news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Bitcoin dan Ethereum: Mungkinkah Gantikan Uang Tunai di Masa Depan?

20 Juli 2017 16:34 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bitcoin (Foto: Flickr)
zoom-in-whitePerbesar
Bitcoin (Foto: Flickr)
ADVERTISEMENT
Bitcoin dan Ethereum. Pernahkah Anda mendengar tentangnya? Keduanya sebetulnya punya beberapa persamaan mendasar. Mereka sama-sama masuk ke dalam klasifikasi cryptocurrency, sebuah unit virtual yang berfungsi sebagai alat tukar dalam dunia digital.
ADVERTISEMENT
Jenis alat tukar virtual macam BitCoin dan Ethereum tersebut sangat mudah memperoleh popularitas karena menawarkan banyak keuntungan.
Misalnya, alat tukar virtual tersebut menggunakan teknik enkripsi dan algoritma rumit yang final dan terdesentralisasi secara peer-to-peer untuk mengatur pembentukan unit uang dan memverifikasi pemindahan unit-unitnya. Dari situ, ia bebas dari kemungkinan bobolnya server pusat dan memotong kebutuhan membayar pihak ketiga (seperti bank) untuk menggunakan jasanya, seperti memindahkan uang.
Sifat utama lainnya adalah bahwa mereka bergerak secara independen, terpisah dari bank sentral negara. Sistem mata uang virtual bekerja secara tertutup sepenuhnya lewat saluran blockchain, di mana pengguna Bitcoin betul-betul tertutup dan anonim satu sama lain.
Ini berarti, pergerakan uang virtual tersebut --di kebanyakan negara-- sama sekali bebas dari pajak dan nilainya tidak bisa diturunkan atau dinaikkan oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Bitcoin (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bitcoin (Foto: Pixabay)
Dengan meningkatnya popularitas dan terbatasnya pasokan Bitcoin dan Ethereum, yang kemudian terjadi mudah ditebak: nilai mereka naik.
Pada April 2015, satu BTC hanya bernilai sekitar 230 dolar AS, atau Rp 3 juta. Kini, sekeping (virtual) BTC mencapai 2.200 dolar AS atau senilai Rp 30 juta rupiah. Naik 10 kali lipat dalam waktu dua tahun saja.
Hal yang sama juga terjadi pada Ethereum. Pada 2016, harga Ethereum masih berada di angka Rp 80.000 sampai Rp 90.000 per 1 Ethereum. Namun, kini angka tersebut meningkat tajam.
Oscar Darmawan, pendiri dan CEO Bitcoin.co.id (bursa cryptocurrency paling populer di Indonesia), menjelaskan harga Ethereum mencapai Rp 2,5 juta pada Sabtu (15/7) lalu.
“Waktu itu pernah mencapai angka tertinggi Rp 4 jutaan per 1 Ethereum,” kata Oscar ketika berbincang dengan kumparan di kantornya, kawasan Epicentrum, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (19/7).
CEO bitcoin.co.id Oscar Darmawan. (Foto: Wandha Nur/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
CEO bitcoin.co.id Oscar Darmawan. (Foto: Wandha Nur/kumparan)
Tingginya nilai cryptocurrency tentu saja membuat banyak orang berebut untuk mendapatkan Bitcoin dan Ethereum. Uang virtual tersebut dinilai bisa menjadi ladang investasi yang menjanjikan, apalagi tren penggunaannya sebagai uang virtual juga semakin diakui secara luas.
ADVERTISEMENT
Kini, setidaknya ada 100 perusahaan yang menerima pembayaran menggunakan Bitcoin. Perusahaan-perusahaan ini mencakup raksasa bisnis dunia seperti Amazon, Microsoft, Dell, Steam, Rakuten, dan sebagainya.
Penerimaan cryptocurrency sebagai alat tukar di perusahaan-perusahaan besar tersebut juga secara konstitutif menaikkan nilai Bitcoin dan Ethereum yang disebabkan oleh peningkatan permintaan, sementara penawaran Bitcoin sendiri terbatas.
Namun, Bitcoin dan Ethereum sejak awal diatur secara algoritmik untuk dibatasi produksinya.
Jumlah Bitcoin dibatasi sampai mencapai 21 juta BTC (satuan Bitcoin). Sementara Ethereum disebut-sebut hanya akan memiliki, maksimal, 230 juta ether (satuan Ethereum).
Sampai saat ini, pasokan Bitcoin yang beredar hanya sekitar 7 juta BTC, sepertiga dari seluruh jumlah BTC yang akan dikeluarkan. Sementara Ethereum per April lalu, baru tersebar 91 juta Ether--sekitar 40 persen dari jumlah yang direncanakan dikeluarkan.
ADVERTISEMENT
Uang BTC dan Ether yang belum muncul dapat diakses dengan cara “mining” atau “menambang”, yang sebetulnya hanyalah kiasan dari tukar guling server tambahan dari pengguna (yang berupa komputer-komputer canggih), dan ditukar dengan BTC dari jaringan global Bitcoin sendiri.
Sebuah toko di AS terima metode bayar Bitcoin. (Foto: REUTERS/Mark Blinch)
zoom-in-whitePerbesar
Sebuah toko di AS terima metode bayar Bitcoin. (Foto: REUTERS/Mark Blinch)
Peningkatan penggunaan alat tukar virtual, penerimaannya yang lebih luas, dan menurunnya pertumbuhan penggunaan uang kertas membuat banyak orang percaya bahwa cryptocurrency macam Bitcoin dan Ethereum adalah masa depan.
Bahkan, seorang profesor ekonomi dari Australian National University (ANU), Rabee Tourky, menyebut bahwa “...dalam 10 tahun ke depan, tidak akan ada lagi uang tunai.” Ia menyebut posisinya akan digantikan oleh digital cash.
Namun pertanyaannya: apa betul cryptocurrency macam Bitcoin dan Etherum bisa menggantikan peran uang tradisional di masa depan?
ADVERTISEMENT
Tak semudah itu. Bahkan, Tourky membuat beberapa catatan dari argumen yang ia keluarkan sebelumnya: uang digital yang bagaimana yang akan menggantikan uang tunai?
“Di Australia sendiri, apa yang akan menggantikan posisi uang kertas? Apakah Bitcoin? Saya kira tidak. Lebih mungkin justru ‘AusBit’, uang digital yang bisa dikeluarkan pemerintah Australia,” ucap Tourky.
Lho, mengapa Tourky justru mengajukan nosi hubungan pemerintah-uang digital bagi masa depan ekonomi dunia? Bukankah hal pertama yang menjadikan Bitcoin diagung-agungkan adalah keterlepasannya dengan pemerintah (dan kemungkinan politisasi karenanya) serta anonimitas dan fluktuasi nilai yang lepas dari campur tangan bank sentral?
Ethereum (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ethereum (Foto: Thinkstock)
Tourky menilai, ada beberapa hal dalam cryptocurrency macam Bitcoin dan Ethereum yang membuat masyarakat secara umum keberatan untuk menggunakannya secara luas, apalagi sampai menggantikan uang kertas.
ADVERTISEMENT
“Orang-orang tak begitu memercayai uang-uang virtual ini karena tidak disahkan atau dikeluarkan oleh pemerintah,” ucap Tourky. “Karena tidak adanya pengesahan ini, tidak jelas juga infrastruktur yang menopangnya. Tidak ada, kan, kartu kredit Bitcoin?”
Tingkat kepercayaan masyarakat pada Bitcoin disebut Tourky menjadi elemen penting dalam menilai kemungkinan alat tukar digital itu menggantikan uang cetak.
Masalah lain adalah dari segi ekonomi sendiri, yang membuat Bitcoin dan semacamnya dinilai tak cocok menjadi mata uang. Ini terkait dengan kenyataan bahwa pasokan Bitcoin terbatas, berbeda dengan uang kertas yang bisa dicetak lagi dengan pengamatan serius oleh bank sentral.
Seperti dibahas sebelumnya, pasokan cryptocurrency terbatas sementara permintaan atasnya selalu naik, membuat nilainya terus naik.
Dengan kata lain, akan terjadi fenomena yang dinamakan deflasi. Yang bakal terjadi adalah jumlah uang yang sama akan dapat digunakan untuk lebih banyak barang. Alias, harga barang akan jatuh.
ADVERTISEMENT
Keadaan ini amatlah ‘beracun’ bagi ekonomi makro sebuah negara, karena di mana-mana, deflasi selalu akan menimbulkan hoarding, atau penimbunan mata uang. Logikanya adalah, “Mengapa harus membeli sesuatu sekarang, kalau besok nilai Bitcoin akan naik dan harga barang akan jadi lebih murah?”
Hal ini membuat permintaan terhadap Bitcoin terus naik, membuat keadaan yang disebut speculative bubble muncul ke permukaan.
Dan logika tersebut jelas akan menghancurkan aktivitas ekonomi suatu negara. “Ekonomi lesu,” begitu kata tajuk-tajuk di berita. Ketika kegiatan jual-beli terhenti, bisnis bangkrut, investasi macet, dan perputaran uang mati suri. Economic depression.
Cara menanggulangi kelesuan ekonomi? Paul Krugman, begawan ekonomi dari negeri Donald Trump, menilai cara yang paling mudah adalah meningkatkan suplai uang untuk menyeimbangkan permintaan uang di pasar.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut akan menghentikan penimbunan uang, dan akan membuat uang tersebut dipakai (untuk membeli lagi), dan akan memastikan perputaran aktivitas ekonomi tetap terjaga.
Padahal, jumlah pasokan Bitcoin dan cryptocurrency seperti Ethereum terbatas. Maka dari itu, Bitcoin dan uang virtual lain akan berfungsi baik-baik saja sebagai aset investasi, tapi belum mungkin menjadi mata uang utama yang menggantikan, katakanlah, dolar atau rupiah.