Pilpres Memanas, Dua Kubu Saling Serang

Tony Rosyid
Pengamat politik
Konten dari Pengguna
21 September 2018 10:25 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tony Rosyid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aksi relawan #2019gantipresiden dan #2019tetapjokowi di Medan (Foto: Ade Nurhaliza/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi relawan #2019gantipresiden dan #2019tetapjokowi di Medan (Foto: Ade Nurhaliza/kumparan)
ADVERTISEMENT
Pilih ulama yang dicalonkan presiden atau pilih presiden yang dicalonkan ulama? Pertanyaan ini muncul usai Ma'ruf Amin dipilih jadi cawapres Jokowi. Dilengkapi foto Ma'ruf Amin yang menundukkan badan saat bersalaman dengan Jokowi. Bersamaan dengan itu, viral pula foto Jokowi yang mencium tangan Megawati. Kontras, kata netizen.
ADVERTISEMENT
Sindiran kepada Ma'ruf Amin makin gencar ketika kiyai sepuh ini tetap enggan mundur dari posisinya sebagai Ketua MUI. Bagi banyak kalangan, sikap Ma'ruf Amin yang enggan mundur dari posisi ketua MUI dianggap kurang elegan dan tidak membri teladan. Ada kekhawatiran MUI akan diseret dan terlibat di politik praktis. Mundur kenape? Tiru Sandiaga tuh, mundur dari wagub. Kate orang Betawi.
Sebaliknya, saat para ulama menggelar Ijtima' Ulama ke-2 dan memutuskan untuk mendukung Prabowo-Sandi, Ma'ruf Amin berkomentar soal kualitas ulama. Mana ulama yang benar-benar ulama. Publik memahaminya bahwa Ma'ruf Amin meragukan keulamaan peserta Ijtima'.
Di tempat lain, Ustaz Abdul Somad (UAS) ditolak di berbagai tempat. Jadwal ceramahnya terpaksa dibatalkan. UAS ditolak karena dianggap mendukung Prabowo-Sandi. Seandainya UAS mendukung Jokowi? Mungkin ceritanya akan lain.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya UAS, Felix Siauw juga ditolak. Alasannya? Karena HTI. HTI itu ormas terlarang. Bagaimana jika Felix melakukan hijrah politik, jadi pendukung Jokowi? Kemungkinan akan ada narasi yang berubah. Felix punya hak politik, termasuk dukung Jokowi. Felix sudah taubat, tidak di HTI lagi. Atau narasi lainnya. Gampang!
Ustad Abdul Somad (UAS) memberikan tausyiah pada tabliq akbar di Lapangan Hiraq, Lhokseumawe, Aceh, Minggu (19/8/2018). (Foto: ANTARA FOTO/Rahmad)
zoom-in-whitePerbesar
Ustad Abdul Somad (UAS) memberikan tausyiah pada tabliq akbar di Lapangan Hiraq, Lhokseumawe, Aceh, Minggu (19/8/2018). (Foto: ANTARA FOTO/Rahmad)
Saat ini, cara efektif untuk membuat tuduhan anti-NKRI sederhana: tempelkan kata HTI. Langsung dianggap ancaman buat NKRI. 'Gebuk!' Kata ini jadi populer sejak Maruar Sirait dan Ketua Ansor kompak mengatakanya di Kompas TV. Yang jelas, kata 'gebuk' bukan kata radikal. Mungkin beda kalau yang ngomong Felix Siauw.
Di Jawa Timur, viral video sejumlah orang yang menggunakan kaos 2019GantiPresiden dirazia dan dipaksa untuk dicopot. Sejumlah aparat berseragam pun terlibat merazia kaos 2019GantiPresiden. Oknum maksudnya. Tidak hanya kaos, tapi juga spanduk
ADVERTISEMENT
Apakah kaos 2019TetapJokowi dirazia? Spanduknya dicopot? Seandainya itu ada, kita tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Indonesia bisa rusuh. Sesama rakyat diadu di arena pilpres yang belum tentu hasilnya menguntungkan bagi rakyat. Tapi, rakyat hampir selalu jadi tumbalnya.
Tidak kalah hebohnya, Farhat Abbas berceloteh di Instagramnya: yang pilih Jokowi masuk surga, yang tak pilih Jokowi masuk neraka. Mendadak Farhat bekerja sebagai tim seleksi surga-neraka. Hebat!
Tidak terima dengan berbagai persekusi, giliran masyarakat Riau menolak kehadiran Ketua Ansor di Riau. Masyarakat Riau marah. Mereka menyiapkan satu juta personel untuk mengadang Ketua Ansor.
Tidak hanya di Riau, peristiwa yang sama terjadi di Langkat, Sumatera Utara. Ketika GP Ansor mengadakan silaturahmi di rangkaian acara Kirab Satu Negeri, puluhan sepeda motor datang dan mengusir mereka. Acara pun bubar.
ADVERTISEMENT
Selain di Riau dan Sumut, belasan orang Madura mengenakan kaos Sakerah lengkap dengan celurit mengancam carok siapa saja yang berani membatalkan pengajian ulama dan habib di Madura. Publik tahu ke mana arah ancaman itu.
Aksi relawan #2019gantipresiden dan #2019tetapjokowi di Medan (Foto: Ade Nurhaliza/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi relawan #2019gantipresiden dan #2019tetapjokowi di Medan (Foto: Ade Nurhaliza/kumparan)
Ngeri-ngeri sedap. Aksi saling balas dan serang makin intens seiring semakin dekatnya pilpres digelar. Suasana makin memanas. Kenapa semua ini terjadi? Pertama, karena elite punya kehendak. Minimal melakukan pembiaran. Terutama para pemimpin negeri ini tak terlihat tanda ada kesungguhan niat mengatasi kegaduhan.
Sebaliknya, yang muncul adalah narasi yang memiliki unsur provokasi. Kedua, aparat 'dianggap' tak netral. Jauh dari sikap ada di tengah. Pendukung penguasa terkesan dilindungi. Pendukung oposisi dipersekusi. Ketiga, kekuatan massa dua kubu sama-sama militan. Cinta dan bencinya sudah pada level dewa. Ibarat jerami, hanya tunggu sedikit api. Ada trigger, besss... terbakar.
ADVERTISEMENT
Konflik dan kegaduhan terurai jika capres terpilih nanti. Pertama, punya kesadaran bahwa mereka adalah pemimpin seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya pemimpin bagi para pendukungnya. Sehingga, ia bekerja dan melindungi untuk semuanya. Kedua, kemampuan melakukan komunikasi politik. Merangkul semua pihak, bukan memukul pihak yang tak mendukungnya seperti yang terjadi selama ini.
Ketiga, menjadikan aparat hukum sebagai penegak keadilan, bukan pengawal dan pembela kekuasaan. Keempat, kemampuan menyelesaikan problem bangsa dengan kesungguhan, bukan dengan pencitraan. Rakyat perlu diyakinkan bahwa pemimpin bekerja jujur, adil, dan terukur. Ora ngapusi.
Anies Baswedan-Sandiaga Uno layak jadi contoh. Setelah dilantik, mereka merangkul semua pihak. Teman maupun lawan. Dalam konteks ini, Prabowo dan Jokowi mesti banyak belajar. Siapapun yang akan dilantik jadi presiden 2019-2024, mereka adalah pemimpin untuk semua. Mereka harus menjalankan roda kekuasaan dengan jujur, adil, dan terukur.
ADVERTISEMENT
Untuk mengasah kemampuan itu, saatnya capres-cawapres menunjukkan testimoninya di musim kampanye. Meredakan konflik para pendukungnya, bukan memprovokasinya. Kedewasaan ini mesti dibuktikan saat ini, ketika pendukung kedua belah pihak sedang memanas.
Mampukah kedua paslon itu meredakan situasi konflik?