Bebaskan Ba'asyir, Jokowi Telat

Tony Rosyid
Pengamat politik
Konten dari Pengguna
19 Januari 2019 16:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tony Rosyid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kuasa hukum capres Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra (kanan) mengunjungi narapidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir di Lapas Gunung Sindur. (Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya)
zoom-in-whitePerbesar
Kuasa hukum capres Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra (kanan) mengunjungi narapidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir di Lapas Gunung Sindur. (Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya)
ADVERTISEMENT
Abu Bakar Ba'asyir bebas. Siapa yang bebasin? Jokowi. Yusril yang mengurusnya. Jokowi dan Yusril ingin ambil poin di sini. Su'udhan? Tidak! Ini murni analisis politik.
ADVERTISEMENT
Ba'asyir dibebaskan oleh politisi pada tahun politik. Kalau bukan bertujuan politik, lalu apa? Hanya orang 'lugu' yang tidak memaknainya sebagai langkah politik.
Ada dua tujuan Ba'asyir dibebaskan. Pertama, membangun image bahwa Jokowi pro umat Islam. Telat! Kenapa? Harusnya, Ba'asyir sudah bebas bersyarat pada 23 Desember 2018. dua per tiga masa penahanan sudah dilewati, setelah serin gkali dapat remisi dan amnesti. Itu keterangan Mahendradatta dan Achmad Michdan, dua pengacara Ba'asyir.
Membebaskan Ba'asyir justru kontraproduktif bagi Jokowi. Rakyat, khususnya umat Islam, akan bertanya, kenapa hak Ba'asyir untuk keluar tidak diberikan? Apalagi setelah berulang kali diajukan karena alasan usia dan sakit. Alih-alih jadi malaikat penyelamat, justru Jokowi akan dianggap menanggung dosa atas telatnya Ba'asyir dibebaskan.
ADVERTISEMENT
Kedua, Ba'asyir dibebaskan jelang pilpres. Persis sehari setelah debat. Situasinya, rakyat sedang fokus perhatiannya ke pilpres. Maka, respon publik terhadap keluarnya Baasyir akan connected dengan pilpres. Dan betul, hampir semua media menaikkan berita bebasnya Ba'asyir. Tapi, apakah akan merubah image dan menganulir persepsi bahwa Jokowi rival 'umat'? Rasa-rasanya tidak.
Seandainya Jokowi bebaskan Ba'asyir sebelum hiruk pikuk pilpres, tentu ceritanya akan lain. Cakep lagi kalau tidak cuma Ba'asyir, tapi juga sejumlah narapidana yang 'dipertanyakan' dakwaan terorisnya dibebaskan. Timing dan momennya lebih tepat. Jokowi akan dapat poin.
Saat itu, memang belum ada sosok Yusril. Apakah pembebasan Ba'asyir ini bagian dari strategi Yusril? Pura-pura merapat ke Jokowi, lalu bebaskan Ba'asyir? Bisa juga. Enggak ada yang tak mungkin. Kalau benar, ini bisa jadi poin buat Yusril.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, umat sudah mulai apatis dengan Yusril. Maka, seandainya ada poin buat Yusril, baru akan disadari umat dalam jangka panjang. Itu pun seandainya ada. Masih perlu dibuktikan di kemudian hari. Yang pasti, poin itu ada untuk Yusril setelah pilpres. Mungkin juga setelah Partai Bulan Bintang (PBB) tidak ada lagi, karena suaranya tak mampu melewati batas minimal parliamentary threshold, yaitu 4 persen. Berharap bisa capai 4 persen bagi PBB memang agak mengigau. Apalagi setelah Yusril menyeberang dari habitatnya.
Soal strategi, Jokowi sering kali kurang taktis. Terutama dalam mengambil hati--dan berinteraksi dengan--umat Islam. Persekusi, bom molotov, ketimpangan hukum, kriminalisasi, penganiayaan aktivis muslim sudah sedemikian melekat di alam bawah sadar umat. Inilah yang menyebabkan tagar #2019GantiPresiden dan ABJ (Asal Bukan Jokowi) lahir. Karena itu, tak mudah dihapus dari memori umat.
ADVERTISEMENT
Semangat untuk ganti presiden begitu kuat tumbuh dalam bentuk perlawanan politik. Buktinya, survei ganti presiden selalu lebih tinggi dari tetap Jokowi presiden.
Benih-benih perlawanan ini bisa dilihat di Pilgub Jateng dan Jabar. Meski calon umat kalah karena faktor paslon yang kurang populer dan logistik yang terlalu cekak. Tapi, perlawanan itu betul-betul menghantui incumbent.
Bagaimana di pilpres? Ketika Prabowo muncul, sebagian rakyat menahan diri. Sebagian lagi ada yang ragu. Makanya, jumlah swing voter besar. Sekitar 35 persen. Ke mana swing voter ini?
Petanya, rakyat banyak kecewa terhadap Jokowi, tapi belum terlalu sreg kepada Prabowo. Survei tidak bisa memotret arah politik mereka. Ini terlihat di Pilgub Jateng dan Jabar. Elektabilitas Sudirman Said selalu di bawah 30 persen dalam survei. Kenyataannya? 41 persen. Begitu juga Sudrajat, malah di bawah 10 persen dalam survei. Kenyataannya? 28 persen.
ADVERTISEMENT
Dari mana suara itu? Pertama, lembaga survei seringkali ngaco. Jadi alat propaganda, dibayar mahal untuk itu. Kedua, swing voter lari ke Sudirman Said dan Sudrajat karena mereka kecewa terhadap paslon dari penguasa.
Bagaimana dengan pilpres? Sepertinya tak akan jauh dari Pilgub Jateng dan Jabar. Swing voter agak sulit ke Jokowi. Meski dengan terpaksa, mereka lebih banyak akan pilih Prabowo. Jika analisis ini benar, maka Prabowo-Sandi pemenangnya. Asal, Prabowo-Sandi bisa jaga diri dari sikap dan langkah blunder.
Elektabilitas Prabowo-Sandi terus naik dan merapat, sementara Jokowi-Ma'ruf lebih sering melakukan blunder. Jokowi suka main gebuk, Ma'ruf Amin sering berkata kasar.
Variabel yang lain adalah debat. Debat berpengaruh terhadap suara pemilih. Dan peluang Prabowo-Sandi dalam debat lebih besar untuk merebut hati rakyat. Dengan catatan, harus menyerang dan lebih tajam dengan data-data yang akurat.
ADVERTISEMENT
Sebagai incumbent, terlalu banyak kelemahan dari Jokowi, terutama janji politik, masalah ekonomi, dan persoalan hukum. Ini celah terbuka yang bisa dimanfaatkan oleh Prabowo-Sandi.
Dalam situasi sekarang ini, Jokowi perlu kerja lebih keras lagi dan lebih taktis. Perlu langkah-langkah besar, tetapi langkah yang tidak melanggar hukum dan aturan, serta tidak manipulasi. Bukan pula pencitraan. Jika hanya mengandalkan model kampanye biasa, maka sulit bagi Jokowi menutupi kekurangannya dan keluar dari image sebagai rival rakyat.
Apa yang dilakukan Jokowi dengan membebaskan Ba'asyir itu langkah biasa, bukan luar biasa. Tidak spektakuler. Tidak akan menambah poin. Apalagi dilakukan di waktu yang tidak tepat, karena terlalu telat.
Jakarta, 19/1/2019