"Bravo Alpha Bravo Ultra"

Tiza Hade
A loving and caring mother.
Konten dari Pengguna
1 Februari 2017 13:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tiza Hade tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
BABU, sebuah kata yang hampir lenyap penggunaannya dalam percakapan sehari-hari, belakangan kembali populer. Alhamdulillah, yang mempopulerkan tidak tanggung-tanggung: Ketua DPR Yang Mulia Fahri Hamzah. Beliau menyebut tenaga kerja Indonesia sebagai babu yang mengemis pekerjaan diluar negeri. Wadduuuuuh. Barangkali beliau lupa kalau kata "Babu" tersebut sengaja dihindari pemakaiannya karena mengesankan penghinaan dan merendahkan harkat dan martabat manusia. Kata BABU dianggap tidak manusiawi dan berpotensi melukai perasaan mereka yang profesinya bekerja mencari nafkah dengan cara membantu meringankan beban para ibu-ibu rumahtangga. Mengapa kata "babu" seolah mengandung nuansa "hina" dan melecehkan? Entahlah. Mungkin karena kata tersebut merupakan warisan jaman kolonial dimana para tuan2 londho yang menjajah Indonesia selama ratusan tahun, mempekerjakan wanita-wanita desa sebagai pelayan dirumah mereka. Aroma "penindasan" pun dirasakan nyata sekali bagi para "baboe" dimana mereka tidak diperbolehkan berdiri, tapi berjongkok, saat menghadapi majikan, tidak boleh mengucapkan sepatah katapun, jangankan berkomentar atau memberi usulan (seperti yang sekarang dilakukan oleh mbak2 dirumah saya). Sungguh sebelas-duabelas dengan aksi perbudakan. Inilah yang membuat para pembela HAM di Indonesia , diabad ke 21 ini, akhirnya berinisiatif mengganti kata babu menjadi terdengar lebih manusiawi yaitu PRT (pembantu Rumah Tangga), lalu belakangan kembali diubah, diperhalus lagi menjadi Asisten Rumah Tangga. Ya, Asisten. Saya merasa kata itu paling cocok bagi mereka yang bekerja siang malam tanpa jam kerja yang jelas, tanpa kontrak apalagi jaminan remunerasi yang terstandar. Mereka yang sudah bangun saat kita masih bergelung selimut, mereka yang memastikan semua urusan "dalam" termasuk urusan dapur bahkan kebersihan toilet beres dan kita bisa menikmati hidup dengan nyaman. Mereka yang memilih meninggalkan anak2 mereka untuk menyuapi anak majikan, mereka yang meninggalkan bangku sekolah dan orangtua untuk sekedar mendapat rupiah. Terlebih lagi mereka yang bekerja diluar negeri, mereka tidak saja jadi pahlawan bagi keluarganya, tapi juga berjasa membawa pulang devisa bagi negara. Rasanya, kita wajib memberikan dua jempol bagi mereka yang mempertaruhkan nyawa demi menangguk NAFKAH YANG HALAL. Sangat masuk akal jika mereka mengharap untuk dihargai, atau setidaknya, TIDAK DICACI. Mungkin bapak Ketua Dewan Yang Terhormat lupa jika beliau duduk diatas sana bukan hanya untuk mewakiki orang2 kaya dan pintar, tapi juga menjadi wakil mereka2 yang berpendidikan seadanya, mereka2 yang tidak punya koneksi untuk mendapat pekerjaan atau kedudukan yang hebat, mereka2 yang tidak punya modal untuk membuka usaha besar, dan mereka2 yang terpaksa bekerja sebagai babu dinegeri orang. Mungkin beliau lupa bahwa kewajiban beliaulah membela orang2 lemah seperti mereka, menyuarakan keluhan mereka, dan mengusahakan perbaikan nasib bagi mereka. Semoga beliau ingat bahwa ucapan yang melecehkan yang dikeluarkan oleh orang yang seharusnya menjadi pelindung, jauh lebih sakit terdengar. Semoga kedepannya kata "babu" yang digunakan untuk melabel mereka yang berjuang untuk sekedar hidup layak, sudah tak ada lagi dikamus bahasa para petinggi negeri ini.
ADVERTISEMENT