Delapan Paragraf Pertama

Tito Febrianto
Videografer dan Editor di Customer Excellence Tokopedia. Lulusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Univ. Pancasila
Konten dari Pengguna
8 Desember 2021 13:15 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tito Febrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sepatu Macbeth hitamku sudah lusuh dan sobek di dua tempat. Tempat ketiga, hampir terjadi saat aku ingin memakainya pada pagi ini. Sejak dulu ayah sudah menyuruhku untuk cepat lulus dari kampus yang sejak 13 semester lalu menjadi tempatku untuk mencari ilmu kewartawanan.
ADVERTISEMENT
Pukul 13:30 aku sudah duduk manis di kereta commuter line jurusan Bogor - Sudirman. Aku duduk di barisan paling kiri dekat sekat pintu. Itu tempat duduk favoritku di kereta mana pun. Mulai esok hingga enam bulan ke depan aku sudah tidak merasakan pulang berdesak-desakan naik kendaraan ini, pikirku. Bahkan, mungkin aku merindukannya.
Seminggu yang lalu aku menerima surat dari tempat media impianku yang gedungnya berlokasi di bawah teduhnya jembatan layang Antasari, Jakarta Selatan. Media daring itu sudah lama menjadi sumber referensiku perihal dunia olahraga. Namun untuk menjadi pewarta magang di media tersebut baru terealisasi saat memasuki tahun ketujuh kuliahku. Karena aku pemalas, dan penunda urusan.
Kembali ke surat itu, isinya sebagai dua bilah mata belati. Satunya menggembirakan, aku bisa menjadi wartawan olahraga (skateboard). Sisi lain agak sedih juga, karena aku harus mengabaikan tawaran menjadi wartawan koran yang ditempatkan di Desk Metropolitan. Kanal tersebut merupakan ladang ilmu bagi pewarta pemula, karena akan meliput kasus kriminal seperti pembunuhan dan sebagainya. Tapi itu semua sepertinya berat karena aku takut melihat darah.
ADVERTISEMENT
Sesampainya di kampus, aku langsung (sok) sibuk membuka lembar persyaratan magang. Mata kubuka dan lanjut mencari di mana keberadaan sang dosen pembimbing. Rencananya begitu beliau terlihat lowong aku langsung merapat dan cerita soal keinginanku menjadi "anak magang media olahraga".
Sayangnya, sampai 17:00 aku tidak melihat dosenku lowong. Anak bimbingan lainnya ternyata menyita waktu dosenku. Pada akhirnya dua jam setelahnya baru aku mendapatkan giliran untuk merapat ke ruangan Pak Dosen.
Dosenku pun terkejut. Bahkan ia sampai mengalihkan pandangannya pada lembar skripsi milik mahasiswa lain. Padahal ia lagi mengoreksi skripsi. Lebih terkejut lagi bahwa ia mendengar bahwa media tempatku magang lumayan ternama. Maklum kelakuan dan ketahanan fisikku berbanding lurus. Sama buruknya.
ADVERTISEMENT
"Nggak ada alasan untuk ngarahin kamu" Katanya. Mungkin karena ia mengetahui aku menyukai dunia olahraga. Sepuluh menit setelah cerita, tanda tangannya terukir manis di lembar pengesahan magang. "Yesss!" Ucapku dalam hati. Betapa malasnya membayangkan harus mengurus beberapa berkas untuk keperluan surat magang. Tapi tak apa, yang penting aku wartawan olahraga.
Dokumentasi Pribadi
Delapan paragraf pertama yang kutulis ternyata tidak menjadi takdirku di kemudian hari. Doakan supaya aku tak malas lagi.