Pilpres Makin Tak Mutu

Tony Rosyid
Pengamat politik
Konten dari Pengguna
27 Desember 2018 9:59 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tony Rosyid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ma'ruf Amin, Jokowi, Prabowo, Sandiaga Uno (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ma'ruf Amin, Jokowi, Prabowo, Sandiaga Uno (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sandi melangkahi kuburan, di-bully habis. Dibilang tak beradab! Tak ada sopan santun! Sementara Jokowi baca 'alpateka' diragukan agamanya. Stop! Kampanye macam apa ini kalian?
ADVERTISEMENT
Prabowo enggak berani jadi imam salat! Eh, kalian mau cari imam salat atau cari pemimpin bangsa? Prabowo dan Ma'ruf Amin ucapkan selamat Natal, ribut! Mereka calon pemimpin negara, bro!
Narasi Pilpres kok jadi turun drastis. Ecek-ecek. Enggak mutu. Jauh dari masalah bangsa. Ironis! Sudah gitu, mengaku paling Pancasilais. Wualah.... Baru kali ini ada Pilpres berurusan dengan masalah sontoloyo, muka Boyolali, sampai soal Natal. Sudahlah, yang begitu enggak usah dibahas. Terlalu kerdil.
Negeri ini punya masalah yang jauh lebih besar. Apa itu? Ekonomi! Pengangguran makin banyak. Harga barang naik terus. Rupiah tak berdaya. Investasi asing dan 'aseng' tak terkontrol, mengancam kedaulatan negara. Bukan soal 'alpateka' dan melangkahi kuburan. Bukan sekedar masalah 'sontoloyo' dan 'natalan'.
ADVERTISEMENT
Menatap bangsa ke depan berarti harus menyelesaikan masalah ekonomi. Bagaimana pengangguran teratasi, harga stabil, kedaulatan pangan terjamin, rupiah enggak anjlok, harga BBM dan TDL enggak naik.
Tinggal sekarang, anda lebih percaya siapa? Prabowo-Sandi atau Jokowi-Ma'ruf yang bisa selesaikan masalah ini. Titik! Anda yakin Prabowo-Sandi? Pilih! Anda percaya Jokowi-Ma'ruf? Pilih. Simple. Gitu aja kok repot. Enggak perlu habis energi urusin 'alpateka' dan 'natalan'. Terlalu picik.
Bangsa ini butuh pemimpin dengan dua kriteria: kapasitas dan integritas. Dua syarat yang mutlak adanya. Tidak boleh tidak. Sebuah keharusan.
Soal kapasitas, pemimpin mesti memiliki kemampuan memahami masalah, tahu kebutuhan rakyat, lalu memiliki gagasan strategis untuk menyelesaikan masalah dan memenuhi kebutuhan itu. Soal kapasitas, segmennya kompleks. Enggak hanya kerja. Tapi juga perlu gagasan dan konsep. Kerja juga tidak cukup hanya dengan membangun infrastruktur. Masalah bangsa ini bukan hanya infastruktur.
ADVERTISEMENT
Jangan sampai seperti pengobatan ala dukun. Semua penyakit disembur pakai air putih. Jangan semua masalah bangsa diobati dengan infrastruktur. Apalagi jika mengandalkan utang.
Visi bangsa ini mesti jelas. Didesain berbasis pada pemahaman terhadap kondisi, kebutuhan, dan problem bangsa. Pengetahuan dan kesadaran holistik terhadap keadaan dan problem bangsa ini penting agar program dan kebijakan tidak saling bertabrakan.
Selain kapasitas, tak kalah pentingnya adalah integritas. Capres-Cawapres mesti jelas integritasnya. Mengukurnya gimana?
Pertama, dan ini paling penting, adalah kejujuran. Siapa di antara Capres-Cawapres yang anda anggap jujur, pilih! Kriteria jujur itu mulutnya bisa dipercaya. Bila bicara benar, enggak asal. Kalau janji, ditepati, enggak meleset. Intinya, ucapan dan janjinya bisa dipegang.
Akan sangat berbahaya jika bangsa ini memilih pemimpin enggak jujur. Ucapan dan tindakannya beda. Kalau bicara saja menipu, bagaimana bekerja? Mana di antara pasangan Prabowo-Sandi dan Jokowi-Ma'ruf yang bisa dipercaya soal ini. Pilih! Mudah bukan? Kalau bernurani dan pakai standar obyektif, pasti mudah menentukan pilihan.
ADVERTISEMENT
Jangan lihat tampang dan penampilan ketika anda memilih pemimpin. Tampang 'ndeso' atau 'kota' enggak ada hubungannya dengan kapasitas dan integritas. Tampang dan penampilan tidak boleh jadi ukuran dalam memilih pemimpin. Pasti tersesat!
Bangsa ini akan jadi korban kalau memilih pemimpin berdasarkan 'penampilan'. Yang dibutuhkan bangsa ini adalah pemimpin yang punya 'hati' dan di kepalanya ada 'otak'. Maksudnya kecerdasan. Maka, jangan sekali-kali percaya dengan, dan terjebak oleh, pencitraan.
Kedua, keberpihakan kepada rakyat. Jokowi punya track record memimpin bangsa ini. Empat tahun cukup jadi ukuran. Apakah selama empat tahun Jokowi berpihak kepada rakyat? Kalau jawabnya iya, pilih. Kalau tidak, ganti. Beri kesempatan anak bangsa yang lain untuk memimpin.
Ketiga, integritas bisa dilihat dari aspek bebas korupsi. Tentu bukan pada Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi. Di Indonesia, mana ada yang berani kasuskan presiden? Tak akan ada! Ingat kasus BLBI dan Century? Tapi, lihatlah anak buah mereka.
ADVERTISEMENT
Jokowi memimpin negara ini tentu punya struktur dan jajaran birokrasi. Mulai menteri hingga bupati. Ada enggak yang korupsi? Berapa banyak? Bandingkan dengan anak buah Prabowo di Gerindra, misalnya. Lihat dengan cermat. Lalu, bersikaplah objektif.
Tapi, Prabowo punya masalah HAM. Dari mana anda tahu? Dari medsos? Nemu meme-nya? Lihat kasus HAM kok dari meme? Kalau memang Prabowo punya masalah HAM, selesaikan.
Sejak pemerintahan Habibi hingga Jokowi, kenapa tidak pernah diungkap? Jokowi sekarang penguasa. Tuntaskan! Bawa ke pengadilan HAM. Rakyat tak ingin pemimpin punya kasus HAM. Jangan malah jadi konsumsi politik. Buat gorengan Pilpres. Itu picik! Semua mesti berdasarkan fakta. Bukan opini, apalagi fitnah. Fakta itu dibuktikan di pengadilan. Bukan di medsos.
ADVERTISEMENT
Ada yang bilang Jokowi keturunan PKI. Siapa bilang? Stop! Jangan asal bicara! Kampanye enggak mutu! Jangan tebar fitnah! Kan sudah ada bukunya? Jangan mudah percaya buku! Uji dulu. Cek kelayakan akademiknya. Bedah metodologi penulisan sejarahnya. Jadi akan terlihat, benar-enggak isi buku itu.
Tapi, buku itu dilarang beredar? Nah, ini masalahnya. Mestinya diuji dulu. Jika enggak benar dan ada motif fitnah, larang beredar. Lalu, proses hukum. Biarlah pengadilan yang memutuskan. Karena hanya pengadilan yang bisa membuat kepusan salah dan benar.
Selain kapasitas dan integritas, calon pemimpin mesti juga harus dilihat inner circle-nya. Siapa pihak-pihak yang berpengaruh di lingkaran kedua Capres-Cawapres. Sejauh mana seorang calon pemimpin punya independensi dan ketegasan. Jangan sampai pemimpin itu hanya sekedar sebagai pekerja. Apalagi boneka. Bangsa ini tak boleh punya pemimpin boneka.
ADVERTISEMENT
Calon pemimpin mesti juga perlu dilihat partai pengusungnya. Cara melihatnya? Mana yang lebih banyak koruptornya. Pengusung utama Jokowi-Ma'ruf adalah PDIP. Sementara pengusung Prabowo-Sandi adalah Gerindra. Googling, cari jejak digitalnya, mana partai yang korupsinya lebih banyak. PDIP atau Gerindra? Nah, data itu bisa jadi acuan anda memilih.
Ini baru rakyat yang benar. Betul-betul cari calon presiden untuk masa depan bangsa. Bukan cari imam salat. Jangan pilih presiden berdasarkan fanatisme, pencitraan, apalagi karena faktor pilihan ormasnya. Ini yang menjadi sebab Pilpres jadi enggak mutu.
Jakarta, 27/12/2018