Runyam Politik di Belakang Penghargaan Nobel

12 Oktober 2017 15:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengungsi Rohingya meminta bantuan. (Foto: REUTERS/Mohammad Ponir Hossain)
zoom-in-whitePerbesar
Pengungsi Rohingya meminta bantuan. (Foto: REUTERS/Mohammad Ponir Hossain)
ADVERTISEMENT
Saat jutaan orang Rohingya terusir dari rumahnya di Rakhine, bukan Jenderal Min Aung Hlaing yang memerintahkan tentara untuk membunuhi orang-orang Rohingya dan membakari desa-desa mereka yang jadi bulan-bulanan netizen.
ADVERTISEMENT
Kemarahan, rasa frustrasi, dan segala tuntutan justru mereka tumpahkan ke Aung San Suu Kyi, State Counsellor (Penasihat Negara) Myanmar yang cuma punya kekuatan politik.
Hal tersebut, meski sedikit aneh, sangat mudah dipahami sebabnya. Mengapa?
Aung San Suu Kyi (Foto: REUTERS/Soe Zeya Tun)
zoom-in-whitePerbesar
Aung San Suu Kyi (Foto: REUTERS/Soe Zeya Tun)
Karena eh karena, Aung San Suu Kyi adalah penerima Nobel Perdamaian pada 1991.
Namun, 16 tahun setelahnya, Suu Kyi dianggap telah berubah. Ia diam melihat tertindasnya orang-orang Rohingya oleh pemerintahannya sendiri. Yang lebih menyakitkan, Suu Kyi sebenarnya pernah mengalami hal yang sama: ia dikenakan tahanan rumah karena menentang kepemimpinan junta militer Myanmar saat partai National League for Democracy (NLD) miliknya berhasil memenangkan pemilu dengan angka yang dominan.
Dalam kurun waktu 21 tahun, Suu Kyi dikenakan status tahanan rumah selama 15 tahun sendiri. Saat itu, sikap antikekerasan, pendirian kokoh, dan menjadi tahanan rumah selama bertahun-tahun membuatnya dinilai sebagai semacam rasul yang suci. Dan tidak hanya buat mereka yang merupakan masyarakat Myanmar, penilaian ini juga diamini oleh masyarakat internasional.
ADVERTISEMENT
Ini pulalah yang membawa Suu Kyi meraih Nobel Perdamaian di tahun 1991. Dan atas alasan-alasan yang samalah kini dunia seakan sakit hati dan tak rela, mengapa penghargaan setinggi Nobel Perdamaian pernah jatuh ke orang macam Suu Kyi.
Penerima penghargaan Nobel. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Penerima penghargaan Nobel. (Foto: Wikimedia Commons)
Sebenarnya, kekecewaan terhadap para peraih Nobel bukanlah hal yang baru. Obama, misalnya, yang masih dinilai tak pantas menerima Nobel Perdamaian 2009. Ia, yang dinilai pantas menerima “...atas usaha luar biasa untuk menguatkan diplomasi internasional dan kerjasama antarmanusia di dunia…” justru menambah jumlah ribuan tentara ke zona perang macam di Afghanistan.
Ada pula nama Henry Kissinger, Yasir Arafat, Jimmy Carter, dan segepok nama lain yang rasa-rasanya tak adil ditempatkan di kalimat yang sama dengan kata “perdamaian”.
ADVERTISEMENT
Dan hal tersebut kurang lebih patut dipahami: sedari awal, penentuan peraih penghargaan Nobel kerap dipengaruhi banyak hal non-teknis, dan politik jadi yang paling berpengaruh.
Dan ini mudah saja terjadi mengingat pemilihan dan penentuan peraih Nobel amat sangat tak transparan. Sebagai contoh, komite yang berwenang dalam memilih Nobel (Royal Swedish Academy of Sciences memilih penerima Nobel Fisika, Kimia, dan Ekonomi; Nobel Assembly at Karolinska Institutet untuk Fisiologi/Kedokteran; Norwegian Nobel Comittee untuk Perdamaian; dan Swedish Academy untuk Literatur) selalu bertindak secara tertutup.
Untuk Nobel Literatur, misalnya. The Swedish Academy menerima tak kurang dari 240 proposal penerima Nobel dari seluruh dunia. Proposal sebanyak ini dikirimkan dari beberapa pihak di seluruh dunia --dari anggota Swedish Academy sendiri, profesor literatur di universitas ternama dunia, penerima Nobel Literatur sebelumnya, dan presiden atau pemimpin eksekutif dari perkumpulan penulis-penulis dari berbagai negara.
ADVERTISEMENT
Nantinya, 240 proposal ini akan dirampingkan menjadi 15 sampai 20 kandidat penerima Nobel. Dapatkah kita mengetahui siapa yang menjadi nominasi Nobel tersebut? Jawabannya adalah tidak.
Kita hanya akan mendapatkan rumor, yang tak jarang disebutkan sendiri oleh anggota komite pemilihannya. Namun, untuk daftar lengkap dan tingkat akurasinya apakah rumor tersebut benar atau salah, tak pernah ada jaminan.
Dan keadaan tersebut berlangsung hingga setidaknya 50 tahun ke depan. Di database Nobelprize.org, kita dapat melihat siapa saja nominasi Nobel dari tahun 1966 ke belakang. Namun, dari tahun 1967 hingga saat ini? Gelap gulita.
Medali penghargaan Nobel. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Medali penghargaan Nobel. (Foto: Wikimedia Commons)
Pun begitu dari sisi komite yang memilihnya. Di Nobel Perdamaian, Parlemen Norwegia memilih lima orang untuk menjadi Norwegian Nobel Comittee. Meski tak diharuskan, selama ini mereka merupakan warga negara Norwegia.
ADVERTISEMENT
Mereka akan melakukan tugasnya selama enam tahun, dengan komposisi yang biasanya mencerminkan kekuatan partai di Parlemen Norwegia --karena tak jarang anggota komite yang dipilih adalah mantan anggota Parlemen yang sudah pensiun dan berkarier di bidang lain.
Lalu, apa dengan basis apa mereka menentukan seseorang bisa mendapatkan penghargaan Nobel dan bukan yang lain?
Jawabannya adalah statuta dari Nobel Foundation dan wasiat dari Alfred Nobel sendiri. Beberapa hal menjadi kriteria yang paling penting, khususnya untuk Nobel Perdamaian, seperti “...telah memberikan manfaat paling besar untuk kemanusiaan,” dan juga “...telah mengupayakan persaudaraan antar bangsa, mengupayakan penghapusan atau pengurangan senjata dan tentara, serta terus mempromosikan upaya perdamaian.”
ADVERTISEMENT
Jelas hal tersebut dikritik. Selain karena kriteria yang normatif dan proses pemilihan yang tertutup, penganugerahan Nobel ini dinilai dimanfaatkan oleh politik Norwegia sendiri. Sejarawan Norwegia, Øivind Stenersen, pernah mengatakan bahwa pemerintah Norwegia kerap menggunakan penghargaan Nobel sebagai perpanjangan tangan dari kebijakan luar negeri dan menjadi modal diplomasi ekonomi mereka ke negara-negara lain.
“(Norwegian) Nobel Comittee seharusnya memasukkan anggota dari kalangan profesional dan yang jelas punya latar belakang internasional. Mereka pasti bisa melakukan apa yang dilakukan anggota parlemen yang sudah pensiun,” sindir Stenersen.
Berit Reiss-Andersen, Ketua Komite Nobel Norwegia (Foto: NTB Scanpix/Heiko Junge via REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Berit Reiss-Andersen, Ketua Komite Nobel Norwegia (Foto: NTB Scanpix/Heiko Junge via REUTERS)
Di antara lima lainnya, Nobel Perdamaian menjadi satu yang paling kentara. Deretan kontroversi pun rajin mengikuti. Selain Aung San Suu Kyi, beberapa nama turut menjadi sorotan saat mereka meraih Nobel Perdamaian.
ADVERTISEMENT
Henry Kissinger menjadi salah satu yang mendapat banyak kritik. Keputusan memberinya penghargaan Nobel Perdamaian di tahun 1973 sempat mendapat julukan “the most controversial Peace Nobel Prize to date”.
Kissinger, yang merupakan seorang diplomat kawakan AS dan pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri AS, mendapatkan Nobel tersebut bersama dengan pemimpin Vietnam Utara, Le Duc Tho. Mereka berdua dinilai sukses menjadi makelar dalam tercapainya gencatan senjata di Perang Vietnam.
Masalahnya, pada saat yang bersamaan AS masih terlibat dalam pengeboman di bagian timur Kamboja dengan metode carpet-bombing atau saturation bombing. AS meluncurkan serangan ke wilayah tetangga Vietnam itu karena Kamboja timur kerap digunakan sebagai tempat perlindungan pasukan Vietkong.
Dan siapa yang berada di balik kebijakan penyerangan tersebut? Henry Kissinger.
ADVERTISEMENT
Bahkan, Le Duc Tho yang menjadi penerima bersama Nobel Perdamaian menolak penghargaan itu mentah-mentah. Duc Tho mengatakan bahwa ia tak ingin membagi penghargaan tersebut dengan seorang “realpolitik ringmaster” yang di kemudian hari meneruskan serangannya ke Vietnam.
Selanjutnya, sejarah memang mencatat bahwa apa yang diserapahkan Duc Tho cukup beralasan. Perang Vietnam baru selesai di tahun 1975, dan sampai saat ini, dunia mengingat Kissinger lebih kepada kebijakan intervensionisnya ke negara lain, ketimbang capaiannya untuk perdamaian.
Kissinger dan Le Duc Tho (Foto: AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Kissinger dan Le Duc Tho (Foto: AFP)
Terpilihnya Obama di tahun 2009 juga cukup kontroversial. Saat dinominasikan, ia baru menjabat sebagai presiden AS selama 12 hari. Memang, Obama langsung membuat kebijakan-kebijakan tertentu yang cukup berpengaruh bagi masyarakat AS.
Namun begitu, ia justru menambah ribuan pasukan ke Afghanistan. Dan hal tersebut jelas tak cocok dengan wasiat Alfred Nobel yang mengatakan bahwa peraih Nobel Perdamaian haruslah “...the person who has done the most or the best work for fraternity between nations”.
ADVERTISEMENT
Mengutip dari Brown Political Review, keputusan menghadiahi Obama tersebut amat sarat dengan keputusan politik komite yang mengunggulkan Obama sebagai simbol harapan --ketimbang capaiannya yang sudah-sudah seperti yang menjadi kriteria.
Pemilihan Obama ini menjadi simbol penolakan masyarakat internasional terhadap presiden AS sebelumnya, yaitu George W. Bush. Fakta bahwa Obama menerima Nobel di awal kepemimpinannya adalah usaha untuk menegaskan perbedaan rezim lama dan rezim baru serta bagaimana harapan disematkan untuk rezim baru tersebut.
Selain itu, Swedish Nobel Comittee juga dinilai untuk lebih mendorong Obama agar lebih getol meningkatkan usaha terhadap stabilitas dan perdamaian dunia. Dengan memberi Obama penghargaan Nobel, Swedish Nobel Comittee secara tak langsung mendorong Obama agar tak mengambil langkah-langkah yang berlawanan dengan upaya perdamaian. Beberapa tahun setelahnya, kita tahu hal tersebut tak sepenuhnya tercapai mengingat seorang presiden secara wajar mengedepankan political interest negaranya ketimbang hadiah sembilan juta kron.
ADVERTISEMENT
Simbolisme ini juga terlihat dalam hadiah Nobel Perdamaian di 2014. Saat itu, Nobel Perdamaian dibagi untuk seorang remaja Pakistan, Malala Yousafzai, dan seorang advokat hak anak dari India, Kailash Satyarthi.
Di pengumuman Nobelnya, Swedish Nobel Comittee tak luput menekankan bahwa Nobel ini dibagi untuk “...seorang India dan seorang Pakistan” --melintasi batas nasional, agama, dan rivalitas konflik kedua negara.
Hal tersebut jelas melewati sebatas penghargaan bagi aktivisme perdamaian ke secara simbolis memperlihatkan visi masa depan yang seharusnya. Padahal, lagi-lagi, penghargaan Nobel seharusnya diberikan pada mereka yang telah mencapai sesuatu di masa lalu ketimbang menjadi simbol masa depan.
Pengingat buat masa depan ini juga terjadi pada penghargaan Nobel Perdamaian di tahun 2004 dan 2007. Di tahun 2004, seorang aktivis lingkungan Kenya bernama Wangari Maathai berhasil mendapatkan Nobel karena aktivitasnya di perlindungan lingkungan dan advokasi hak perempuan di negaranya.
ADVERTISEMENT
Sedangkan, untuk Nobel Perdamaian di 2007, Al Gore dan Intergovernmental Panel on Climate Change menerima Nobel untuk retorika melawan perubahan iklim mereka. Sementara di waktu yang sama, Irena Sendler, perempuan yang tertangkap usai menyelamatkan 2.500 Yahudi Polandia dari Nazi Jerman dan harus mengalami patah tangan dan kaki, harus kalah dari mantan wakil presiden AS tersebut.
Lalu, bagaimana dengan kriteria “...telah mengupayakan persaudaraan antar bangsa, mengupayakan penghapusan atau pengurangan senjata dan tentara, serta terus mempromosikan upaya perdamaian...” yang jadi kriteria awal Nobel Perdamaian menurut pendirinya, Alfred Nobel?
Lupakan saja.