Deklarasi Sang Jenderal dan Terbentuknya Poros Baru

Tony Rosyid
Pengamat politik
Konten dari Pengguna
2 Juni 2018 11:58 WIB
Tulisan dari Tony Rosyid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jokowi, AHY, Prabowo, dan Anies. (Foto: Dok. Biro Setpes, Fanny Kusumawardhani/kumparan, AFP/Adek Berry, Iqbal Firdaus/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi, AHY, Prabowo, dan Anies. (Foto: Dok. Biro Setpes, Fanny Kusumawardhani/kumparan, AFP/Adek Berry, Iqbal Firdaus/kumparan)
ADVERTISEMENT
Atas desakan Gerindra, Prabowo deklarasi. Tepatnya, dipaksa deklarasi. Meski di Gerindra sendiri tidak kompak. Ada yang masih ingin Prabowo jadi cawapres Jokowi. Alasannya? Gak ada logistik, dan susah menang. Ada pula yang ingin Prabowo jadi King Maker. Hal biasa untuk sebuah dinamika dalam partai.
ADVERTISEMENT
Sebagian kader Gerindra ragu soal Prabowo. Bukan integritas dan kapasitasnya, tapi lebih pada soal memenangkan pertarungan.
Jika ada analis bahwa Prabowo akan kalah lawan Jokowi, buru-buru di-bully oleh para pendukung 'die hard'-nya Prabowo. Dibilang kecebong, manuver istana, ketakutan pihak Jokowi, dan macam-macam. Sikap ini justru mengaburkan pandangan dan analisis objektif. Gak jernih, dan ini paling berbahaya.
Apa ngukurnya kalau Prabowo berat? Pertama, elektabilitas Prabowo stag. Meski deklarasi, tetap stag. Gak berubah. Sebaliknya, elektabilitas Jokowi naik ketika lawannya Prabowo. Itu hasil survei. Survei yang mana? Selain INES. Tak ada lembaga survei selain INES yang merekomendasikan Prabowo maju. LSI, Median, dan Indobarometer. Publik bertanya siapa INES ini. Kok beda?
Sering kali dalam pilpres dan pilkada, seorang calon terjebak dengan survei yang gak kredibel. Akhirnya, salah hitung dan otomatis salah pula menerapkan strategi. Kabarnya, tim Prabowo pernah mengalaminya di survei 2014. Salah data, dan akhirnya kalah. Akankah terulang?
ADVERTISEMENT
Beda dengan Anies Baswedan dan Gatot Nurmantyo. Elektabilitas kedua tokoh ini naik turun. Saat isunya bagus, naik. Enggak ada isu, turun. Tutup Alexis, hentikan reklamasi, jual saham bir, dihadang di GBK, ini semua isu hot. Elektabilitas Anies langsung naik. Dan Anies, karena posisinya sebagai Gubernur DKI, punya segudang kesempatan untuk membuat isu hot.
Apalagi jika pihak penguasa salah lagi dalam bersikap dan memperlakukan Anies. Akan lebih hot, dan blunder buat penguasa. Kemampuan oral dan narasi Anies bagus. Inilah kelebihan Anies yang paling mengancam dan berbahaya buat istana. Terutama saat debat pilpres.
Demikian juga dengan Gatot Nurmantyo, road show di berbagai wilayah membuahkan hasil. Kerja tim Gatot sukses. Elektabilitas Gatot merangkak naik. Hanya saja, Gatot punya hambatan serius. What? Hubungannya dengan Habib Rizieq dan PA 212 belum cair. Tak ada nama Gatot dalam daftar para tokoh yang direkomendasikan PA 212. Ada apa?
ADVERTISEMENT
Teorinya, jika elektabilitas calon itu dinamis, ia punya peluang. Jika elektabilitasnya stag, sangat sulit punya kesempatan untuk bisa menang. Gimana mau menang? Angkanya enggak bergerak. Inilah yang dialami Prabowo saat ini. Prabowo di bawah 25%. Tak berubah setelah deklarasi. Jokowi di atas 50%.
Kabar yang bisa dipercaya, mendapat lawan Prabowo, istana dan PDIP euforia. Andrian Napitupulu bilang di tv; kalau Pak Prabowo gentle, maju sendiri. Jangan calonkan orang lain. Kalimat ini secara implisit dapat dibaca kemana arah dan maksudnya.
Coba Anies Baswedan yang dicalonkan. Langsung gigi empat, tancap gas dan menyerang. Soal isu agama, gubernur belum tuntas, menteri dipecat, dan semua sisi kehidupan Anies akan dibongkar dan dicari-cari. Dan ini bisa dibuktikan nanti.
ADVERTISEMENT
Kedua, dalam politik ada teori branding. Orang menyebut pencitraan. Syaratnya? Ada bahan yang dibranding. Apa bahan untuk branding Prabowo? Prestasi di Kopassus? Sudah lewat. Lima tahun sebagai oposisi, hampir tak ada yang diperbuat dan ditunjukkan oleh Prabowo.
Tak ada posisi? Banyak peluang yang bisa dibuat dan dimanfaatkan. Tapi, tak dibuat dan dikapitalisasi. Sementara Jokowi, lepas dari semua faktor yang menjadi kritik rakyat kepadanya, ada prestasi. Ada karya yang bisa dicitrakan. Ini branding Jokowi. Jauh lebih mudah ngejualnya dari pada Prabowo.
Kenapa Jokowi naik motor Cooper. Keliling kampung dengan pakaian ala Dilan. Jokowi ditampilkan sebagai anak muda dan gaul. Didesain kontras dengan Prabowo yang usianya di atas 60 tahun. Ah, itu pencitraan. Betul!. Lalu, apa pencitraan Prabowo? Pencitraan adalah bagian yang tak bisa dipisahkan dari politik. Hanya saja, ada pencitraan beneran, ada bohongan.
ADVERTISEMENT
Prabowo tidak cukup punya narasi yang mampu membuat Jokowi keok. Di senyum, kalah. Cara bergaul dan nyapa kerumunan di pasar, Jokowi lebih jago. Soal kesederhanaan, tampilan Jokowi lebih kena. Untuk anak-anak muda? Jokowi jauh lebih muda.
Dua alasan ini yang diprediksi banyak pihak sebagai faktor Gerindra belum dapat partner koalisi hingga sekarang. Demokrat tegas menolak koalisi kalau calonnya Prabowo. PKS dan PAN punya syarat cawapres. Bisa dibilang, itu cara dua partai itu menolak dengan halus.
Setiap partai punya survei internal. Kalau menolak koalisi, alasannya dua. Pertama, hasil surveinya buruk. Regresif, atau cenderung negatif. Kedua, no deal dalam negosiasi.
Posisi Gerindra makin sulit pascadeklarasikan Prabowo. Bisa-bisa, Gerindra sendirian, dan akhirnya tak punya tiket untuk usung calon. Sebab, kursi Gerindra hanya 73. Tak bisa sendirian mengusung calon. Mesti koalisi. Dengan siapa? Itulah masalahnya. Buntu.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, PKS, PAN dan Demokrat sedang jalin komunikasi. PKS punya 40 kursi. PAN 49 kursi. Sedangkan Demokrat 61 kursi. Total 150 kursi. Lebih dari cukup untuk mengusung pasangan capres-cawapres. Syarat minimal usung pasangan capres-cawapres 112.
Lalu, siapa yang akan diusung? Anies-AHY paling berpeluang. Pilihan lain? Hampir tak ada. Pertama, syarat kapasitas, integritas dan elektabilitas terpenuhi dipasangkan Anies-AHY. Kedua, pasangan ini mengurai kebuntuan koalisi. Jika PKS dan PAN legowo, jadi ini barang. Demokrat layak mendapat posisi nomor dua, karena jumlah kursinya terbesar di antara tiga partai yaitu 61 kursi. Dan AHY, dalam berbagai survei, elektabilitasnya sebagai cawapres tergolong paling tinggi. Lalu, bagaimana dengan Gerindra?
Kalau Gerindra kaku, dan tak mau melunak soal calon, tak menutup kemungkinan Gerindra akan ditinggalkan sendirian. Prabowo tak dapat tiket, Gerindra sendirian seperti Demokrat di pilpres 2014. Dalam politik, partai meski bersikap rasional dan realistis.
ADVERTISEMENT
Akan jauh lebih menguntungkan bagi Gerindra jika mau ambil Anies sebagai kader dan usung sebagai capres. Kalau formasinya demikian, hampir pasti PKS dan PAN mendukung. Kedua partai ini rela tidak dapat jatah cawapres demi utuhnya koalisi yang memberikan optimisme kemenangan.