Butet Kartaredjasa: Dari Cuci Otak ke Pameran Lukis Keramik Goro-goro

3 Desember 2017 15:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Sebagian orang mengenalnya sebagai aktor di sebuah film anak yang meroket belasan tahun lalu. Sebagian lain mengenalnya sebagai komedian dengan mimik muka yang khas.
ADVERTISEMENT
Sebagian lagi mengenalnya sebagai seniman monolog, pembicara ulung yang terampil mengubah intonasi dan pelaguan suara menjadi berbagai watak dan tokoh sekaligus.
Tak sedikit pula yang mengenalnya sebagai bintang salah satu program televisi, di mana ia dengan lucu mengkritik berbagai geger di republik yang mulai menua tapi tetap tak tahu diri ini.
Namun, kali ini Butet Kartaredjasa justru muncul ke permukaan sebagai seorang pelukis keramik. Tidak menjalani lakon penculik anak-anak di film, tidak melucu di layar kaca, tidak melantangkan suara di depan mikropon, tapi melukis --menuangkan cat di atas keramik.
“Ini ziarah ke masa lalu saya. Karya seni rupa adalah masa lalu saya,” kata Butet saat diwawancarai kumparan, Senin (27/11).
ADVERTISEMENT
Mendapati air muka kami yang sedikit tak percaya, Butet meyakinkan, “Saya sekolah tingkat SMA itu seni rupa, di Jogja. Perguruan tinggi juga seni rupa.”
Butet Kartaredjasa (Foto: Tomy Wahyu/kumparan)
Butet santai saja sore itu. Sandal jepit karet dan celana kargo menemani ia berjalan-jalan di sekeliling Jakarta. Di badannya, gambar Gundala Putera Petir menawarkan jasa ‘stroom accu’ tertempel di muka kaus oblong hitam.
Selain bingkai kacamata kayu (yang memang produk jualannya) bertengger di pangkal hidungnya, tampak bagi Butet, gaya menjadi perkara nomor sekian setelah kenyamanan.
“Aku udah nyampe. Merokok dulu di depan,” pesannya saat sampai di kantor kumparan.
Kopi hitam pekat dipesan. Ia bersantai sejenak, mengobrol ringan, bertukar kabar dengan kawan lama. Laki-laki berusia 56 tahun bernama lengkap Raden Mas Bambang Ekoloyo Butet Kartaredjasa ini jelas menikmati hidupnya.
ADVERTISEMENT
Ia baru saja selesai mengurus persiapan di Galeri Nasional Indonesia, tempatnya menggelar pameran Goro-Goro Bhinneka Keramik. Pameran tersebut dibuka oleh Pramono Anung, Sekretaris Kabinet RI, pada 30 November 2017, dan akan digelar sampai 12 Desember 2017.
Namun, dengan segala pengalaman dan sepak terjangnya, membikin pameran seni rupa tunggal dengan 138 objek sebagai lakon pamerannya tetap menjadi hal baru bagi seorang Butet Kartaredjasa.
“Ribet,” katanya. Ia menghabiskan waktu tiga tahun untuk meramu karya dan mempersiapkan pameran ini. Bolak-balik Jogja pun menjadi perkara yang mau tak mau ia lakukan.
“Kayak mau ngunduh mantu lagi,” Butet terkekeh.
Pembukaan pameran tunggal Butet Kertaradjasa (Foto: Ulfa Rahayu/kumparan)
Digelar selama 12 hari, Butet perlu waktu tiga tahun untuk mempersiapkan pamerannya. Sejak 2015, di sela-sela kesibukannya, Butet telah memulai apa yang disebutnya sebagai double-track. Sembari tetap fokus di dalam seni pertunjukan, ia telah mulai menggali kembali dunia yang sama sekali berbeda dengan yang ia tinggalkan berpuluh tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Pendidikan tingkat menengah atasnya memang dihabiskan di Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI), sekolah empat tahun yang kini menjadi SMK Negeri 3 Kasihan Bantul. Setelah itu pun, ia tetap memilih seni rupa sebagai jalur pendidikan resmi, dengan berkuliah sejak 1982 di STSRI “ASRI” (kini menjadi ISI Yogya) jurusan seni rupa.
Namun, meski secara formal Butet fokus pada seni rupa, kegiatan di luar dinding sekolahnya justru ia habiskan dengan memanen ilmu di bidang seni peran. Ia menekuni dunia teater dengan amat getol. Tak kurang, Teater Gandrik, Teater Dinasti, Teater Koma, dan Teater Mandiri menjadi fragmen panjang tempat Butet mengasah kemampuan berakting.
Tak hanya di teater, Butet juga memperluas pengalamannya di dunia sinetron --macam Oom Pasikom, Badut Pasti Berlalu, dan Komedi Nusa Getir-- serta dunia perfilman nasional --seperti Petualangan Sherina, Banyu Biru, Drupadi, Tiga Doa Tiga Cinta, dan Soegija.
ADVERTISEMENT
Butet juga aktif di beberapa program televisi, seperti variety show Pasar Rakyat 76, filler 76 DETIK, juga serial Sentilan Sentilun (menjadi Republik Sentilan Sentilun sejak 2016) yang berhenti tayang sejak Juni 2017 lalu. Ia juga sempat mengerjakan proyek audiobook novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang durasinya mencapai 23 jam.
Semua pengalaman itu tentu saja melambungkan nama Butet Kartaredjasa. Tak ada lagi yang meragukan kemampuannya dalam berkarya seni peran. Gelar seni rupanya ini, meski tak sepenuhnya mengagetkan, menimbulkan sebuah tanda tanya besar bagi para pengikut sepak terjang Butet di dunia seni Indonesia.
Mengapa sekarang? Mengapa Butet, yang sudah mapan beradu akting dan seni peran, serta monolog yang membuatnya dikenal di seantero Indonesia, malah beralih melukis, di media yang tak biasa pula --keramik. Pasti ada suatu hal mahadahsyat yang mendasari keputusan itu. Atau begitu setidaknya yang semula ada di pikiran kami.
Pameran tunggal Butet Kertaradjasa (Foto: Ulfa Rahayu/kumparan)
“Ya, karena sedang jadi pengangguran,” jawabnya, begitu saja. Butet seperti hendak tertawa tapi kemudian ditahan-tahan.
ADVERTISEMENT
Ia lanjut menjelaskan, bahwa di tahun 2015, ia sempat melakukan terapi cuci otak dengan dr. Terawan Agus Putranto --sebuah terapi yang biasanya ditujukan untuk menyembuhkan penyakit stroke.
“Nah, ternyata efek dari terapi itu, file-file memori saya di otak seperti dihidupkan kembali. Yang saya rasakan adalah dorongan ingin melukis, yang merupakan kegiatan masa lalu saya itu, seperti menggedor-gedor saya, seperti ingin sekali melakukan itu,” jelasnya. “Maka saya melukis. Mengikuti apa kata tubuh.”
Melukisnya Butet tentu saja tak sembarang melukis. Ia memilih untuk tidak melukis di atas kanvas. Terlalu biasanya, katanya. Ia ingin sesuatu yang lain. Sesuatu yang unik, di mana ia bisa bereksperimen, mencoba hal baru, dan belajar kembali.
Jawabannya justru muncul dari sebuah fragmen hidup yang tak sengaja ia temukan. Sebuah kebetulan yang terjadi justru tujuh tahun sebelum ia mulai melukis kembali.
ADVERTISEMENT
“Sekitar tahun 2008, suatu hari saya pernah tersesat di pabrik keramik,” ujarnya.
“Saya melihat satu potensi. Saya melihat peluang untuk bisa saya lakukan kalau saya kembali melukis,” ujar Butet, yang kemudian mendatangi pabrik itu lagi, delapan tahun setelahnya.
Butet Kartaredjasa. (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
Ternyata, pabrik yang dulu ia temui tak berada dalam kondisi baik. Pabrik PT Tri Margajaya Hutama milik empu keramik Lydia Kusuma Hendra itu sedang tidak produktif. Padahal, kata Butet, peralatan dan infrastruktur yang ada di dalam pabrik tersebut masih tersedia dan terjaga dengan baik.
“Ya udahlah, mulai sejak itu saya melukis. Tanpa tendensi, tanpa planning, pokoknya melukis saja. Ternyata saya semakin keasyikan, bablas, sampai tiga tahun itu saya melukis di atas keramik, dengan eksperimen macam-macam,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Melukis di atas media keramik, memberi kepuasan tersendiri bagi sosok yang menolak disebut “budayawan” tapi minta dipanggil “pengecer jasa akting” itu.
“Kalau ini (melukis di keramik) prosesnya ribet, rumit. Karena hasil yang kita bayangkan tidak bisa langsung terlihat.”
Butet bercerita, banyaknya tahapan dalam melukis keramik membuatnya banyak menemui surprise-surprise baru yang tak ia bayangkan sebelumnya. Ia bisa sudah puas dengan lukisan keramik sebelum melalui proses pembakaran. Namun, ketika pembakaran itu usai dilakukan, muncul hasil yang berbeda yang memberikan perspektif dan pemanaan baru bagi Butet.
Mengingat proses membikin keramik cukup panjang (melewati pembakaran, glasure, penambahan warna on glass, pembakaran kembali, hingga makeup terakhir dengan baja atau kayu), Butet tak kurang-kurangnya dihibur dan dibuat belajar lewat munculnya hasil-hasil yang tak terduga.
ADVERTISEMENT
Hasil tak terduga ini mewujud pada beberapa lukisan Butet bertemakan Punakawan.
Dalam lukisan-lukisan Butet, sosok empat pembantu ksatria Pandawa itu tampak pecah menjadi dua bagian. Tubuh Semar terbelah di perut sampai kepalanya, sosok Gareng terpisah antara kepala dan badannya, begitu pula yang terjadi pada Petruk serta Bagong.
Mereka terpecah belah, tak lagi menjadi satu seperti selayaknya keempat sosok tersebut mengambil peran di pewayangan Jawa. Padahal, Panakawan, yang menjadi perlambang rakyat di mitologi asli India itu, selalu tampil bersama sebagai sebuah kesatuan. Mereka menjadi perlambang rakyat, yang meski bodoh, selalu jujur menjaga keutuhan harmoni sebuah bangsa.
“Nah, itu pecahnya, terbelahnya, sudah sejak dilukis, atau pas dibakar?” Butet bertanya retorik, tak memberikan jawaban. Tapi, dari kekeh renyah yang mengikuti pertanyaan itu, sudah jelas bagaimana proses pembuatan lukisan Panakawan itu terjadi.
ADVERTISEMENT
“Seniman kan begitu. Bikinnya apa, jadinya apa, hehe. Tapi malah jadi ada yang baru kan? Ada makna berbeda yang terjadi lewat proses itu tadi,” ujar Butet membela karyanya.
Punakawan Unfriend (Foto: Dok. Goro-Goro Bhinneka Keramik)
Tak salah memang. Dari situ, Butet memaknai dan justru menjuduli ulang pecah lukisannya sebagai “Panakawan Unfriend”. Panakawan, rakyat itu sendiri, sudah pecah dan terbelah. “Surprise” pengerjaan keramik itu justru memberikan arah baru bagi tema besar materi pertunjukannya.
“Di zaman goro-goro ini, bahkan Panakawan pun sudah saling meng-unfriend, atau di-unfriend,” tulisnya dalam pamflet Bhinneka Goro-Goro Keramik yang berisi katalog pameran.
Butet mengatakan, pemilihan tema goro-goro oleh kuratornya, Adi Wicaksono, sungguh sangat tepat. Baginya, Indonesia kini berada di fase goro-goro, fase krisis yang memuncak, fase di pewayangan yang biasanya diikuti (atau menjadi jeda) dari peperangan antara tokoh mulia dan batil.
ADVERTISEMENT
Dan justru di fase genting itu, muncullah para Panakawan, yang mengingatkan dan memberi nasihat kepada para ksatria. Pameran Butet di sini, juga dimaksudkan mengambil peran Panakawan yang mengingatkan.
Materi seperti kebhinekaan, goro-goro, tolak bala, Panakawan, dan Gus Dur Bapak Toleransi itu, agaknya mengingatkan para “ksatria” untuk lebih berhati-hati dalam mengambil tindakan.
“Afinitas atau rekatan sosial kita hari ini memang sangat rapuh,” tutur Butet. Menurutnya, Indonesia terancam pecah. Keindahan harmonis yang sedianya abadi itu terganggu.
Tapi, pesan Butet seperti tercermin dalam pameran Bhinneka Goro-Goro, “Jangan kapok menjadi Indonesia.”
“Meski segalanya siap pecah, proses itu harus terus dijalani. Kita dapat menata kembali kepingan demi kepingan, serpihan demi serpihan, menjadi kolase baru, kebhinnekaan baru, ke-Indonesiaan baru. Terus-menerus.”
Pameran Goro-Goro Bhinneka Keramik (Foto: Istimewa)
Bagaimana? Tertarik dengan perjalanan Butet kembali ke masa lalunya? Anda bisa menyaksikannya di pameran Goro-Goro Bhinneka Keramik, di Gedung A Galeri Nasional Indonesia, hingga 12 Desember 2017 nanti, dari pukul 10.00 hingga pukul 19.00 WIB.
ADVERTISEMENT