Memasuki Area Pilpres, Marwah MUI Terancam

Tony Rosyid
Pengamat politik
Konten dari Pengguna
19 Agustus 2018 9:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tony Rosyid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ketua NU Said Aqil Siroj bersama KH Ma'ruf Amin, Kamis (9/8/2018). (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ketua NU Said Aqil Siroj bersama KH Ma'ruf Amin, Kamis (9/8/2018). (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
ADVERTISEMENT
Ma'ruf Amin ingin jadi cawapres Jokowi. Said Aqil Siradj juga. Sah dan undang-undang memberi ruang. Bukankah mereka ulama? Setiap warga negara berhak jadi cawapresnya Jokowi. Termasuk para ulama.
ADVERTISEMENT
Cak Imin? Bukan ulama. Gak perlu dibahas. Kecuali jika ingin dikaitkan dengan cerita Mahfud MD tentang kardus durian. Itu tema lain.
Hanya saja, warga Nahdliyyin bertanya: mengapa harus bawa-bawa nama NU? Pakai 'ngancam' segala. Emang ada ancaman? Bukan ngancam, hanya kasih tahu kalau gak ambil cawapres dari kader NU, Nahdliyyin akan tidur. Sama aja!
Bukankah NU itu tidak berpolitik praktis? Pertanyaan ini muncul pasca-cerita dramatis Mahfud MD di ILC.
Reaksi pertama datang dari Kiyai Mustofa Bisri. Kiyai sepuh ini minta Ma'ruf Amin mundur dari jabatannya sebagai Rais Am PBNU. Kiyai Mustofa Bisri mengajak warga Nahdliyyin untuk jauhkan NU dari politik praktis. Istiqamah pada keputusan muktamar Situbondo. Kembali ke khittah.
Tidak hanya dari NU. Buya Gusrizal Gazahar, Ketua MUI Sumatera Barat, pun minta Ma'ruf Amin mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum MUI. Bukan hanya NU yang harus diselamatkan dari politik praktis, tapi juga MUI.
ADVERTISEMENT
Koalisi Santri Pemuda (KSP) yang dipimpin Andi Imam malah demo. Menuntut Ma'ruf Amin mundur dari MUI. Waduh, ulama kok didemo. Gak sopan. Bisa kualat.
Kiyai Mustofa Bisri dan Buya Gusrizal Gazahar benar. Jika MUI dan NU berpolitik praktis, maka pertama, kedua organisasi ini akan terperangkap dalam kontestasi menang-kalah. Padahal, lembaga keagamaan dan ormas berdiri tidak untuk mengejar kemenangan atau mengambil risiko kekalahan.
Kedua, akan ada pro-kontra yang mengakibatkan organisasi ini terbelah dalam sejumlah kepentingan para pengurus dan anggotanya. Karena itu lembaga dan ormas Islam mesti diselamatkan dengan dijauhkan dari politik praktis, sebelum berisik dengan adu kuat beragam kepentingan di dalam organisasi. Terkecuali politik moral dan politik kebangsaan. Apa itu?
ADVERTISEMENT
Buat fatwa bahwa mantan koruptor haram hukumnya jadi calon DPR/D, bupati, walikota, gubernur, maupun presiden. Buat kriteria calon pemimpin menyangkut integritas, kapabilitas dan komitmen. Sudah betul MUI melarang memilih pemimpin yang ingkari janji. Nah, ini politik moral dan politik kebangsaan. Sesuai tupoksi MUI.
Wilayah politik praktis? MUI harus netral. Kalau ada pengurus MUI ikut terjun di politik praktis? Mundur! Untuk menjaga muru'ah dan netralitas MUI. ASN saja mundur, moso Ketua MUI gak mundur?
Suasana pendaftaran Jokowi dan Ma'ruf Amin sebagai capres-cawapres 2019 di kantor KPU, Jakarta, Jumat (10/8/2018). (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana pendaftaran Jokowi dan Ma'ruf Amin sebagai capres-cawapres 2019 di kantor KPU, Jakarta, Jumat (10/8/2018). (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
Ketua MUI jadi cawapres? Ini sejarah baru. Bukan tanpa risiko. MUI adalah lembaga moral-keagamaan tertinggi di Indonesia. Dihadirkan secara moral untuk menjadi penasehat, pengarah dan kontrol moral terhadap masyarakat dan aktivitas kekuasaan. Meski di luar struktur pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Tugas moral pernah diperankan secara baik oleh Hamka saat jadi Ketua MUI. Meski Hamka harus mengambil risiko dipenjara. Sudah mestinya ulama berani ambil risiko terkait fatwa yang berseberangan dengan kepentingan kekuasaan. Imam Hanafi, Imam Syafi'i, dan Imam Hambali bisa jadi teladan soal ini.
MUI secara moral, itu di atas presiden. Soal agama dan umat, presiden mesti minta fatwa kepada MUI. Kalau Ketua MUI jadi wakil presiden? Secara struktural, presiden bisa secara leluasa perintahkan Ketua MUI. Mantan? Meski mantan. Tapi apapun itu, beliau tetap ulama. Bukan mantan ulama. Nah, kalau MUI suatu saat dituntut buat fatwa, tentu akan segan jika fatwa itu harus berbeda dengan kepentingan pemerintah yang di dalamnya ada mantan ketua MUI.
ADVERTISEMENT
Terkait Ma'ruf Amin, itu personal, bukan lembaga. Betul. Meski personal, apakah tak berpengaruh secara kelembagaan? Sebagai ketua umum MUI, Ma'ruf Amin tentu punya pengaruh. Padahal, puluhan ormas Islam ada di bawah MUI. Dan semua jaringan ormas ini terkoneksi dengan MUI.
Memang terkesan berlebihan menghubungkan Ma'ruf Amin dengan puluhan ormas di bawah MUI. Ormas itu independen. Tapi, menjadi tidak berlebihan jika Ma'ruf Amin menang dan terpilih jadi wakil presiden.
Jika Ma'ruf Amin jadi wapres, maka akan ada segan bagi MUI menjadi penasehat urusan keagamaan dan keumatan bagi pemerintah. Bisa-bisa, presiden cukup minta fatwa kepada wakil presiden. Cincae...
Ketua MUI jadi cawapres adalah sejarah baru. Siapa yang jamin sejarah ini tak terulang? Siapapun Ketua MUI ke depan akan berpeluang dan digoda jadi cawapres. Ibarat pintu, kuncinya sudah dibuka. Sejarah sudah dimulai. Biasanya, akan terulang.
ADVERTISEMENT
Yang berbahaya adalah jika ke depan MUI akan dijadikan sebagai tangga bagi ulama untuk nyawapres. Orang berebut jadi ketua MUI karena berpeluang untuk jadi cawapres. Mirip artis. Jadi vote getter. Ironis bukan? Ah, kayak enggak percaya sama ulama?
MUI harus diselamatkan. Menyelamatkan MUI dari politik praktis berarti menyelamatkan warwah dan kemuliaan ulama. Biarlah ulama tetap pada posisi di atas pemerintah.
Jika mau calon, jadi presiden sekalian. Tak punya atasan. Inipun berisiko. Jika gagal, wajah ulama akan buram. Umat akan kehilangan kepercayaan pada ulama. Jadi calon presiden atau wakil presiden, tetap saja akan jadi ancaman buat Marwah dan kemuliaan MUI.
Jakarta, 18/8/2018