Melawan Potensi Konflik (Merindukan Pendukung Jokowi dan Anies Bersatu)

Tony Rosyid
Pengamat politik
Konten dari Pengguna
28 November 2022 12:32 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tony Rosyid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Anies Baswedan (kiri) dan Joko Widodo (kanan). Foto: Instagram/@aniesbaswedan
zoom-in-whitePerbesar
Anies Baswedan (kiri) dan Joko Widodo (kanan). Foto: Instagram/@aniesbaswedan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia adalah bangsa besar yang terbingkai dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kata sakral yang semua kita, anak bangsa, mengerti apa maknanya.
ADVERTISEMENT
Kita berbeda dalam banyak bahasa, etnis, agama, budaya, komunitas dan kelompok organisasi. Bahkan tempat tinggal masing-masing kita juga dipisahkan oleh lautan yang luasnya 75 persen dari seluruh wilayah Indonesia. Tetapi satu hal yang kita patut bangga, bahwa kita tetap kokoh bersatu hingga hari ini. Itulah Bhinneka Tunggal Ika. Persatuan ini adalah sesuatu yang paling berharga dan boleh dibilang amat mahal untuk kita jaga.
Persatuan dan kesatuan ini adalah modal kita untuk melangkah bersama dengan satu tekad membangun negara besar bernama Indonesia. Tidak hanya slogan NKRI harga mati, tapi persatuan juga harus harga mati. NKRI dan Persatuan seperti dua sisi mata uang yang tidak boleh terpisah. Jangan ada ruang untuk membenturkan satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Jika kita bilang NKRI harga mati, itu artinya kita semua, tanpa terkecuali, punya tekad bersama yang amat kuat untuk menjaga persatuan bangsa dengan menjauhkan segala bentuk narasi dan sikap yang berpotensi merusak persatuan. Inilah fondasi yang harus kita letakkan sebagai fokus prioritas jika ingin memiliki energi untuk membangun masa depan Indonesia menjadi bangsa yang maju dengan peradaban besar.
Dalam perjalanannya, tentu ada gelombang dan berbagai ujian yang harus dilalui. 77 tahun sudah kita berproses menempa diri, dan Indonesia terus tegak berdiri hingga hari ini.
Ada setidaknya tiga hal yang harus kita ikhtiarkan untuk merawat persatuan negeri bernama Indonesia ini. Pertama, terealisasinya tanggung jawab untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Terutama adil di bidang ekonomi, hukum, sosial, pendidikan, dan pembangunan. Jika minimal lima aspek ini dirasakan keadilannya oleh rakyat, maka negara akan kuat dan berwibawa. Negara yang kuat dan berwibawa akan mendorong kepatuhan dan persatuan bagi rakyatnya.
ADVERTISEMENT
Adil di bidang ekonomi diwujudkan dengan cara bagaimana negara menjamin Sumber Daya Alam (SDA) yang berlimpah dan pertumbuhan ekonomi dapat dirasakan dan mampu mensejahterakan seluruh lapisan masyarakat. Adil secara hukum adalah bagaimana negara menjamin ada kepastian hukum. Hukum tegak berdiri di atas segalanya. Adil di bidang sosial, bagaimana negara hadir dalam menjaga harmonisasi bangsa dalam fakta adanya keragaman. Adil di bidang pendidikan, di mana negara harus menjamin standar pendidikan yang memadai bagi seluruh rakyat dengan menjangkau seluruh penduduk Indonesia. Adil di bidang pembangunan dibuktikan dengan meratanya infrastruktur yang menjangkau seluruh wilayah Indonesia.
Kedua, untuk menjaga persatuan itu tetap terwujud maka para pengelola negara dan elite politik harus memiliki performance sebagai negarawan. Mereka mesti menunjukkan kepada rakyat atas kinerja dan sikapnya yang dominan untuk kepentingan bangsa. Memastikan rakyat merasakan hasil kinerja mereka. Jauh dari sikap politik personal yang memicu lahirnya kekecewaan dan kemarahan rakyat. Jauh pula dari sikap kontroversial yang seringkali menjadi sumber masalah dan memicu munculnya konflik sosial.
ADVERTISEMENT
Ketiga, di era kebebasan media sosial, di mana setiap orang punya ruang yang leluasa untuk mengekspresikan pendapat, edukasi politik harus terus dilakukan. Rakyat butuh referensi elite sebagai role model untuk berperilaku politik yang santun dan penuh keadaban. Pertemuan Anies dan Gibran di Solo beberapa waktu lalu bisa menjadi salah satu cermin bagaimana dua sosok yang dilahirkan dalam kelompok politik yang sedang berbeda bisa bertemu dalam suasana super hangat.
Jelang pemilu, eskalasi perbedaan dukungan politik seringkali menajam seiring dengan penggunaan medsos yang semakin masif. Fanatisme politik terkadang melampaui fanatisme terhadap agama dan etnis. Meski bersifat temporer, ini rawan memicu konflik terutama jika elitenya ikut mengambil manfaat dari kompetisi irasional tersebut.
For example. Ini hanya untuk memudahkan kita memahami sebuah makna persatuan dengan mengambil satu contoh kasus hubungan Jokowi dengan Anies. Sekali lagi, hanya sebagai sample. Dikotomi antara para pendukung Jokowi dan Anies Baswedan yang akhir-akhir ini semakin tajam dan seolah tidak berujung patut untuk diurai.
ADVERTISEMENT
Anies bukan rival Jokowi dan Jokowi bukan rival Anies. Ini dulu yang harus dipahami. Jokowi akan selesai periodesasinya kurang dari dua tahun lagi. Jokowi tidak bisa mencalonkan kembali di pilpres 2024, karena konstitusi tidak memberi ruang. Amandemen UUD 45 sebagai jalur satu-satunya nyapres lagi, 99,9% tidak akan terjadi karena risiko konflik dan gejolak sosialnya teramat besar. Karena itu, Jokowi berulang kali juga menolak wacana tiga periode tersebut. Ada yang tidak percaya, itu soal lain.
Narasi Jokowi tegas menolak usulan menjadi cawapresnya Prabowo dengan terlebih dahulu melakukan Judicial Review UU Pemilu seperti saran Yusril Ihza Mahendra, justru itu akan dianggap sebagai langkah politik terbodoh sepanjang sejarah jika nekat diambil. Jokowi nampak sekali tidak melirik usulan itu. Jokowi sepertinya tahu bahwa menjadi cawapres adalah langkah politik yang tidak rasional. Kalah dan menang akan jadi blunder.
ADVERTISEMENT
Tegasnya, pilpres 2024 itu bukan arena Jokowi vs Anies. Jokowi pensiun dan Anies, jika ditakdirkan mendapat tiket maju untuk pilpres 2024, pasti punya lawan di luar Jokowi. Presiden diharapkan ada dalam posisi netral. Ini pilihan paling rasional. Pertanyaannya: mengapa pendukung dua tokoh ini harus berhadapan dan saling serang? Ini lelucon yang harus segera diakhiri.
Jika ada person yang kebetulan mendukung Anies for presiden, lalu kritis kepada Presiden Jokowi, itu tidak boleh dilihat sebagai pendukung Anies. Tapi mereka harus dilihat sebagai rakyat yang cinta kepada negara dan pemimpinnya. Jokowi adalah pejabat publik yang semua policy-nya harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Kritik rakyat kepada pemerintah, baik Jokowi atau pejabat yang lain, tidak seharusnya dikait-kaitkan dengan urusan dukung mendukung pilpres.
ADVERTISEMENT
Jadi, kompetisi dalam setiap pemilu mesti rasional dan mengurangi unsur emosionalnya. Juga tidak boleh salah sasaran. Adu rekam jejak, integritas, prestasi, dan gagasan harus lebih diberikan ruang yang lebih luas. Ini akan dapat meminimalisir narasi-narasi konfliktual.
Konflik naratif yang telah masif sekian lama, bahkan bertahun-tahun lamanya, hakikatnya tidak menyentuh hal-hal substansial dan seringkali justru salah sasaran serta disalahgunakan. Banyak slogan persatuan yang dipakai justru untuk merusak persatuan. Faktor buzzer menjadi salah satu trouble maker yang diyakini paling dominan. Inilah yang terus ikut mengganggu persatuan dan kenyamanan dalam bernegara.
Karena itu, kita perlu kerja keras untuk kembali merawat persatuan dengan kembali ke tiga hal di atas yaitu adanya keadilan, elite yang berjiwa negarawan, dan massa yang mau belajar berpolitik ke arah yang lebih rasional. Ini akan menjadi fondasi bagi keutuhan bangsa. Dan ini modal penting bagi Indonesia untuk mengumpulkan dan mengkolaborasikan semua energi dan potensi dalam membangun peradaban besar di masa depan.
ADVERTISEMENT