Dilema Jokowi Tentukan Cawapres

Tony Rosyid
Pengamat politik
Konten dari Pengguna
23 Juli 2018 8:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tony Rosyid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jokowi Resmikan PLTB Sidrap (Foto: Biro Pers Setpres)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi Resmikan PLTB Sidrap (Foto: Biro Pers Setpres)
ADVERTISEMENT
Usung Jokowi, tentu ada hitung-hitungan dan targetnya. Apa targetnya? Pertama, logistik. Rumornya ada dana Rp 16 triliun yang disiapkan. Benarkah? Masih perlu diklarifikasi. Bisa benar, bisa tidak. Kalau benar, ini wajar.
ADVERTISEMENT
Petahana punya kekuasaan dan akses dana. Rp 16 triliun bukan uang besar bagi penguasa. Meski terlalu besar jika digunakan untuk menyiapkan rumah bagi para tuna wisma dan mengatasi warga suku Asmat yang kekurangan gizi.
Mendukung Jokowi, tak perlu mikir logistik. Soal ini sudah pasti aman. Berapa? Tinggal kekuatan nego. Minimal hitung jumlah kursi di DPR.
Kedua, soal positioning. Terutama posisi cawapres. Inilah yang sedang diperebutkan. Saling intip dan saling senggol. Penolakan PDIP, Nasdem, Hanura, dan PPP terhadap pencawapresan Jusuf Kalla bisa jadi awal lahirnya kubu baru di istana.
Kubu lainnya diisi Golkar, PKB, dan Perindo. Apakah ini pertanda koalisi istana mulai pecah? Boleh jadi. Setidaknya, mulai agak retak-retak.
Partai yang tidak dapat cawapres, akan dapat jatah di kabinet. Ini penting untuk tetap mendapatkan kekuatan dukungan di pencapresan 2019 maupun di parlemen.
Presiden Joko Widodo memberikan sambutan di hari santri. (Foto: Setkab.go.id)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo memberikan sambutan di hari santri. (Foto: Setkab.go.id)
Kebijakan Jokowi soal bagi-bagi jatah kabinet inilah yang selama dua tahun terakhir menuai kritik. Sebab, janji kabinet kerja yang diisi oleh para profesional tak mampu ditunaikan karena kebutuhan pragmatis akan parpol pendukung. Para menteri dari kalangan profesional dipecat.
ADVERTISEMENT
Di antaranya Anies Baswedan, Sudirman Said, Rizal Ramli, dan Andrianof Chaniago. Yang muncul kemudian adalah "kabinet parpol". Jika Jokowi presiden lagi, apakah akan terulang?
Saat ini, posisi yang sedang diperebutkan parpol pendukung Jokowi adalah cawapres. Dianggap sangat strategis. Sebab, belum muncul lawan tangguh Jokowi. Prabowo? Oleh parpol istana dianggap hanya akan memutar ulang pilpres 2014.
Bukannya semangat ganti presiden semakin masif? Memang. Hasil survei juga kasih datanya tapi, akan bergantung juga kepada siapa calon pengganti presiden itu. Kalau Prabowo, diyakini banyak pihak akan lewat.
Ingat Sudrajat di Pilgub Jawa Barat kemarin? Kampanyenya ganti presiden. Gak juga nendang. Sebab, tokohnya gak kuat. Suara memang naik signifikan. Tapi, tetap tak menang.
ADVERTISEMENT
Lemahnya tokoh penantang Jokowi semakin menambah keyakinan kubu istana untuk jadi pemenang. Karena itu, bursa cawapres Jokowi jadi laris. Parpol koalisi berebut. Apalagi jika Jokowi jatuh di tengah jalan, wapres bisa jadi presiden. Minimal, 2024 wapres paling berpeluang jadi capres.
Bicara soal bakal cawapres Jokowi, tetap penentuannya di injury time. Mengacu di pilpres sebelumnya, kemungkinan nama cawapres akan ditentukan di tanggal 9 Agustus. Sehari menjelang penutupan pendaftaran.
Siapa yang akan dipilih Jokowi? Pertama, bergantung negosiasi parpol. Tentu, Jokowi tak akan menentukannya sendiri. Partai koalisi pasti terlibat. Salah negosiasi, akan jadi bumerang buat Jokowi. Bisa-bisa Jokowi tak dapat tiket. Sebab itu, Jokowi dituntut untuk bisa memuaskan semua partai pendukung.
Satu sisi, banyaknya parpol pengusung dan pendukung akan menambah kekuatan. Di sisi lain, akan rawan konflik kepentingan. Salah kelola, justru akan jadi bumerang. Begitulah hukum politik berlaku. Berlaku juga di dunia sosial non politik.
ADVERTISEMENT
Kedua, bergantung pada siapa lawan yang dihadapi Jokowi. Kalau itu Prabowo, maka kemungkinan gesekan akan semakin menguat. Sebab, Jokowi diprediksi akan menang. Soal cawapres tak harus ketat untuk jadi pertimbangan. Parpol koalisi makin percaya diri. Kabarnya, PDIP ngotot ajukan Puan Maharani. Sementara partai pendukung lainnya menolak.
Pencapresan Prabowo, di satu sisi membuat koalisi istana optimistis dan makin bersemangat. Tapi di sisi lain berpotensi menambah kekisruhan dan kegaduhan antar parpol koalisi. Karena, untuk melawan Prabowo, tak perlu dengan power full. Siapapun cawapres Jokowi bisa menang. Begitulah kira-kira yang dipikirkan PDIP.
Jika lawan Jokowi Gatot Nurmantyo? Cawapres yang akan diambil Jokowi kemungkinan dari tentara. Muldoko misalnya. Untuk mengimbangi jaringan Gatot di kalangan militer. Tapi, kalau lawannya Anies Baswedan? Bergantung cawapres Anies.
ADVERTISEMENT
Kalau cawapres Anies itu Ahmad Heryawan, Jokowi akan hadang dengan cawapres dari NU. Sebab, kader PKS masih kesulitan untuk dapat suara dan dukungan dari kelompok NU. Sebagian Nahdliyyin malah antipati terhadap PKS.
Kalau Anies-AHY? Maka, bergantung siapa yang akan jadi fokus perlawanan. Kalau fokusnya ke AHY, maka Jokowi bisa ambil Muldoko. Senioritas dan jaringan militer. Jika fokusnya adalah Anies, maka Jokowi bisa didampingi Mahfudz MD atau Rizal Ramli.
Jokowi mesti di-back up cawapres yang smart dan punya narasi bagus. Sebab, di titik ini Jokowi punya kelemahan jika berhadapan dengan Anies. Mahfudz MD dan Rizal Ramli bisa mewakili kalangan ini.
Rizal Ramli mau? Tak menutup kemungkinan jika Jokowi dan parpol koalisi istana meminta. Bukannya selama ini Rizal Ramli berada di posisi melawan Jokowi? Kalau TGB, Ali Muchtar Ngabalin dan Kapitra saja bisa, tak mustahil dengan Rizal Ramli.
ADVERTISEMENT
Soal alasan, mudah sekali dibuat dan dirasionalisasi. Di Indonesia ini, apa yang tidak bisa dibuat rasional? Korupsi aja bisa dirasionalisasi, apalagi soal politik.
Apakah Muldoko, Mahfudz MD, atau Rizal Ramli bisa diterima parpol koalisi Jokowi? Belum tentu juga. Inilah situasi dilematis yang mungkin akan dihadapi oleh Jokowi. Salah-salah, Jokowi bisa ditinggalkan oleh partai koalisi.