news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Gagalnya Isu Khilafah

Tony Rosyid
Pengamat politik
Konten dari Pengguna
9 April 2019 9:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tony Rosyid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi khilafah Sumber:kumparah
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi khilafah Sumber:kumparah
ADVERTISEMENT
Khilafah dalam konteks gerakan politik Indonesia itu khas milik HTI. HTI itu koncone PKS? Bukan! Gak ada hubungannya. PKS justru paling kencang mengkritik HTI karena HTI golput. Sebagai partai politik, PKS anti golput. HTI itu FPI? Bukan juga! FPI itu NU banget. Selawat, ziarah kubur, tahlil dan kunut. FPI pro demokrasi. Beda dengan HTI.
ADVERTISEMENT
Lalu HTI itu siapa? Bukan PKS, dan bukan pula FPI. HTI itu ya HTI. Setiap pemilu golput. Anda tahu golput? Golput itu enggak dukung siapa-siapa, dan enggak ikut nyoblos. Bagi HTI, demokrasi itu haram. Tahu artinya haram? Dilarang! Makanya, mereka golput. Dan kita, masyarakat pemilih, gak perlu risau dengan HTI.
HTI bukannya pendukung Prabowo ya? Ngawur! Bahkan super ngawur! Ya bukan lah. Golput kok dukung. Kalau HTI mau dukung, kemungkinan dukung PBB. Coba lihat jejak digitalnya di media. HTI dukung PBB, karena Yusril jadi pengacaranya. Apakah berarti HTI dukung Jokowi? Ya enggak tahu. Silakan tanya HTI dan Yusril. Hanya mereka berdua yang tahu, selain Tuhan.
Isunya HTI dukung Prabowo? Namanya juga isu. Dibuat, dipoles dan digoreng. Ini namanya black campaign. Kampanye hitam. Bahasa agamanya "fitnah". Tujuannya? Nyerang Prabowo. Ini enggak bermoral kawan!
ADVERTISEMENT
Ada tiga isu yang selalu dimainkan dan berulang-ulang digunakan sebagai propaganda kampanye untuk menyerang Prabowo. Pertama, isu khilafah. Kedua, isu radikal. Ketiga isu wahabi. Wahabi itu identik dengan no tahlil, no ziarah kubur dan no kunut. "Kalau calon ini menang, maka tahlil, ziarah kubur dan kunut tak ada lagi di Indonesia." Lucu bukan? Lucu banget.
Tiga isu ini terus diopinikan ke publik untuk menakut-nakuti pemilih. Namanya juga propaganda politik.
Tapi, yang bicara begitu ada yang bergelar kiai pesantren? Ingat, kiai itu pinter agama, tapi bukan berarti pinter politik. Kiai itu, terutama yang hidup di kampung, umumnya sosok yang lugu dan sederhana. Karena keluguannya itu, ada pihak-pihak yang memanfaatkan. Bisikin kiai bahwa negara ini terancam oleh kelompok Islam radikal. Ada kiai yang langsung percaya. Namanya juga orang lugu.
ADVERTISEMENT
"Pak kiai, kalau si A menang, maka tahlil, ziarah kubur dan kunut akan dihapus." Percaya juga. Dengar bisikan itu, badan kiai bisa gemetar. Wajahnya memerah, dan hatinya marah. Besoknya, kiai langsung berceramah. Isinya mengutuk dan melaknat calon si A. Begitulah yang selama ini terjadi. Orang baik, karena keluguannya, seringkali dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menebar fitnah. Menurut anda, siapa yang jahat? Pembisik! Pak kiai, siapapun anda, hati-hati dengan para pembisik ini.
Untuk memastikan bahwa khilafah adalah isu, fitnah dan kampanye hitam belaka itu simple. Sangat mudah. Caranya? PKB masuk koalisi. Maksudnya? Kalau PKB ikut dukung Prabowo, maka isu khilafah, radikal, bahkan wahabi, seketika hilang. Pergi tanpa jejak.
Ingat Pilgub Jawa Tengah 2017 lalu? Ketika PKS, PAN dan Gerindra mengusung Sudirman Said jadi calon gubernur, apakah ada isu khilafah, radikal dan wahabi? Tidak ada! Kenapa? Karena PKB ikut gabung. Anda bisa bayangkan jika PKB tak ada di partai koalisi Sudirman Said saat itu, hampir pasti isu khilafah, radikal dan wahabi (no tahlil, no ziarah kubur, no kunut) akan dimainkan. Paham kan?
ADVERTISEMENT
Dulu di DKI, juga ada isu. Jika Anies-Sandi menang, Jakarta akan menerapkan syariat Islam. Islam di Jakarta akan jadi Islam radikal. Tahlil, kunut dan ziarah kubur akan dihapus. Faktanya sekarang? Nol! Enggak terbukti! Ngawur bukan? Masak ke-ngawuran ini diulang lagi. Mikir, kata Cak Lontong. Artinya, pakai otak dong.
Secara moral, kampanye model ini menodai demokrasi kita. Jaringan syaraf rakyat dirusak oleh pola kampanye hitam seperti ini. Satu sisi kita menolak politik identitas, tapi disisi lain kita terus menyuarakan identitas-identitas yang lebih fanatik. Ini memprihatinkan.
Lalu, apakah isu khilafah berpengaruh? Untuk non muslim mungkin iya. Tapi juga harus diingat, mayoritas non muslim adalah pendukung PDIP. Kata LSI, angkanya 54,7 persen. Siapapun calon yang diusung PDIP, mereka juga ikut dukung. Sebagian kecil non muslim menyebar ke partai-partai lain. Ada isu khilafah atau tidak, non muslim presentasenya sangat kecil yang mendukung calon di luar PDIP.
ADVERTISEMENT
Pengaruhnya terhadap Nahdliyyin? Orang-orang NU sudah pada cerdas. Tahu mana yang fitnah, mana yang beneran. Jadi, isu khilafah, juga isu radikalisme dan wahabi, tak akan banyak mempengaruhi pilihan warga Nahdliyyin. Kecuali yang "die hard" PKB. Yang mati urip nderek PKB.
Isu khilafah hanya ramai di opini, tapi tak signifikan mempengaruhi pilihan rakyat. Buktinya, bersamaan dengan makin kencangnya isu khilafah, elektabilitas Prabowo tetap naik, dan elektabilitas Jokowi terus turun. Ini tanda, permainan isu khilafah telah gagal.
Jakarta, 9/4/2019