'Jurus Mabuk' Yusril

Tony Rosyid
Pengamat politik
Konten dari Pengguna
10 November 2018 19:43 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tony Rosyid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yusril Ihza Mahendra (Foto: Facebook Yusril Ihza Mahendra)
zoom-in-whitePerbesar
Yusril Ihza Mahendra (Foto: Facebook Yusril Ihza Mahendra)
ADVERTISEMENT
Soal keringat dan perjuangan, Yusril Ihza Mahendra tak diragukan. Daya tahannya cukup tangguh. Terutama jika dikaitan dengan PBB. Partai yang sekarang dinahkodainya sudah lama dalam kondisi Laa yahya, walaa yamuut. Terancam bubar.
ADVERTISEMENT
Yusril istikamah. Tetap menjaga dan mempertahankannya. Apapun kata dunia, PBB harus hidup. Meski tak punya satupun anggotanya di DPR.
Pileg 2014, PBB hanya memperoleh suara 1.825.750 (1,46 persen). Tak berhak punya wakil di DPR. Inilah yang menyebabkan positioning Yusril rendah. Dan cenderung tak diperhitungkan oleh koalisi manapun.
Tokoh sekelas Yusril sebenarnya punya kapasitas untuk nyapres. Masuk kategori exceptional person. Prestasi akademik dan pengalamannya di pemerintahan tak diragukan. Berulang kali jadi menteri.
Tapi, untuk nyalon gubernur di DKI saja, Yusril tak dapat tiket. Padahal, elektabilitas Yusril paling tinggi di antara calon keumatan yang muncul saat itu. Delapan persen. Jauh melampaui tujuh bakal calon yang diusung Majelis Pelayan Jakarta (MPJ). Apa sebab? Karena PBB tak punya anggota DPRD. Apa kata dunia? Kata salah seorang ketua partai.
ADVERTISEMENT
Sebagian pengamat melihat PBB terlalu kecil bajunya buat tokoh sehebat Yusril. Kenapa tak pindah dan bergabung dengan partai lain? Memang, tak mudah bagi tokoh sebesar Yusril untuk bersedia menjadi orang level kedua atau ketiga, jika pindah ke partai lain. Mirip Sri Bintang Pamungkas dengan PUDI-nya. Terbiasa menjadi top leader. Beban psikologi-sosialnya terlampau berat kalau tidak menjadi pemimpin.
Satu-satunya jalan untuk tetap eksis di dunia politik adalah dengan mempertahankan dan bangkitkan PBB. Meski tertatih-tatih. Bahkan terseok-seok. Tak mudah.
Kalkulasi rasional, PBB cukup berat untuk bangkit dan bersaing dengan partai-partai lain. Apalagi electoral threshold di 2019 makin tinggi, yaitu empat persen. Hasil survei dari sejumlah lembaga, untuk mencapai target dua persen saja PBB mesti kerja super keras. Apalagi empat persen.
ADVERTISEMENT
Sadar keadaan, Yusril harus melakukan langkah "setengah gila". Bila perlu menggunakan "jurus mabuk". Mesti lebih bernyali membuat terobosan. Persetan jika dianggap tak populer. Ini emergency!
Apa langkah Yusril? Pertama, memperkuat modal sosial. Ketika HTI dicabut izin ormasnya, ini peluang. Yusril maju dan jadi lawyer HTI. Barternya? HTI dukung PBB. Ini langkah taktis dan cerdas. Peluang untuk menambah suara PBB. Di sisi lain, ini juga jadi ikhtiar menginsafkan dosa politik HTI yang selama ini selalu golput.
Kedua, tak cukup dengan HTI, Yusril memanfaatkan momen Pilpres. Caranya? Merapat ke Paslon. Jajaki negosiasi. Apa untungnya? Pertama, logistik. PBB, dan semua partai perlu logistik untuk pileg. Mendukung capres-cawapres, peluang logistik terbuka. Kedua, coattail effect. Numpang branding capres-cawapres.
ADVERTISEMENT
Saat ini, yang dianggap tepat sebagai tempat berlabuh bagi PBB adalah Prabowo-Sandi. Kenapa? Sama-sama memiliki background keumatan. Prabowo-Sandi didukung oleh koalisi keumatan. Dan PBB adalah partai eks Masyumi yang juga berbasis keumatan.
Acara Ijtima Ulama dan Tokoh Nasional di Jakarta, Jumat (27/7). (Foto: Antara/Rivan Awal Lingga)
zoom-in-whitePerbesar
Acara Ijtima Ulama dan Tokoh Nasional di Jakarta, Jumat (27/7). (Foto: Antara/Rivan Awal Lingga)
Komunikasi politik dijalin. Yusril mendekati Prabowo-Sandi. Lewat Ka'ban, proses negosiasi dimulai. Draf aliansi ditawarkan. Rupanya, gayung belum tersambut. Masih butuh proses dan waktu. Yusril hilang kesabaran. Satu-satunya jalan, buat manuver. Yusril merapat ke kubu Jokowi-Ma'ruf. Jadi lawyer. Gayung pun bersambut.
Kata Yusril, ini murni sebagai lawyer. Urusan profesionalitas. Gratis pula. Publik bertanya, kalau profesional, mana ada yang gratis? Kalau gratis, itu tidak profesional. Ada-ada aja, Pak Yusril.
Yusril dikenal sebagai lawyer kelas atas. Atasnya atas. Kelas elite. Elitenya elite. Termasuk paling mahal. Tarifnya bisa tiga juta USD. Kira-kira berapa kalau dirupiahkan? Hitung sendiri. Apalagi harga dolar makin tinggi. Hanya Partai Golkar dan orang-orang sekelas Abu Rizal Bakrie yang mampu membayar. Mana mungkin gratis? Apalagi negonya sama pihak Istana. Gudangnya duit.
ADVERTISEMENT
Bagi Istana, satu triliun rupiah untuk mendapatkan Yusril tak rugi. Karena pertama, dapat lawyer. Kedua, dapat peluru untuk menyerang koalisi keumatan. Lalu, apa untungnya bagi PBB?
Pertama, menaikkan daya tawar kepada Prabowo-Sandi. Seolah Yusril ingin mengatakan: kami bisa membahayakan kalian jika kalian mengabaikan kami. Sejumlah peryataan dan kritik Yusril yang "pedas" kepada Prabowo-Sandi bisa berarti bagian dari ancaman itu. Sekaligus meyakinkan kubu Jokowi-Ma'ruf bahwa keberadaan Yusril memberi manfaat untuk kubu ini.
Mirip Ngabalin. Meski sebelumnya, Yusril adalah salah satu tokoh yang sangat kritis kepada pemerintahan Jokowi. Bahkan pernah menilainya amatiran. Yusril pun pernah bilang presiden "goblok". Presiden manapun, kata Yusril berkelit. Tentu publik paham siapa yang dituju Yusril.
Kedua, untuk menaikkan popularitas. PBB masih ada, hidup, dan siap bangkit. Siap berselancar di Pileg dan Pilpres 2019. Ini efek lain dari manuver Yusril.
ADVERTISEMENT
Manuver politik Yusril yang dikemas dalam bahasa lawyer pasti sudah dihitung. Tidak hanya oleh Yusril sebagai personal lawyer, tapi hampir pasti sudah dibicarakan dengan elite partai di PBB.
Manuver Yusril ini lebih merupakan ekspresi kekecewaan terhadap Prabowo-Sandi, karena komunikasi politik yang belum tuntas untuk menghasilkan formulasi "double winner" di Pilpres dan Pileg.
Jika komunikasi Yusril dengan koalisi Prabowo-Sandi terajut, dan formulasi "koalisi keumatan" disepakati bersama, maka akan berpotensi menggagalkan kontrak lawyer Yusril dengan Jokowi-Ma'ruf. Istana akan kecewa.
Joko Widodo dan Yusril Ihza Mahendra  (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan, Dok. Biro Pers Setpres)
zoom-in-whitePerbesar
Joko Widodo dan Yusril Ihza Mahendra (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan, Dok. Biro Pers Setpres)
Tapi sebaliknya, jika komunikasi Yusril dengan kubu Prabowo-Sandi buntu, alias gagal, maka upaya Istana untuk mengganggu koalisi keumatan berhasil. Yusril bisa jadi peluru untuk menyerang.
Lalu, bagaimana nasib PBB jika akhirnya merapat ke Jokowi-Ma'ruf? Apakah langkah ini akan dapat coattail effect dari Jokowi-Ma'ruf? Belum terukur. Tunggu survei Denny JA, kata Yusril.
ADVERTISEMENT
Boleh jadi sebaliknya. Suara PBB akan jeblok. Sebab, ceruk PBB ada di keumatan. Mengingat PBB berbasis Masyumi. Belum pernah ada Masyumi satu perahu dengan PNI. PNI modern adalah PDIP.
Publik akan menunggu, apa yang akan terjadi dengan PBB ke depan. Yang jelas, manuver Yusril lahir dari kepanikan karena keadaan yang mengkhawatirkan bagi PBB. Jika anda jadi Yusril, mungkin anda akan melakukan hal yang sama.
Hanya saja, langkah Yusril merapat ke Istana serta merta rajin menyerang Prabowo-Sandi dianggap publik sebagai "jurus mabuk". Satu sisi menguntungkan Jokowi-Ma'ruf, di sisi lain bisa membahayakan PBB itu sendiri. Di sini nama dan moralitas Yusril sedang dipertaruhkan.
Jakarta, 10/11/2018