Impostor Syndrome - Ragu pada Diri Sendiri, Membuat Kamu dan Aku Lelah

Nethania Catrice Tiovilda
Mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Bina Nusantara
Konten dari Pengguna
15 November 2022 12:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nethania Catrice Tiovilda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Source: Getty Creative
zoom-in-whitePerbesar
Source: Getty Creative
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Cita-cita dan kesuksesan memang menjadi kebahagiaan tersendiri begitu kita mencapainya. Namun, pernahkah kalian justru merasa ragu atau bahkan merasa tidak pantas terhadap pencapaian tersebut?
ADVERTISEMENT
Kondisi khusus seperti ini ternyata disebut sebagai ‘impostor syndrome’. Istilah ‘impostor’ sudah sering kita dengar, terutama pada tahun 2020 dimana game bernama “Among Us” menjadi sangat booming kala itu. Impostor sendiri dapat diartikan sebagai karakter yang akan berpura-pura untuk menipu orang lain. Impostor syndrome merupakan kondisi psikologis ketika seseorang merasa tidak pantas mendapatkan penghargaan atas prestasi yang telah dicapainya, pengidap syndrome ini umumnya takut dianggap sebagai penipu yang melakukan segala cara untuk bisa mencapai prestasinya tadi. Mereka cenderung merasa bahwa prestasi tersebut hanyalah keberuntungan atau kebetulan sesaat, bukan murni karena kemampuannya sendiri.
Dikutip dari hellosehat.com, impostor syndrome sebenarnya tidak termasuk dalam Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ). Kondisi ini memang kondisi psikologis, tetapi bukan berarti dianggap sebagai gangguan mental. Meskipun begitu, sejumlah survei penelitian menunjukkan bahwa kondisi impostor syndrome cukup umum ditemui dalam masyarakat kita terutama pada kalangan anak muda Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sebagai mahasiswa/i, banyak hal yang sering membuat kita kepikiran, mulai dari bagaimana rencana studi untuk 4 tahun ini, apa yang harus saya lakukan supaya bisa lebih aktif lagi saat berkuliah, atau bahkan kita mungkin sempat menanyakan kepada diri sendiri “langkah berarti seperti apa yang sudah saya ambil dalam satu tahun pertama perkuliahan saya?”. Pemikiran seperti ini cenderung membuat kita semakin cemas, takut gagal, tidak percaya diri, dan mudah mengalami depresi.
Hal-hal seperti itu pada akhirnya mulai membentuk kepribadian yang perfeksionis dan ambisius terhadap pencapaiannya karena kita mulai membangun standar kesuksesaan diri yang cukup tinggi untuk diri kita sendiri. Kita memang cenderung akan termotivasi untuk mencapai target tertentu, tetapi semakin sering kita merasa demikian, kita akan merasa cemas secara terus-menerus dan akhirnya menjadi beban pikiran yang baru.
ADVERTISEMENT
Dulu, pada tahun pertama perkuliahan saya, saya bergabung ke dalam dua organisasi sekaligus. Dalam rentang satu tahun, saya juga mengikuti banyak kegiatan mulai dari menjadi panitia event, volunteer, dan bahkan mengambil job part time. Setelah menyelesaikan satu bagian, saya selalu merasa tidak puas.
Individu pengidap syndrome ini selalu ingin bekerja lebih keras dari yang diperlukan untuk mencapai hasil yang ia anggap sempurna. Tidak pernah ada usaha yang cukup bagi mereka jika hasilnya belum benar-benar terukur. Meskipun orang-orang mengira bahwa hasil itu sudah baik, tetapi pengidap impostor syndrome merasa mereka masih bisa membuat hasil yang lebih dari itu. Sisi yang perfeksionis seperti ini dilakukan semata-mata hanya untuk membuktikan usaha mereka agar tidak dikira sebagai ‘penipu’. Detik ketika mereka mulai membentuk diri yang perfeksionis, mereka pun mulai menjadi pribadi yang selalu berusaha mengejar tuntutan pada saat yang bersamaan. Akibatnya, beberapa dari mereka justru menjadi burnout atau lelah secara fisik dan psikis.
ADVERTISEMENT
Impostor syndrome umumnya sering ditemukan pada orang-orang yang tumbuh dalam pola asuh keluarga yang mementingkan suatu prestasi. Selain itu, mereka yang termasuk dalam kaum minoritas dengan latar belakang budaya, suku, maupun ekonomi juga sangat mungkin mengalami sindrom ini. Bukan hanya itu saja, kita bahkan akan lebih sering menemukan sindrom ini pada anak-anak fresh graduates yang baru terjun ke dunia profesional. Minder karena merasa tidak kompeten menjadi kondisi umum bagi mereka padahal sebenarnya mereka punya kompetensi tinggi yang mungkin relevan dengan posisinya. Rasa minder itulah yang juga sering membuat anak muda sekarang takut mencoba, takut gagal, atau bahkan takut berhasil.
ADVERTISEMENT
Begitu lah pemikiran yang sekiranya sering muncul pada anak muda yang baru mencoba hal baru.
Pada intinya, impostor syndrome dapat terjadi pada siapapun dan kapanpun. Akan tetapi, sindrom ini memang lebih rentan terjadi pada orang-orang yang mengincar prestasi. Dampak yang dirasakan juga akan berbeda-beda tergantung pada bagaimana cara mereka menanggapi kondisinya. Oleh karena itu, mulailah membangun pola pikir yang lebih sehat dan lawan pikiran-pikiran negatif yang menghambat perkembangan diri.
Ingat juga untuk memberi penghargaan (self-rewards) kepada diri kita sendiri dan mulai mengapresiasi setiap keberhasilan kecil atau yang sering anak muda sebut sebagai “little things matter” akan membuat kita menjadi pribadi yang lebih baik, positif, dan berkembang.
(Nethania Catrice Tiovilda)
ADVERTISEMENT
https://hellosehat.com/mental/mental-lainnya/imposter-syndrome-sindrom-penipu/
https://www.metrohealthmmc.com/post/mengenal-impostor-syndrome-sindrom-psikologis-yang-meragukan-diri-sendiri