Ma'ruf Amin Ditekan, Suara NU Goyang

Tony Rosyid
Pengamat politik
Konten dari Pengguna
14 Desember 2018 18:56 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tony Rosyid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cawapres nomor urut 01 Ma'ruf Amin dalam acara ngopi bareng wartawan di kediaman Ma'ruf, Jalan Situbondo, Jakarta Pusat, Rabu (12/12) (Foto: Rafyq Panjaitan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Cawapres nomor urut 01 Ma'ruf Amin dalam acara ngopi bareng wartawan di kediaman Ma'ruf, Jalan Situbondo, Jakarta Pusat, Rabu (12/12) (Foto: Rafyq Panjaitan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Suara NU pecah. Itu dari dulu. Sebab, NU bukan parpol, tapi ormas. Konsentrasi NU bukan di politik, kendati tak abai terhadap dinamika perkembangan politik. NU punya khitah sebagai ormas yang bergerak di bidang dakwah dan pendidikan, khususnya pendidikan pesantren.
ADVERTISEMENT
Jika ada pihak yang menyeret NU ke politik, itu oknum. Tak ada kaitannya dengan keputusan organisasi karena NU punya khitah non-partisan.
Perseteruan, bahasa pesantrennya 'khilafiyah' antara oknum dengan sejumlah ulama NU penyelamat khitah terus terjadi terkait dengan pilihan politik di Pilpres 2019. Dinamikanya makin keras ketika Ma'ruf Amin, mantan Rais Aam PBNU ini didaulat menjadi cawapres.
Jika anatomi suara warga NU dibedah, maka akan ditemukan empat kelompok. Pertama, kelompok "die hard". Kelompok fanatik. Kelompok ini punya prinsip pokoknya pilih kader NU. Dalil dan argumentasi belakangan. Gampang dibuat. Yang penting kader NU. Itu harga mati. No dialog, no negosiation.
Kedua, kelompok anti-Jokowi. Yang penting "Asal Bukan Jokowi (ABJ)". Kelompok ini kecewa terhadap Ma'ruf Amin yang dianggapnya menyeberang. Kok menyeberang? Ma'ruf Amin yang membuat fatwa Ahok menista. Kelompok ini yakin, Jokowi berada di belakang Ahok. Jokowi back up total Ahok untuk jadi Gubernur DKI.
ADVERTISEMENT
Ketiga, kelompok rasional. Kelompok ini tidak fanatik kepada Ma'ruf Amin maupun NU sebagai ormas. Tapi juga tidak anti-Jokowi. Mereka bersikap rasional. Mana yang terbaik sebagai calon pemimpin bangsa menurut ukuran mereka, maka akan dipilihnya.
Keempat, kelompok yang ingin menyelamatkan khitah NU. Bahkan, 90 ulama dan cucu pendiri NU telah berkumpul di kediaman K.H. Hasib Wahab Chasbullah di Tambakberas, Jombang, Jawa Timur, untuk mendirikan Komite Khittah (Tribunnews.com, 14/11/2018).
Mereka menganggap ada sejumlah oknum NU yang berupaya menarik NU ke politik praktis. Bagi mereka, ini menodai khitah NU. Para oknum inilah yang selama ini berpotensi menjadi sumber benturan internal warga NU dan antara warga NU dengan ormas lain.
Karenanya, NU mesti diselamatkan. Apalagi mereka sadar, NU struktural saat ini sangat mesra dengan PKB. PKB dan oknum di NU struktural telah deklarasi mendukung Jokowi-Ma'ruf. Untuk menghindari dampak yang lebih buruk bagi NU, kelompok ini menuntut PBNU menyelenggarakan Muktamar Luar Biasa (MLB).
ADVERTISEMENT
Empat kelompok di atas relatif bisa dipetakan suaranya. Namun, ada dinamika baru ketika Ma'ruf Amin dikabarkan sakit. Kakinya terkilir, sehingga tak bisa turun untuk kampanye. Erick Thohir, ketua timses Jokowi-Ma'ruf, menyindir halus Ma'ruf Amin. Ia menyatakan bahwa stagnasi elektabilitas Jokowi-Ma'ruf karena Abah (panggilan Ma'ruf Amin) belum kampanye (Merdeka.com, 7/12/2018).
Mungkin tepatnya bukan stagnasi, tapi erosi. Karena beberapa bulan ini, elektabilitas Jokowi-Ma'ruf disinyalir turun.
Selain Erick Thohir, Luhut Binsar Panjaitan (LBP) juga meminta Ma'ruf Amin segera turun dan ikut kampanye. (Tribunnews.com, 9/12/2018). Bukannya LBP masih aktif sebagai menteri? Memang boleh kampanye? Ini soal lain.
Desakan kedua tokoh penting di kubu Jokowi kepada Ma'ruf Amin ini bisa dipahami mengingat elektabilitas Jokowi disinyalir terus turun. Sementara elektabilitas Prabowo-Sandi merangkak naik. Terutama pasca-Reuni 212, diprediksi elektabilitas Prabowo-Sandi makin rapat jaraknya dengan Jokowi-Ma'ruf.
ADVERTISEMENT
Ada semacam "kepanikan" dari kubu Jokowi menghadapi militansi umat Islam yang mendukung Prabowo-Sandi. Maka itu, sangat wajar jika kubu Jokowi berharap Ma'ruf Amin membendungnya. Oleh karena hanya Ma'ruf Amin satu-satunya yang diharapkan bisa menahan laju pergerakan umat.
Akan tetapi, satu hal yang tim Jokowi lupa bahwa Ma'ruf Amin adalah sesepuh dan seorang ulama besar. Desakan Erick Thohir maupun LBP kepada Ma'ruf Amin di saat istirahat sakit (terkilir) dianggap oleh sejumlah pihak, terutama dari kalangan Nahdliyin, kurang patut.
Sikap LBP dan Erick Thohir kepada Ma'ruf Amin bisa dianggap sebagai tekanan yang tidak seharusnya dilakukan. Hal ini berpotensi mengganggu psikologi warga NU. Jika ini terjadi, maka dapat menggerus elektabilitas Jokowi-Ma'ruf dari kalangan NU. Pendukung fanatik Ma'ruf Amin bisa hengkang. Sementara warga Nahdliyin yang ingin ganti presiden akan mengatakan: nah loh, Jusuf Kalla yang kuat dan berani saja tak banyak bisa berbuat apa-apa, apalagi Kyai Ma'ruf?
ADVERTISEMENT
Dalam tradisi NU, ada tiga hal yang dianggap "sakral". Pertama, organisasi NU. Kedua, ajaran dan ritual NU. Ketiga, ulama NU. Bagi pihak luar, hati-hati jika bersinggungan dengan tiga hal ini. Sangat sensitif.
Masih ingat peristiwa ketika pengacara Ahok mencecar Ma'ruf Amin di persidangan? Dianggap tak patut, maka muncul berbagai reaksi dari kalangan Nahdliyin. Termasuk dari Ulil Abshar Abdalla, tokoh muda NU yang dikenal liberal. Dan malam harinya, LBP buru-buru ke rumah Ma'ruf Amin. Tentu untuk meredakan gejolak. Hal ini seolah menegaskan adanya keberpihakan penguasa kepada Ahok.
Sikap Erick Thohir dan LBP kepada Ma'ruf Amin, yang oleh sebagian pihak dipersepsi sebagai tekanan, berpotensi menggerus dukungan Jokowi dari kalangan NU. Apalagi sebelumnya, muncul rumor posisi Ma'ruf Amin sebagai cawapres berpeluang diganti. Jika situasi ini tak segera disikapi dengan cerdas dan arif, maka suara NU bisa goyang dan akan semakin mengancam elektabilitas Jokowi-Ma'ruf.
ADVERTISEMENT
----
Jakarta, 14/12/2018