Review - 'Dragon Ball Super: Broly' is an epic earth-shattering action

The Shonet
The Shonet adalah platform lifestyle untuk perempuan dan millenials di Indonesia. Yuk kenal lebih dekat di theshonet.com
Konten dari Pengguna
18 Februari 2019 15:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari The Shonet tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dragon Ball Super: Broly merupakan installment monumental dalam seri film Dragon Ball. Film ini jadi yang pertama mengusung merek dagang Dragon Ball Super, memberi Broly status canon setelah memperoleh popularitas tinggi lewat kemunculannya di tiga judul, juga merupakan film Dragon Ball terbaik hingga kini. Dragon Ball Super: Broly sukses memaksimalkan potensi Dragon Ball perihal pertarungan over-the-top yang mengguncang dunia, bahkan banyak blockbuster Hollywood pun akan tampak kerdil di hadapan karya sutradara Tatsuya Nagamine (One Piece Film Z) ini.
ADVERTISEMENT
Filmnya bisa dibilang terbagi ke dalam dua babak. Babak pertama membawa kita kembali menuju 41 tahun lalu, menuturkan latar belakang Broly, yang dibuang oleh King Vegeta ke planet tandus bernama Vampa sewaktu kecil, sebab sang Raja tak ingin ada anak yang lebih superior daripada keturunannya, Vegeta. Ketika Frieza menghancurkan planet Vegeta bersama sebagian besar ras Saiyan, Broly cilik tengah sibuk melawan monster-monster Vampa bersama ayahnya, Paragus, yang datang untuk menyelamatkan sang anak namun justru ikut terdampar di sana.
Cerita latar ini membangun beberapa poin: Pemahaman bagaimana Saiyan dan Frieza memandang satu sama lain; menambah dimensi penokohan serta bobot emosi bagi Bardock dan Gine yang mengambil keputusan berat untuk mengirim putera mereka, Kakarot alias Son Goku ke Bumi demi keselamatannya; hingga elemen sepele seperti wujud scouter (pendeteksi level kekuatan juga posisi seseorang sekaligus perangkat komunikasi) versi lama yang bakal jadi trivia menarik bagi penggemar.
ADVERTISEMENT
Terpenting, Broly digambarkan sebagai sosok simpatik. Di Broly- The Legendary Super Saiyan (1993), masalah psikisnya dipicu karena selalu mendengar tangisan kencang Goku sewaktu bayi ditambah kontrol pikiran oleh Paragus. Sekarang, lewat naskah yang ditulis sendiri oleh Akira Toriyama, meski unsur alat pengendali milik Paragus tetap dipertahankan, tangisan Goku ditiadakan, digantikan alasan yang lebih kelam, realistis, dan relatable.
Meski luar biasa kuat, Broly sejatinya berhati lembut bahkan membenci perkelahhian. Dia hanya korban tindakan kasar sang ayah yang secara paksa mengubahnya jadi mesin petarung. Malah filmnya sempat menyelipkan momen menyedihkan yang melibatkan persahabatan singkat Broly dengan monster terbesar planet Vampa. Jalan Broly bersinggungan dengan para jagoan kita saat Frieza mengutus dua anak buahnya, Cheelai dan Lemo, mencari petarung kuat guna membantu rencananya mengumpulkan dragon ball di Bumi. Ya, salah kalau berpikir setelah Universe Survival Saga (klimaks cerita anime dan manga Dragon Ball Super) Frieza bakal berubah.
ADVERTISEMENT
Memanfaatkan dendam Paragus terhadap garis keturunan King Vegeta, Frieza menjadikan Broly ujung tombak invasinya, dan begitu mereka tiba di Bumi, Dragon Ball Super: Broly memasuki babak keduanya: mahakarya aksi epic yang membawa pertarungannya hingga ke inti Bumi yang membara. Di samping skala kehancuran, poin terbaik dari threesome Goku-Vegeta-Broly (sempat melibatkan Frieza di satu titik) adalah kreativitas tak terbatas presentasi visualnya, biarpun di luar adegan aksi kualitas animasinya kerap menurun yang mana suatu kewajaran.
Bukan saja kaya warna, visualnya pun senantiasa berganti gaya, enggan menetap terlalu lama di satu tipe sehingga kesegaran mampu dipertahankan meski aksinya terus melaju kencang selama sekitar satu jam, dan hanya sekilas diperlambat kala Goku dan Vegeta mundur sejenak dari medan perang. Begitu bombastis pertarungan antar bangsa Saiyan ini, mereka sempat seolah-olah menembus ruang dan waktu, memasuki lokasi yang nampak bak quantum realm dalam sekuen terbaik sepanjang film. Musik gubahan Norihito Sumitomo—yang turut terlibat di dua film Dragon Ball terakhir—juga membantu mempertahankan tensi.
ADVERTISEMENT
Sejak diperkenalkan 26 tahun lalu, saya selalu menganggap Broly sebagai sosok paling intimidatif dibanding antagonis lain di seri Dragon Ball. Dia brutal, besar, tak terkontrol. Broly versi baru tidak jauh berbeda, di mana wujud normalnya saja mampu mengalahkan Vegeta dalam mode Super Saiyan Rosé (the one with the red hair). Sekalinya ia berhasil menguasai transformasi Super Saiyan, bahkan kombinasi Super Saiyan Blue Goku dan Vegeta dibuat tak berdaya.
Bukan Broly seorang karakter populer yang memperoleh status canon. Seperti telah diketahui melalui materi promosinya, Gogeta (fushion Goku dan Vegeta) pun turut ambil bagian. Kemunculannya tak mengecewakan, walau memunculkan sedikit masalah kontinuitas. Saya ingat betul Goku pernah mengajukan ide fushion di tengah pertarungan melawan Kid Buu, tapi di sini, Vegeta seolah baru pertama kali mendengar gagasan tersebut. Pun agak aneh mendapati film ini tak menyinggung Ultra Instinct, mengingat mode itu sanggup mengatasi Jiren. Tapi jika anda bukan penggemar berat, hal-hal di atas takkan mengganggu.
ADVERTISEMENT
Jangan khawatir 100 menitnya bakal monoton, karena Dragon Ball Super: Broly masih sempat menyelipkan beberapa momen komikal, dengan guyonan terbaik membahas soal kemiripan permintaan yang ingin diajukan Frieza dan Bulma kepada Shenron. Konklusinya menawarkan posibilitas menarik untuk kelanjutan film maupun serinya. Menilik tradisi Dragon Ball yang gemar mengubah lawan jadi kawan, sulit menahan antusiasme membayangkan bersatunya trio Goku-Vegeta-Broly di masa depan. Kemungkinan tak berujung macam ini adalah alasan saya begitu menggemari Dragon Ball.
RATING: 4/5
Artikel ini telah dipublikasikan di: https://movfreak.blogspot.com/2019/02/dragon-ball-super-broly-2018.html