Menjadi Batur ala Butet Kartaredjasa

3 Desember 2017 19:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Punakawan Unfriend (Foto: Dok. Goro-Goro Bhinneka Keramik)
zoom-in-whitePerbesar
Punakawan Unfriend (Foto: Dok. Goro-Goro Bhinneka Keramik)
ADVERTISEMENT
Panakawan. Semar Gareng Petruk Bagong. Dalam kisah pewayangan di Jawa, keempatnya adalah jelmaan para dewa dan ksatria. Namun, lewat satu-dua nasib malang, mereka diubah menjadi sosok yang buruk rupa.
ADVERTISEMENT
Meski nasibnya buntung, duka dan nasib buruk juga menghadirkan sisi lain yang sebelumnya tak terbayangkan: kebijaksanaan.
Maka sebutan buat mereka tak bisa biasa. Panakawan atau Punakawan. Ada beberapa arti: 1) Pana berarti terang, Kawan berarti teman; 2) Puna berarti susah, Kawan berarti saudara; dan tafsiran jauh lain 3) Puna dan Pana berarti fana, dan Kawan adalah sahabat.
Punakawan, atau Panakawan --sama saja-- adalah sahabat yang mengajak menuju kebaikan, teman yang menemani kala susah, dan saudara di kehidupan yang fana.
Wawancara kami buka dengan sebuah pertanyaan: mengapa tiba-tiba menggelar pameran seni rupa?
Butet hanya tersenyum, menggeser posisi duduknya, dan tertawa kecil-----
Sejak 30 November lalu, Butet menggelar pameran seni rupa bertajuk “Goro-Goro Bhinneka Keramik” di Galeri Nasional Indonesia. Pameran tersebut menampilkan 138 lukisan keramik yang ia buat dalam kurun waktu 3 tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Beberapa tema termaktub dalam materi pamerannya, dari kebinekaan yang seharusnya mewujud dalam kemajemukan masyarakat Indonesia; goro-goro yang mengisahkan tatanan Indonesia yang mulai rusak dan kacau; Panakawan, orang bodoh yang mengingatkan mereka para ksatria; hingga Gus Dur yang menjadi sosok ideal bagaimana kemajemukan dan kebinekaan itu mewujud.
Butet mencoba mengeluarkan unek-uneknya, yang gemas sekaligus khawatir dengan goro-goro di masa kini; yang berharap pada kemunculan dan keteladanan dari sesosok Gus Dur yang ideal; agar bisa menghadirkan kembali kebinekaan yang dicita-citakan sedari awal berdirinya republik ini.
Dengan jeli, Butet menyampaikan segala unek-unek dan kegamangannya itu lewat perspektif seorang biasa, seorang masyarakat, seorang Panakawan. Panakawan adalah Batur, rewang, pembantu para ksatria. Rupanya, tak hanya di dunia panggung pertunjukan, peran sebagai Panakawan juga ikhlas diembannya di dunia nyata.
ADVERTISEMENT
-----selesai tertawa, Butet menjawab singkat, “Ya, karena sedang jadi pengangguran.” Ia nyengir lebar, kami sedikit kesal.
Selama tujuh tahun lebih satu bulan, Butet Kartaredjasa setia bersama Slamet Rahardjo tampil dalam serial Republik Sentilan Sentilun (Sentilan Sentilun sebelum 2016) di Metro TV. Slamet menjadi menjadi Ndoro (Tuan) Sentilan, sedangkan Butet menjadi Jongos (pesuruh) Sentilun.
Selama kurun waktu 30 menit, mereka berdua akan berbincang dengan seorang bintang tamu soal kondisi sosial politik yang tengah ramai diperbincangkan masyarakat. Ketika Sentilan bertanya soal perihal yang pokok dan banyak mendengarkan, Sentilun akan mengocok perut pemirsa lewat respon yang kurang ajar dan kritik yang cuma punya batas etika.
Sayang, program Republik Sentilan Sentilun sudah resmi berakhir sejak Juli lalu.
ADVERTISEMENT
Dan “menurut analisis saya…”, itulah yang membuat seorang Butet Kartaredjasa --yang biasanya sibuk di dunia seni peran dan pertunjukan panggung-- banting setir ke pameran seni rupa: ia tak punya kerjaan.
Tebakan kami meleset sedikit. Ia, tentu saja cuma bercanda, mengaku menggelar pertunjukan seni rupa kali ini karena menganggur.
Pameran tunggal Butet Kertaradjasa (Foto: Ulfa Rahayu/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pameran tunggal Butet Kertaradjasa (Foto: Ulfa Rahayu/kumparan)
Lebih dari itu: 1) ia telah menyiapkan pertunjukannya ini sedari 2015, 2) ia juga menciptakan karyanya dengan mekanisme dan teknik melukis keramik yang berbeda dengan kebanyakan, 3) dan secara luar biasa produktif (mengingat ia masih sibuk di berbagai pentas akting), 4) ia mampu menghasilkan 100-an lebih karya yang filosofinya faktual.
Namun, begitulah Butet.
Beralih dari dunia bermain peran ke seni lukis keramik pun, ia tetap dekat dengan satu tema yang begitu melekat: batur atau rewang atau pembantu. Peran rakyat. Ia memilih bersetia menjadi Sentilun, menjadi rakyat, menjadi Panakawan yang tanpa ragu mengingatkan dan memberi kritik kepada para ksatria politik yang bertindak pongah di negara ini.
Butet Kartaredjasa  (Foto: Tomy Wahyu/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Butet Kartaredjasa (Foto: Tomy Wahyu/kumparan)
Dan ini tak tiba-tiba. Sebelum mengudara di stasiun televisi tersebut, naskah Sentilan Sentilun sudah ditampilkannya dalam sebuah monolog berjudul Matinya Tukang Kritik yang dikarang oleh penulis Agus Noor.
ADVERTISEMENT
“Di Matinya Tukang Kritik, saya memainkan dua karakter, majikan dan jongos,” ucap Butet.
Namun, hal itu berubah saat monolog tersebut digeser wahana menjadi program televisi. “Ketika diminta untuk bikin program TV, dari monolog itu saya kembangkan tidak hanya monolog, tapi fragmen. Yang memerankan majikan bukan diri saya lagi, tapi saya memilih Mas Slamet Rahardjo.”
Di sini, keputusan Butet tepat. Ia mengaku, karakter batur justru membebaskan dirinya.
“Saya lebih merasa enjoy sebagai karakter jongos itu. Karena memang saya nggak ada beban apapun, karena saya memang sedang memainkan karakter,” jelas Butet.
Apalagi, karakter yang dimainkannya adalah seorang jongos. Ia tentu saja tak dibebani pengetahuan dan kebijaksanaan mereka yang lebih berilmu. Maka lewat karakter Sentilun itu, dia memperoleh kebebasan.
ADVERTISEMENT
“Ya udah ngomongnya slengekan, kadang-kadang kita kelihatan bego atau memang bego beneran, tapi juga kadang-kadang bisa menampakkan kecerdasannya,” ucap Butet mengenai karakter favoritnya. “Punya nyali gede bukan karena pemberani, karena bego. Karena memang tidak ngerti, jadi bisa dimaafkan, lha wong tidak ngerti kan?”
“Jadi, dengan demikian karakter itu membebaskan saya dari beban. Untuk ngomong apa saja,” kata Butet. Senyumnya lebar benar.
Sentilan-Sentilun adalah perwujudan hubungan Pandawa-Panakawan yang cukup hakiki. Slamet Rahardjo yang menjadi tuan adalah sang Pandawa, dan Butet yang jongos adalah wujud dari Panakawan yang setia luar dalam.
Panakawan bukanlah karakter asli wayang yang diimpor dari India. Ia lahir di Jawa, muncul pertama kali di abad ke-12 (sekitar 1188 masehi) dalam Kitab Gatutkacasraya. Dari buku karangan Sri Mulyono, Apa dan Siapa Semar (1982), Semar yang merupakan anggota Punakawan paling tradisional muncul lewat nama Jurudyah Prasanta Punta.
ADVERTISEMENT
Sebab kehadiran atau siapa orang di balik kemunculan Punakawan di wayang Jawa pun cukup simpang siur. Ia menggebrak tren dan mode penceritaan wayang Hindi yang amat istanasentris.
Jauh dari itu, Panakawan adalah rakyat biasa. Ia bukanlah dari golongan kerajaan. Ia, setidaknya begitulah yang diyakini para pencinta wayang, adalah narasi tandingan terhadap wayang tradisional yang hanya melulu brahmana-ksatria-brahmana-ksatria.
Namun begitu, tak berarti Semar-Gareng-Petruk-Bagong kekurangan kedigdayaan. Mereka sakti. Mereka bijak. Mereka tak kalah dari ksatria pilih tanding manapun dalam jagad Mahabharata. Namun mereka memilih untuk tidak. Mereka memilih menyokong dari belakang, toh tak apa ketika tujuannya sama.
Maka melalui narasi Panakawan ini, Butet coba masuk lewat segala karyanya. Selesai (untuk sementara) menyalurkannya lewat bermain peran, ia ganti datang lewat seni rupa. Tak masalah, pesannya sama saja.
ADVERTISEMENT
Ia menjadi segalanya dari Panakawan, dari rakyat. Ia mewakili Bagong yang konyol, nakal, dan kadang manja seperti anak kecil. Ia juga memiliki sifat dari Petruk yang lugu, jujur, dan setia pada tuannya. Namun, ia juga punya ke-Gareng-an yang sederhana, suka bercanda, bahkan kadang liar di beberapa waktu. Dan tentunya, ia juga Semar, yang bijaksana, sabar, dan ringan hati untuk memberi nasihat.
Butet, lewat segala karyanya, adalah perlambang Panakawan.
Pameran tunggal Butet Kertaradjasa (Foto: Ulfa Rahayu/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pameran tunggal Butet Kertaradjasa (Foto: Ulfa Rahayu/kumparan)
Jadi, agak nakal sebenarnya --dan maka dari itu, cocok sekali dengan Butet yang ke-Panakawan-an-- ketika ia menyelipkan sebuah bab berjudul Petruk Dadi Ratu di buku pengantar pameran Goro-Goro Bhinneka Keramik.
Petruk Dadi Ratu adalah salah satu lakon pewayangan yang menggambarkan disharmoni dalam sebuah bangsa. Penguasa bertindak seenaknya. Penindasan marak tak ada yang bersuara.
ADVERTISEMENT
Maka, pada saat itu, ketika keadaan sudah amat genting dan tak ada lagi yang bisa diharapkan, Petruk mengamuk mengambil alih kuasa kerajaan. Tak hanya takhta manusia, ia mengobrak-abrik tatanan yang diatur kayangan. Semua yang serbakacau itu dihancurkan, dimulainya lagi dari nol.
Petruk hanya mau turun atas satu hal saja, dan itu adalah permintaan seorang Semar --rakyat tetua yang lain. Itu pun dengan syarat, apabila pemimpin bangsa kembali berulah, Petruk tak akan ragu untuk mengamuk dan menghajar mereka sekali lagi.
Dari situ, dari pamerannya yang menghadirkan berbagai macam Petruk dalam berbagai pose, wujud, dan karakter, Butet seakan ingin mengingatkan. “Kalau penguasa tak kunjung benar bertitah, Panakawan yang ‘tak gampang dibodohi’ akan segera bertindak.”
Pameran Goro-Goro Bhinneka Keramik (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Pameran Goro-Goro Bhinneka Keramik (Foto: Istimewa)
ADVERTISEMENT