjadi viral dan menjadi perhatian publik? Pasalnya acara wawancara tersebut diduga tidak mengantongi izin resmi dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang menaungi perihal hak dan kewenangan WBP dan segala aktivitasnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Dirjen Pas Kemenkumham bahwa segala hal yang berkaitan dengan pemasyarakatan maka harus memperoleh izin dari humas Ditjen PAS Kumham.
ADVERTISEMENT
Pemasyarakatan & Pengaturannya
Terlepas dari substansi talkshow yang dilakukan Deddy Corbuzier dengan Siti Fadilah, bahwa ada ketentuan perizinan yang semestinya diperhatikan baik oleh Deddy Corbuzier sebagai pembawa acara. Di samping itu, pejabat Lapas juga semestinya lebih memperketat pengawasan pada konteks ini. Tentu ini menjadi tidak wajar bahwa seorang WBP yang diberikan izin untuk perawatan di rumah sakit, justru melaksanakan kegiatan lain yang diduga tidak berizin. Lebih berisiko lagi kegiatan ini dilakukan di saat pandemik COVID-19, dimana masyarakat diminta untuk selalu berhati-hati dengan mengurangi kegiatan atau interaksi yang berpotensi menyebarkan Covid-19, salah satunya berkunjung ke rumah sakit jika tidak dalam kondisi darurat.
Apabila ditelisik lebih lanjut perihal kegiatan informasi publik dan dokumentasi kegiatan dengan WBP, maka kegiatan yang dilakukan oleh Siti Fadilah dan Dedy Corbuzier tersebut tidak memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI tentang Pengelolaan dan Pelayanan Informasi Dokumentasi pada Ditjen PAS, Kanwil Kemenkumham, dan UPT Pemasyarakatan yang tertuang dalam Peraturan Menteri No. M..HH-01.IN.04.03, 5 Oktober Tahun 2011.
ADVERTISEMENT
Pasal 28 ayat (1) Peraturan a quo mengatakan bahwa peliputan untuk kepentingan penyediaan informasi dan dokumentasi harus mendapatkan izin secara tertulis dari Ditjenpas. Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 30 ayat (3) bahwa peliputan hanya dapat dilakukan pada hari kerja dan jam kerja ang telah ditentukan oleh masing-masing unit/satuan kerja. Selain itu dalam ayat (4) Pasal a quo juga mengatur terkait pelaksanaan peliputan harus didampingi oleh pegawai pemasyarakatan dan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Pun kegiatan wawancara terhadap narapidana hanya dapat dilakukan jika berkaitan dengan pembinaan narapidana.
Merujuk pada aturan tersebut, maka jelas kegiatan peliputan yang dilakukan oleh Dedy Corbuzier tidak sesuai denga ketentuan-ketentuan tersebut. Terhadap fenomena ini, maka hal pertama yang menjadi fokus adalah semestinya Siti Fadilah menolak untuk menerima tamu atau kunjungan yang tidak terlalu berkaitan dengan kesembuhan kesehatannya. Hal ini terlebih lagi mengingat statusnya sebagai WBP yang seharusnya segala kegiatan yang terkait wajib mendapat izin dari lembaga pemasyarakatan/Rutan.
ADVERTISEMENT
Kedua, kejadian menjadi alarm keras bagi instansi Kementerian Hukum dan HAM khususnya Ditjen PAS dan Lapas, dan lebih khusus lagi Kepala Rutan Pondok Bambu dan Kasi Pelayanan Tahanan. Seharusnya kejadian ini tidak terjadi, tetapi dengan kecolongan fatal ini justru menimbulkan polemik di masyarakat. Terlebih ini dirasa tidak sejalan dengan kebijakan Kemenkumham untuk melepaskan narapidana dan anak pidana guna memutus penyebaran Covid-19.
Akan tetapi terhadap narapidana yang perlu mendapatkan perawatan kesehatan justru menerima tamu yang tidak semestinya. Semestinya, WBP seperti Siti Fadilah dijaga ketat dan tidak menerima kunjungan yang tidak penting dan tidak berkaitan dengan perawatan kesehatan WBP tersebut. Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan bagi publik, yakni: mengapa bisa ada tamu masuk dan mewawancarai Siti Fadilah? Apakah petugas yang bertanggung jawab menjaganya tidak melaksanakan tugas sesuai SOP?
ADVERTISEMENT
Ketiga, fenomena kecolongan ini juga menjadi alarm keras bagi Kementerian Hukum dan HAM khususnya bagian Ditjen Pemasyarakatan untuk fokus menangani masalah ekstrem overcrowded Lapas Indonesia. Oleh karena itu, permasalahan overcrowded Lapas harus dicarikan alternatif lain yang salah satunya adanya reformasi kebijakan pidana dan perubahan perspektif dari aparat penegak hukum agar tidak doyan memenjarakan orang.
Fenomena kecolongan ini, jika tidak dilakukan evaluasi, justru akan mengkonfirmasi kerugian umum bahwa lembaga pemasyarakatan mudah ‘dijebol’ karena lemahnya integritas pihak yang semestinya bertanggung jawab untuk menjaga marwahnya sebagai lembaga terakhir yang memastikan tercapainya tujuan integrated criminal justice system.