Jutaan Dolar agar Trump Diam soal Kontrol Senjata

19 Februari 2018 18:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Garfield (Foto: Garfield by Jim Davis)
zoom-in-whitePerbesar
Garfield (Foto: Garfield by Jim Davis)
ADVERTISEMENT
Kalau berbicara soal penembakan massal di Amerika Serikat, adegan di komik strip Garfield buatan Jim Davis di atas hampir bisa menjelaskan segalanya. Amerika Serikat tak belajar dari kesalahan, sehingga masyarakatnya harus dibantai dengan cara yang sama.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, tak bosan-bosan.
Begini skenario yang terus berulang:
Pemakaman korban penembakan Florida (Foto: REUTERS/Jonathan Drake)
zoom-in-whitePerbesar
Pemakaman korban penembakan Florida (Foto: REUTERS/Jonathan Drake)
Seperti yang telah panjang lebar kami jelaskan pada artikel Senjata Makan Tuan Amerika, perdebatan antara Gun Right dan Gun Control sudah bukan lagi soal berhak tidaknya seorang masyarakat AS memiliki senjata.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, kepemilikan senjata telah menjadi budaya. Akses senjata amat mudah. Senjata-senjata bahkan yang semi-otomatis bisa dibeli di supermarket macam Walmart.
Berdasarkan riset Pew Research Center pada 2017, sebanyak 42 persen masyarakat di AS memiliki senjata atau setidaknya tinggal di rumah yang punya senjata.
Tak hanya itu, berdasarkan Small Arms Survey di 2011 yang dikutip dari BBC, rasio kepemilikan senjata oleh masyarakat sipil di AS lebih tinggi ketimbang negara-negara macam Irak, Swiss, Austria, dan Yaman --dengan dua terakhir tinggi karena wajib militer.
Hasilnya jelas. Lima tahun belakangan, jumlah korban tewas akibat senjata di AS selalu meningkat. Pada 2018 saja, setidaknya sampai 19 Februari, sudah 1.976 orang di AS tewas karena senjata. Ya, hampir 2.000 dalam 50 hari saja.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, kejadian penembakan massal (dengan minimal empat orang tewas, seperti yang terjadi di sekolah di Florida) sudah terjadi 34 kali.
Alasan kepemilikan senjata untuk perlindungan diri adalah perspektif konyol, dan data ini bisa menggambarkan kekonyolan itu: pada 2018, penembakan secara tidak sengaja terjadi sebanyak 229 kali, sementara penggunaan senjata untuk melindungi diri cuma 197 kali.
Sebenarnya dorongan untuk mengubah peraturan --atau lebih tepatnya memperketat aturan dan izin kepemilikan-- banyak disuarakan. Misalnya saja oleh Coalition to Stop Gun Violence, Everytown for Gun Safety, sampai para korban lewat National Gun Victims Action Council.
Namun, dapat ditebak, usaha-usaha tersebut selalu mentok di tangan aliran deras dana para pelobi ke para politisi AS. Uang yang tiap tahunnya mencapai USD 10 juta dialirkan pada senator AS dan calon presiden untuk memastikan kemudahan memiliki senjata tak terganggu.
ADVERTISEMENT
Sudah bukan rahasia lagi bahwa kelompok pro-Gun Rights (yang mendukung kebebasan dan kemudahan memiliki senjata) macam National Shooting Sports Foundation (NSSF), National Riffle Association (NRA), dan National Association for Gun Rights (NAGR), punya pengaruh banyak dalam budaya tembak-menembak di AS.
NRA, misalnya, memiliki lima juta anggota di seluruh AS. Anggaran tahunan NRA sendiri mencapai USD 250 juta, yang didistribusikan untuk program pendidikan, pembangunan fasilitas tembak, penyelenggaraan acara rutin untuk anggota, sponsor, hingga advokasi hukum bagi para anggotanya.
Kelompok-kelompok itu pun tak ragu mengeluarkan jutaan dolar bagi para politisi AS agar kepentingan mereka tak terganggu. Berdasarkan data Senate Office of Public Records AS, terdapat USD 10,5 juta yang dikeluarkan oleh pelobi untuk politisi AS pada 2017 saja agar mendukung kepentingan pro-Gun Rights mereka tetap terjaga.
ADVERTISEMENT
Total, dalam kurun waktu 1989 hingga 2017, pelobi kubu pro-Gun Rights menghabiskan sekitar USD 41,9 juta untuk melobi kandidat, partai, dan orang-orang terkait di kegiatan politik AS yang sekiranya mempertahankan kepentingan mereka. Ini belum termasuk (setidaknya) USD 48 juta yang juga mereka keluarkan di tahun pemilihan 2012 dan 2014.
Jumlah tersebut jauh lebih besar daripada uang yang dikeluarkan kubu Gun Control yang mendukung pengetatan syarat kepemilikan senjata. Sejak 1989, mereka hanya mengeluarkan dana USD 12,8 juta (USD 8,6 jutanya dikeluarkan di tahun siklus pemilihan 2014) untuk melobi politisi AS.
Pengaruh uang-uang tersebut jelas besar terasa. Beberapa hari setelah tragedi penembakan di Sekolah Dasar Sandy Hook yang menewaskan enam orang dewasa dan 20 anak-anak pada 2 Desember 2012, Senator Joe Manchin dari West Virginia dan Pat Toomey dari Pennsylvania mengajukan Manchin-Toomey Amendment. Tujuannya satu: mensyaratkan pemeriksaan latar belakang seseorang yang hendak membeli senjata komersial.
ADVERTISEMENT
Namun, apa daya, amandemen tersebut gagal di tingkat senat, dengan 54 orang mendukung dan 46 orang lainnya menolak. Padahal, syarat agar suatu amandemen dapat gol memerlukan 2/3 suara senat.
Yang menarik, hampir semua dari 46 orang yang menolak Manchin-Toomey Amendment itu menerima uang dari lobi kubu Gun Rights. Dikutip dari artikel OpenSecrets.org berjudul Gun Rights vs Gun Control, hanya tiga dari 46 orang menolak amandemen tanpa menerima uang lobi dari kubu Gun Rights.
Percobaan serupa juga gagal di 2015, ketika (lagi-lagi) Manchin dan Toomey mengajukan amandemen agar syarat membeli senjata diperketat. Kali ini bahkan 50 orang menolak, dua suara lebih besar dari yang menerima. Lagi-lagi, hanya dua dari 50 orang tersebut yang sama sekali tak menerima uang dari kubu Gun Rights.
Sejuta dolar lobi senjata untuk Donald Trump. (Foto: Chandra Dyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sejuta dolar lobi senjata untuk Donald Trump. (Foto: Chandra Dyah/kumparan)
Pemilihan Presiden AS pada 2016 pun tak lepas dari aliran uang para pelobi. Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada tahun kampanyenya mendapat USD 969.138 (senilai Rp 13,1 miliar) dari kelompok Gun Rights. Jumlah tersebut menjadikannya calon presiden yang mendapatkan uang terbanyak dari para pendukung kebebasan memiliki senjata.
ADVERTISEMENT
Pesaing Trump, Hillary Clinton, sebenarnya juga mendapat uang cukup besar dari kelompok pro-Gun Rights, yakni USD 48 ribu (Rp 650 juta). Namun, ia memperoleh uang lebih banyak dari kubu pro-Gun Control yang anti-senjata, yakni sebanyak USD 1,1 juta (Rp 14,9 miliar).
Tetap saja, jumlah itu amat kecil ketimbang yang diterima calon dari Republikan. Dikutip dari BBC, NRA saja menghabiskan USD 50 juta (sekitar Rp 675 miliar) sebagai dana advokasi politik, termasuk 30 juta di antaranya untuk membantu tim kampanye Donald Trump terpilih sebagai presiden.
Maka, tak heran sebenarnya melihat Donald Trump menghindari topik senjata saat berpidato menanggapi penembakan massal di AS.
Pasca-penembakan di Las Vegas November 2017, Trump sama sekali tak membahas pelarangan terhadap kepemilikan senjata. “Mungkin itu akan terjadi (soal perdebatan aturan kepemilikan senjata). Tidak untuk saat ini,” tegas Trump saat itu.
ADVERTISEMENT
Respons serupa ia sampaikan usai penembakan massal di sekolah di Florida, Rabu (14/2). Alih-alih belajar dari pengalaman dan mulai terbuka membicarakan permasalahan senjata, Trump justru menyalahkan FBI yang ia tuding tak tanggap dan terlalu sibuk mengurusi hal tak penting lainnya.
Tentu saja, respons kepala negara yang narsistik dan menganggap bahwa semesta mengorbit pada kepalanya tak bisa dibenarkan. Namun, melihat angka-angka dan lobi bertahun-tahun yang mengalir ke puluhan politisi AS, keadaan payah di Amerika Serikat ini dijamin tak akan cepat berubah.
Donald Trump memegang senjata. (Foto: Richard Ellis/Getty Images)
zoom-in-whitePerbesar
Donald Trump memegang senjata. (Foto: Richard Ellis/Getty Images)
=============== Simak ulasan mendalam lain dengan mengikuti topik Outline.