Gagal Recovery, Jokowi Terintimidasi

Tony Rosyid
Pengamat politik
Konten dari Pengguna
29 Desember 2018 12:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tony Rosyid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Capres 01, Joko Widodo berbincang dengan Cawapres 01 Ma'ruf Amin. (Foto: Dok. TKN Jokowi-Ma'ruf)
zoom-in-whitePerbesar
Capres 01, Joko Widodo berbincang dengan Cawapres 01 Ma'ruf Amin. (Foto: Dok. TKN Jokowi-Ma'ruf)
ADVERTISEMENT
Persaingan dua kubu Paslon makin ketat. Jarak elektabilitas semakin rapat. Jika ada yang bilang selisihnya di atas 10 persen, pasti ngawur. Apalagi 20 persen, itu makin ngelantur. Lalu, berapa selisihnya? Kisaran 5-6 persen.
ADVERTISEMENT
Elektabilitas Jokowi-Ma'ruf terus turun. Sementara Prabowo-Sandi punya trend naik. Dan naiknya makin signifikan. Pilpres masih 3,5 bulan lagi. Diperkirakan angka elektabilitas akan bertemu. Seru!
Hingga saat ini, belum ada tanda-tanda Jokowi recovery. Pola kampanyenya ajeg. Sementara gelombang politik tinggi, dan bisa berpotensi seperti sunami. Memporak-porandakan elektabilitas Jokowi yang semula dianggap safety.
Masalahnya, yang dihadapi Jokowi bukan hanya Prabowo dan Sandi. Yang paling berat saat ini, Jokowi harus menghadapi situasi sosial yang tidak kondusif dan susah diprediksi. Rakyat kecewa, bahkan cenderung sensi.
ADVERTISEMENT
Sementara Ma'ruf Amin, tak banyak bisa diharapkan. Hadirnya lebih banyak jadi beban. Ini karena faktor buruknya komunikasi politik mantan anggota DPRD DKI dan DPR RI ini. Pertama, soal mobil Esemka. Oktober diproduksi. Tak terbukti. Ini blunder. Kedua, tolak reuni 212 dengan komentar yang tak simpatik. Blunder lagi. Ketiga, respon terhadap isu PKI yang dituduhkan ke Jokowi. Penggunaan kata "Matamu!" tak sesuai dengan psikologi rakyat Indonesia, terutama Jawa. Kelima, istilah makiyyah, yang diplesetkan artinya jadi maki-maki. Sebuah sindiran yang kurang elegan. Kontra-produktif di mata Umat Islam.
Jokowi dan Ma'ruf seperti tak kompak. Jalan sendiri-sendiri. Sempat terjadi ketegangan saat Ma'ruf berbaring sakit. Ketegangan ini dibaca publik ketika Luhut Binsar Panjaitan (LBP) dan Erick Thohir membicarakannya Rumornya soal fundrising. Desas desus Ma'ruf mau diganti. Ma'ruf bangkit dan coba memperbaiki. Buktikan loyalitas ke Jokowi. Turun ke lapangan dan kampanye lagi. Tapi, belum ada tanda-tanda mampu menahan elektabilitas yang terus memburuk.
ADVERTISEMENT
Inilah alasan mengapa SBY dan Gatot segera memutuskan pilihan. Menentukan dukungan ke Prabowo-Sandi. Turun gunung dan bantu kampanye. SBY bergerilya di Jawa Timur. Gatot mengepung Jawa Tengah. Bersama Sandi berupaya menjinakkan kerumunan banteng.
Kedua jenderal ini turun. Karena potensi kemenangan tampak ada dan terbuka. Kedua jenderal ini bersikap realistis, dan cenderung pragmatis. Begitulah watak umumnya politisi. Siapa yang bakal menang, dukung. Gak menang, pindah ke lain hati. Minimal abstain. Mereka tentara angkatan Darat, terbiasa dengan kalkulasi dan cukup berpengalaman membaca situasi. Tahu keadaan masyarakat dan arah politiknya. Maka, keputusan SBY dan Gatot boleh jadi adalah sinyal kemenangan buat Prabowo-Sandi.
Gelombang dukungan mulai mengalir ke Parbowo-Sandi. Tidak hanya SBY dan Gatot, tapi sejumlah tokoh dan elit bergerilya merapat. Diam-diam meninggalkan Jokowi-Ma'ruf. Pengusaha dan media? Tak ada pilihan kecuali beralih haluan. Mereka adalah orang-orang yang realistis dan pragmatis. Di otak mereka hanya ada satu catatan: bisnis terselamatkan! Tak kenal ideologi. Moral? Itu nomor tiga belas. Yang penting, dukung siapa yang menang. Soal etika, norma, ideologi dan moral, biarlah diurus para relawan.
ADVERTISEMENT
Mulai bulan depan, kampanye akan semakin panas. Adu jumlah massa dan logistik akan masif. Yang pasti, petahana punya akses birokrasi dan cukup dana. Ini akan jadi mesin politik untuk unjuk kekuatan di musim kampanye nanti. Tapi, jika tak dikelola dengan rapi, akan jadi obyek bully. Akibatnya, jurus moral dan etika akan menghakimi.
Sementara Prabowo-Sandi diuntungkan oleh situasi. Kekecewaan rakyat kepada Jokowi jadi mesin politik yang semakin menjadi-jadi. Mereka bekerja secara militan dan simultan. Semangatnya satu: 2019 Jokowi diganti!
Bagaimana menghadapi militansi umat ini? Jokowi mesti merubah strategi. Pertama, tidak lagi memukul, tapi merangkul. Kedua, perbaiki komunikasi politik. Mengapresiasi lawan, bukan meremehkan. Ketiga, bangun kerendahan hati. Berani minta maaf atas janji politik yang tak ditepati. Kebijakan yang salah di mata rakyat siap memperbaiki.
ADVERTISEMENT
Rakyat yang mana? Stop mengindetifikasi! Ini bentuk recovery. Mungkinkah? Tak mudah! Tapi, jika tak ada langkah recovery, di pilpres 2019, bayangan kekalahan akan semakin mengintimidasi Jokowi.
Jakarta, 29/12/2018