Mungkinkah Presiden Indonesia Cuti Melahirkan?

25 Januari 2018 11:13 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jacinda Ardern (Foto: AFP/Marty Melville)
zoom-in-whitePerbesar
Jacinda Ardern (Foto: AFP/Marty Melville)
ADVERTISEMENT
Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, punya kabar gembira. Perempuan 37 tahun yang baru menjabat sejak Oktober 2017 itu ternyata tengah hamil.
ADVERTISEMENT
Juni 2018 nanti, ia diperkirakan akan melahirkan anak pertamanya dengan presenter acara memancing paling terkenal di Selandia Baru, Clarke Gayford.
Tentu saja, untuk hamil tua dan proses pascamelahirkan, Ardern --seperti halnya ibu-ibu lain-- akan butuh waktu istirahat total dari pekerjaannya. Itu berarti, Ardern akan mengambil cuti melahirkan dan meninggalkan posisi perdana menteri, kepala pemerintahan di Selandia Baru, di tangan orang lain.
Untungnya, Selandia Baru memperbolehkan pemimpin negara untuk mengambil cuti melahirkan. Ardern mengatakan akan cuti selama enam pekan sebelum kembali bekerja. Selama masa cuti tersebut, posisi Ardern sebagai perdana menteri akan digantikan Winston Peters, wakil perdana menteri.
“Clarke dan saya beruntung kami berada di posisi ketika Clarke bisa tinggal di rumah dan menjadi pengasuh utama di antara kami berdua,” ucap Ardern dilansir Telegraph.
ADVERTISEMENT
Ardern jelas beruntung. Dulu, tepatnya pada 1990, Perdana Menteri Pakistan Benazir Bhutto terpaksa melahirkan secara caesar dan sembunyi-sembunyi di tengah desakan publik agar dia mundur saja. Sehari setelah melakukan operasi, Bhutto langsung kembali ke kantor.
Pertanyaannya, bagaimana nanti jika Indonesia punya presiden perempuan, lalu presiden tersebut hamil, kemudian harus melahirkan saat ia menjabat? Bisakah Presiden Republik Indonesia, di antara kekuasaannya yang seabrek itu, mengambil cuti melahirkan?
HUT ke-71 Megawati Soekarnoputri  (Foto: Fitrah Andrianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
HUT ke-71 Megawati Soekarnoputri (Foto: Fitrah Andrianto/kumparan)
Memang selama ini kasus tersebut belum pernah terjadi di Indonesia. Satu-satunya presiden perempuan di Indonesia hanyalah Megawati Soekarnoputri, yang sudah berusia 54 tahun saat ia menjabat sebagai presiden RI.
Saat itu, ia sudah punya tiga anak, dan sampai akhir masa jabatannya, jumlah tersebut tak bertambah. Hal tersebut wajar saja, mengingat --menurut Pusat Studi Kesehatan Seksual Universitas Sebelas Maret-- masa menopause perempuan rata-rata datang di umur 40 sampai 50 tahun.
ADVERTISEMENT
Namun, bukan berarti Indonesia tak mungkin punya presiden perempuan yang hamil di masa jabatannya. Menurut UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, umur minimal calon presiden dan wakilnya adalah 35 tahun. Perempuan di umur tersebut tentu masih sangat mungkin untuk hamil.
Lalu, apabila premis tersebut tercapai, apakah ia akan diperbolehkan mengambil cuti melahirkan? Apa Presiden Indonesia boleh cuti?
Kehamilan. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Kehamilan. (Foto: Pixabay)
Menurut Bayu Dwi Anggono, Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember, cuti bagi presiden dan wakil presiden bukannya sama sekali tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
“Pasal 281 ayat (1) UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum sudah mengatur adanya cuti bagi Presiden dan Wakil Presiden, yaitu apabila ikut serta dalam kampanye pemilu,” katanya saat dihubungi kumparan, Selasa (23/1).
ADVERTISEMENT
Cuti tersebut, jelasnya, berada di luar tanggungan negara. Presiden atau Wakil Presiden yang cuti untuk kampanye pemilu juga dilarang menggunakan fasilitas jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan.
Di luar cuti untuk kampanye, presiden tak punya banyak harapan.
“Selama ini peraturan perundang-undangan yang terkait hak-hak keuangan dan administratif Presiden dan Wakil Presiden, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1978, belum mengatur mengenai hak untuk cuti,” terang Bayu.
Rombongan keluarga Jokowi bertolak ke Jerman (Foto: Yudhistira Amran/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Rombongan keluarga Jokowi bertolak ke Jerman (Foto: Yudhistira Amran/kumparan)
Meski begitu, narasi untuk mengatur secara khusus kemungkinan cuti presiden sudah muncul dari beberapa waktu lalu.
Juli 2017, Presiden Joko Widodo menjadi sorotan karena membawa serta keluarganya saat melakukan kunjungan kepresidenan ke Jerman dan Turki. Saat itu, publik ramai-ramai bertanya mengapa Jokowi mengajak banyak anggota keluarganya ke luar negeri saat ia bekerja. Kesan yang tercipta di publik, Jokowi liburan bersama keluarga saat berada di dua negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Gara-gara polemik tersebut, Istana sendiri yang menyinggung keadaan presiden di Indonesia yang tidak memiliki hak untuk cuti.
"Jadi artinya, bagaimana tanpa cuti tapi di sela-sela itu bisa berinteraksi dengan keluarga. Ini kan yang namanya presiden juga jelas manusia, sebagai bapak, sebagai kakek, sebagai orang tua, sebagai kepala keluarga, dan seterusnya," ucap Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, Minggu (9/17/2017).
Pratikno juga menambahkan, sampai saat ini tidak pernah ada aturan mengenai cuti --berbeda dengan negara lain, misal Amerika Serikat. “Pegawai negeri masih ambil cuti, tapi presiden tidak pernah ambil cuti. [...] saya bisa membayangkan, memang sangat berat siapapun presidennya.”
Jokowi dan JK sebelum berangkat ke Jerman (Foto: Dok. Laily - Biro Pers Setpres)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi dan JK sebelum berangkat ke Jerman (Foto: Dok. Laily - Biro Pers Setpres)
Gara-gara itu, muncul wacana untuk mengatur secara khusus hak dan kewajiban presiden dan lembaga kepresidenan secara khusus dan spesifik. Hal tersebut sebenarnya mungkin saja, mengingat lembaga-lembaga lain macam Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, KPK, sampai BPK sudah memiliki undang-undangnya tersendiri.
ADVERTISEMENT
Bayu berpendapat, apabila aturan politik hukum Indonesia bersedia memberikan kesempatan cuti bagi presiden dan wakilnya, peraturan harus dibuat spesifik.
“Perlu kiranya diatur secara jelas dan terukur dalam hal apa presiden dapat mengajukan cuti, jangka waktu cuti, dan fasilitas selama menjalani cuti,” jelas Bayu.
Peraturan yang sama juga harus menjelaskan pada kondisi apa hak tersebut tidak bisa diambil. “[Misal] larangan Presiden dan Wakil Presiden untuk cuti dalam waktu bersamaan, serta dalam kondisi apa Presiden atau wakil Presiden wajib segera mengakhiri cutinya dan kembali menjalankan tugasnya.”
Menurut Bayu, ini penting dengan karakteristik jabatan presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan yang sangat berbeda dengan jabatan lainnya.
“Contoh di Pasal 12 UUD 1945 hanya presidenlah yang memiliki kewenangan untuk dapat menyatakan negara dalam keadaan bahaya. Artinya, kewenangan ini tidak bisa digantikan oleh siapapun termasuk Wakil Presiden,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Jadi, relakah Anda memberi cuti pada presiden Anda?
=============== Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline.