Reuni 212, Kenapa Harus Panik?

Tony Rosyid
Pengamat politik
Konten dari Pengguna
1 Desember 2018 13:07 WIB
comment
12
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tony Rosyid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aksi Reuni 212 pada 2 Desember 2017 di Monas (Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi Reuni 212 pada 2 Desember 2017 di Monas (Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay)
ADVERTISEMENT
Kedua kalinya alumni 212 menggelar reuni. Kok ada reuni segala? Emang sekolahan? Dari universitas mana? Apa pentingnya? Ini pertanyaan nyinyir. Enggak suka.
ADVERTISEMENT
Apa ada yang salah dengan reuni 212? Tak ada aturan yang dilanggar. UUD 45 pasal 28 E ayat 3 membolehkan. Kami yang reuni, kenapa situ yang sibuk?
Begitulah kira-kira dinamika dialogis dua kubu. Sedikit melibatkan emosi. Hal biasa, karena dekat-dekat pemilu. Ada yang semangat, bahkan kelewat semangat. Ada yang enggak suka, khawatir, panik, bahkan sampai narsis.
Apa yang dikhawatirkan? Makar? Ah, itu mah berlebihan. Kurang ngopi, sehingga suka berhalusinasi. Kalau ada makar, sudah terjadi dua tahun lalu. Dan intel pasti sudah menciumnya. Apalagi intel-intel sekarang lebih kreatif dari sebelumnya.
Khawatir soal keamanan? Sepertinya tidak. Aksi 212 aman. Tidak hanya manusia, rumput pun aman. Semua bentuk kekhawatiran tak terbukti. Dan tahun kemarin, reuni 212 juga aman. Dua tahun berturut-turut, melibatkan jutaan manusia, reuni berjalan aman, dan damai.
ADVERTISEMENT
Bahkan Monas tetap bersih, tak ada sehelai sampahpun tercecer. Sementara banyak demo yang hanya melibatkan puluhan orang, tapi meninggalkan sampah di mana-mana. Rumput dan taman rusak.
Cara aksi dan reuni 212 yang damai dan bersih mestinya jadi model demonstrasi di negeri ini. Lepas adanya pro dan kontra soal konten. Hal biasa dalam perbedaan ijtihad sosial-politik. Kalau Aksi 212 saja aman, apalagi reuni, begitu kata Yusuf Kalla.
Kalau begitu, apa yang dikhawatirkan? Jawabnya: implikasi politik! Hanya itu. Semata-mata. Enggak ada yang lain. Pilpres sudah dekat. Lima bulan lagi. Apa ada hubungan Reuni 212 dengan pilpres? Secara langsung, tak ada.
Tapi masayarakat paham bahwa yang terlibat dalam reuni 212 mayoritas yang ingin "Ganti Presiden". Jangan sewot! Ini pilihan politik. Hak mereka untuk berbeda dari anda. Dan otomatis, pilihan mereka adalah Prabowo-Sandi. Tak bisa dimungkiri.
ADVERTISEMENT
Dari acara Reuni 212 ini ada pesan politik tanpa kata-kata. Tapi pesan ini sampai ke publik dan efektif. Apa pesan itu? Pertama, yang ingin ganti presiden jumlahnya cukup besar. Hasil survei, jumlah yang ingin ganti presiden memang selalu lebih banyak.
Kedua, rakyat akan melihat betapa antusias dan militannya peserta yang akan hadir. Kabarnya, ada rombongan peserta dari Solo, Ciamis, dan Bogor yang jalan kaki. Ini atraksi herois yang berpotensi menggugah kesadaran emosional masyarakat. Sudah ada testimoninya di media sosial. Orang yang semula anti-212, lalu jadi pendukungnya gara-gara melihat antusiasme dan ketulusan mereka.
Aksi reuni 212 di Monas (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi reuni 212 di Monas (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
Masifnya jumlah pesanan bus, tiket kereta dan pesawat adalah bagian dari indikasi besarnya gelombang peserta reuni 212 yang akan hadir. Tidak hanya dari dalam negeri, kabarnya juga luar negeri. Termasuk dari Malaysia dan Australia.
ADVERTISEMENT
Jika reuni 212 berjalan lancar, damai, bersih, dengan narasi-narasi yang cerdas, maka ini akan dapat mengundang simpati publik. Dan punya dampak secara politik. Swing voter bisa tergoda. Tentu, ini menguntungkan Prabowo-Sandi. Tapi jika gagal mengantisipasi provokasi dan penyusuf, ini bisa jadi serangan balik.
Seperti kampanye dong? Mirip saja. Tapi bukan. Pernyataan panitia, mereka menjamin tidak ada atribut kampanye. Gak ada visi, misi, dan citra Paslon.
Nah, keadaan ini cukup menyulitkan bagi kubu Jokowi-Ma'ruf. Mau dilarang, tapi legal. Enggak dilarang, implikasi politiknya bisa sangat besar. Situasi ini tak memberi celah leluasa bagi kubu Jokowi-Ma'ruf untuk menggagalkan. Hanya bisa sedikit mengganggu dengan statement-statement minor. Bahwa Reuni 212 tak ada gunanya. Berpotensi memecah belah umat. Narasi ini yang sedang dibangun.
ADVERTISEMENT
Selain statement, muncul juga rencana aksi tandingan. Dibuatlah rencana acara Maulid Nabi di Istiqlal. Malah ada yang akan membuat acara "kontemplasi" di Monas. Ada-ada saja! Ini justru malah akan dianggap sebagai bentuk kepanikan yang nyata.
Tidak hanya aksi tandingan. Tapi juga ada aksi penghadangan dan ancaman. Kabar yang beredar, sejumlah P.O. Bus membatalkan pesanan dari para peserta reuni 212. Kabarnya, ada tekanan. Dari siapa? Ah, jangan berlagak pilon.
Aksi Reuni 212 pada 2 Desember 2017 di Monas (Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi Reuni 212 pada 2 Desember 2017 di Monas (Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay)
Beredar dua video ancaman. Akan turun pasukan dari daerah timur jika reuni 212 mengibarkan bendera tauhid. Akan ada "kejadian" jika tak dibatalkan. Gubernur Anies pun jadi sasaran demonstran. Apa yang salah dengan gubernur DKI ya? Memberi izin tempat? Justru salah jika gubernur tak memberi izin. Karena Monas adalah sarana publik yang siapa saja bisa pakai asal memenuhi syarat.
ADVERTISEMENT
Secara demokratis, ini sikap yang tidak matang. Kurang dewasa. Justru akan kehilangan empati dan simpati publik. Siapapun mereka, akan dipersepsi publik sebagai pendukung Jokowi-Ma'ruf. Ini blunder.
Jika salah respons dan keliru mendesain reaksi terhadap reuni 212, peristiwa 2016-2017 bisa terulang. Di Pilgub DKI, Ahok kalah. Di antaranya karena faktor reaksi yang tak tepat. Keliru! Publik tidak hanya akan kehilangan simpatik, tapi juga akan muncul perlawanan politik yang semakin masif.
Jika dalam aksi 212 Ahok jadi korban politik di Pilgub DKI, reuni 212 kali ini sangat mungkin bisa memakan korban politik lagi di Pilpres. Ini jika reaksi terhadap reuni 212 tak taktis. Apalagi sampai kebablasan.
Beda sekiranya jika sejumlah tokoh di kubu Jokowi-Ma'ruf memberi statement yang menyejukkan. Misal, "Reuni 212 adalah bagian dari hak setiap warga negara untuk berkumpul dan mengungkapkan pendapat. Tak hanya kita hargai, tapi juga kita dukung. Kita berharap reuni kali ini tetap damai seperti aksi 212 dua tahun lalu."
ADVERTISEMENT
Kalau statement ini keluar dari pidato Jokowi, ungkapan Ma'ruf Amin, atau statement Megawati, baru keren. Pertanyaannya: mungkin enggak ya? Statement Ma'ruf Amin, Wiranto, dan sejumlah tokoh lain, justru sebaliknya. Ini boleh jadi akibat tak mampu mengendalikan kepanikan.