news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Prabowo dan Upaya Merebut Kedaulatan Rakyat

Tony Rosyid
Pengamat politik
Konten dari Pengguna
24 April 2019 12:17 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tony Rosyid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi KPU. Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi KPU. Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
ADVERTISEMENT
De facto, Prabowo-Sandi menang. Begitulah pengakuan Badan Pemenangan Nasional (BPN). Datanya? Dari hitungan BPN dan TNI Angkatan Darat yang katanya bocor. Para pendukung Prabowo-Sandi, hampir di seluruh wilayah mengamini. Keyakinan ini dikuatkan oleh maraknya perampokan C1 serta penghilangan kotak dan surat suara. Jika kubu Jokowi-Ma'ruf merasa menang sesuai quick count, mengapa praktik-praktik perampokan C1 dan penghilangan surat suara masih masif terjadi? Ini pertanyaan, sekaligus kejanggalan yang logis.
ADVERTISEMENT
Dalam situasi seperti ini jika Prabowo-Sandi tetap 'dipecundangi', kabarnya ada wilayah yang mau memisahkan diri dari NKRI. Wow! Ngeri!
Saat ini masalahnya bukan soal menang-kalah, tapi lebih pada proses pemilu yang curang. Bahkan kecurangan itu dianggap telah melampaui batas wajar. Istilah populernya: kecurangan dilakukan secara sistematis, masif, dan terstruktur. Ada yang menambah satu lagi istilah, yaitu: brutal.
Pengerahan aparat, logistik BUMN, Kepala Daerah, Kepala Dinas, Camat, dan Lurah untuk bekerja bagi paslon tertentu adalah bentuk Kecurangan secara struktural. Institusi-institusi yang seharusnya netral itu digerakkan secara masif dan sistematis. Belum lagi kecurigaan rakyat terhadap KPU, punya banyak bukti dan argumentasi yang logis. Sebagian data kecurangannya ada di Bawaslu.
Pemilu kali ini juga dianggap 'brutal'. Kok brutal? Mungkin karena ada adegan-adegan brutal yang mewarnai pemilu. Ribuan KPPS ikut jadi juru kampanye dan nyoblos sisa surat suara. Mereka menghalangi pendukung paslon tertentu ikut nyoblos. 6,7 surat suara tidak didistribusikan. Terjadi perampokan C1 dan pembakaran gedung tempat penyimpanan kotak suara. Kabarnya juga terjadi pemotongan tangan seseorang yang telah mencoblos 100 surat suara. Itu semua masuk kategori brutal. Apakah 119 KPPS mati adalah bagian dari brutalisme itu? Perlu dicek: apakah kematian mereka murni karena kelelahan, atau ada faktor lainnya juga.
ADVERTISEMENT
Kecurangan yang sedemikian parah dianggap telah merampas kedaulatan rakyat. Kedaulatan untuk memiliki hak memilih tanpa diintimidasi, ditakut-takuti, dihalangi, dan dicurangi. Perampasan terhadap kedaulatan rakyat ini telah menyulut kemarahan para pendukung Prabowo-Sandi di hampir semua wilayah. Terutama Jawa Barat, Madura, Aceh, Sumatera, Sulsel, dan sebagian Kalimantan. Tidak saja di masyarakat bawah, tapi juga para ulama dan tokoh-tokohnya.
Video yang viral di medsos tentang pernyataan para tokoh dan ulama Solo Raya yang siap jihad dan mati Sahid sepertinya bukan main-main. Bukan membela Prabowo, kata mereka di video itu. Tapi membela negara yang kedaulatan rakyatnya telah dirampas.
Ada yang bertanya: kalau Prabowo-Sandi dikalahkan di KPU, kenapa tak ke MK? Bukankah itu jalur konstitusional? Inilah masalahnya. Mereka sudah tak lagi percaya terhadap MK. Jika aparat dan media yang super body saja bisa dikuasai dan dikendalikan, apalagi cuma KPU dan MK? Pikiran inilah yang ada di benak hampir seluruh pendukung Prabowo.
ADVERTISEMENT
Kepercayaan rakyat, dalam konteks ini adalah para pendukung Prabowo kepada institusi-institusi itu, nampaknya sudah sangat tipis, kalau tidak dibilang hilang sama sekali. Sejarah panjang hubungan mereka dengan aparat, terutama kepolisian yang tak pernah harmonis menguatkan pandangan ini.
Oleh para pendukung, Prabowo didesak untuk mengambil kembali kedaulatan rakyat yang telah dirampas itu. Setujukah Prabowo? Sepertinya ia satu langkah dengan para pendukungnya: rebut kembali kedaulatan rakyat yang telah dirampas oleh segala bentuk perampokan suara di pilpres.
Indikasinya? Prabowo tak menerima tawaran pihak Jokowi untuk bertemu. Tentu dengan berbagai alasan sebagai alibinya. No kompromi! No negosiasi! Kabarnya, jika Prabowo sampai terima, ia akan ditinggalkan para pendukungnya, dan mereka akan bergerak sendiri.
Seluruh tokoh, ulama dan jutaan pendukung tak mengizinkan Prabowo menemui pihak yang dianggap telah merampas kedaulatan rakyat di pemilu itu.
ADVERTISEMENT
Apakah berarti akan terjadi people power? Banyak prediksi mengatakan bahwa 99,9 persen akan terjadi. Sebuah gerakan massa, yang jika betul akan terjadi, maka jumlahnya bisa ratusan ribu, bahkan jutaan. Bila Reuni 212 saja bisa berkumpul 13 jutaan massa, apalagi situasi hangat-hangat sedap seperti sekarang.
People power, itu tak berarti negatif. Bukan aksi anarki dan melanggar konstitusi. Tapi bisa dalam bentuk aksi damai. Seperti aksi damai 411 dan 212 misalnya. Kendati damai, ini akan cukup membuat panik sebuah kekuasaan jika dilakukan dalam waktu lama. Misalnya jutaan orang duduki istana, gedung DPR, kawasan Monas, atau jalan-jalan protokol selama sebulan saja, maka ini akan jadi masalah besar.
Apalagi jika ada salah respons dan keliru perhitungan operasi aparat, maka bisa berpotensi menaikkan eskalasi kemarahan massa. Lebih parah lagi jika paslon 01 juga menghadirkan para pendukungnya untuk diadu dan dibenturkan dengan pendukung 02. Ini akan lebih parah lagi. Jika ini terjadi, gak terbayang berapa banyak yang akan jadi korban. Dan kita tahu, para pendukung 02 sangat militan dan siap sahid di medan pertempuran ini jika harus mati.
ADVERTISEMENT
Siapa yang jamin jika gerakan people power itu tak membuat aparat gerah? Tak sabar, apalagi stres karena terlalu lama bertugas, maka bisa jadi bumerang buat semuanya. Disinilah kematangan, kedewasaan, dan kearifan para elite bangsa dibutuhkan. Tentu, demi bangsa dan negara. Bukan demi paslon.
Lalu, apa tuntutan people power dari para pendukung Prabowo-Sandi? Satu narasi yang keluar: untuk merebut kembali kedaulatan rakyat yang telah dirampas oleh pihak-pihak yang telah melakukan kecurangan sistematis, masif, terstruktur, dan brutal di pemilu. Substansi dari memperjuangkan kedaulatan rakyat ini adalah mendiskualifikasi paslon yang telah dianggap melakukan kecurangan itu. Yaitu paslon 01.
Mungkinkah KPU mengabulkan tuntutan itu? Hampir pasti tidak. Kita semua tahu KPU itu seperti apa. Disinilah ketegangan akan terjadi. Ketegangan inilah yang harus diwaspadai agar tak menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan dan berdampak destruktif untuk bangsa dan negara di masa depan.
ADVERTISEMENT