Sriwedari dan Ambruknya Benteng Jokowi

Tony Rosyid
Pengamat politik
Konten dari Pengguna
11 April 2019 12:26 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tony Rosyid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Calon Presiden no urut 01 Joko Widodo membagikan kaos kepada pendukungnya saat Kampanye Terbuka di Solo. Foto: ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
zoom-in-whitePerbesar
Calon Presiden no urut 01 Joko Widodo membagikan kaos kepada pendukungnya saat Kampanye Terbuka di Solo. Foto: ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
ADVERTISEMENT
Solo itu kota asal Jokowi. Dikenal pula sebagai kandang banteng. Solo juga identik dengan PDIP dan warna merah. Dari Solo, Jokowi ke Jakarta. Tepatnya ke balai kota, lalu ke istana.
ADVERTISEMENT
Semua berawal dari Solo, kota kecil dengan sekitar 300 ribu penduduk saat Jokowi jadi wali kota. Dan di sana nama Jokowi cemerlang sebagai wali kota. Dua periode, kendati tak tuntas.
Mobil Esemka juga lahir dari Solo. Soal tak jadi diproduksi, itu hal lain. Sudah 12 tahun belum ada kabarnya. Itu bukan urusan presiden, kata Jokowi. Yang jelas, dengan naik mobil Esemka, Jokowi bisa sampai ke Jakarta. Apakah mobil Esemka hanya didesain khusus untuk mengantarkan Pak Jokowi ke Jakarta? Entahlah. Silakan tanyakan sendiri. Itu di luar kapasitas saya untuk menjelaskan.
Ini semua adalah cerita lama, nostalgia masa lalu. Jokowi dielu-elukan masyarakat Solo. Putra daerah yang sukses jadi gubernur DKI, lalu presiden dengan modal mobil Esemka. Bagaimana dengan sekarang?
Foto udara suasana kampanye Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto di Solo. Foto: Dok. BPN Prabowo-Sandi
Cerita Jokowi 2019 sepertinya tak seindah dulu. Tahun 2010 sukses menjabat kedua kalinya sebagai wali kota Solo. Tahun 2012, berhasil duduk sebagai gubernur DKI. Dan 2014, memenangkan pilpres. Setiap dua tahun, Jokowi naik posisinya. Luar biasa. 2019?
ADVERTISEMENT
Di 2019, heroisme Jokowi nampaknya sudah mulai redup. Gelombang pujian tak lagi segegap gempita tahun-tahun sebelumnya. Jika sebelumnya Jokowi banjir para pemuja, tahun 2019 ini Jokowi banjir pencela. "Aku akan lawan," kata Jokowi. Kepada siapa? Tentu kepada para pencela itu. Siapa mereka? Rakyat yang kecewa terhadap kepemimpinannya.
Sepinya pengunjung di acara kampanye Jokowi itu tanda, Jokowi sudah benar-benar redup. Eranya sudah selesai. Masyarakat Solo seolah ingin mengatakan: Pak Jokowi, cukup sampai di sini. Kami tak lagi menginginkanmu.
Kesimpulan ini tentu hasil analisis setelah melihat jumlah massa di acara kampanye Jokowi begitu sepi. Jokowi orang Solo, pernah jadi wali kota Solo. Tapi kenapa sepi pengunjung ketika kampanye? Ini boleh jadi indikator bahwa masyarakat Solo tak lagi mendukung Jokowi. Benar tidaknya analisis ini, tetap yang paling akurat adalah hasil "real count" setelah pencoblosan 17 April nanti.
ADVERTISEMENT
Sehari setelah Jokowi kampanye di Solo, giliran Prabowo berkampanye. Bagaimana jumlah massanya? Jika dibandingkan kampanye Jokowi, massa Prabowo jauh lebih besar.
Di kampanye Prabowo, turut hadir sejumlah jenderal, para ketua, pengurus partai koalisi, dan juga para ulama, di antaranya Ustaz Bachtiar Nasir. Selain Habib Rizieq, Ketua Majlis Pelayan Indonesia (MPI) ini tercatat oleh sejarah sebagai inisiator 212 dan salah satu penggerak massa paling sukses. Ada Ustaz Sambo, guru spiritual Prabowo, Ustaz Yusuf Martak, ketua GNPF dan Adhyaksa Dault, Komandan LASKAR TPS, mantan menpora, dan KaKwarnas. Dihadiri pula oleh ulama-ulama lokal Solo yang satu persatu disebutkan namanya oleh Prabowo. Jumlahnya cukup banyak.
Hadir pula mantan wakil gubernur Jawa Tengah, yang juga kader PDIP, Rustiningsih. Dalam sambutannya, Rustiningsih bercerita tentang "banteng-banteng tua" (kader-kader PDIP senior) yang sudah beralih dukungan ke 02. Ini artinya terjadi migrasi dukungan di Jateng; dari Jokowi ke Prabowo.
ADVERTISEMENT
Jika tanggal 9 April kampanye Jokowi di Solo sepi, maka tanggal 10 April, kampanye Prabowo membludak. Jumlahnya bahkan lebih dua kali lipat dari massa Jokowi.
Kalau lihat angka, nilai 10 memang lebih tinggi dan lebih sempurna dari nilai 9. Ah, ini hanya bercanda. Supaya anda enggak terlalu tegang membaca. Saya juga enggak paham soal "misteri angka".
Dalam kampanyenya di Sriwedari Solo, Jokowi didampingi Megawati, ketua umum PDIP. Juga Puan Maharani. Jokowi juga membawa Ian Kasela, band Radja, dan Nella kharisma, penyanyi dangdut. Ibarat tim, ini lengkap. Ada presiden, ketua umum partai terbesar, menko, dan juga artis. Apakah tim yang lengkap ini berhasil menghadirkan massa yang besar? Ternyata tidak. Malah boleh jadi, jika Jokowi tak hadir, massa akan lebih banyak. Karena mereka ingin nonton Ian Kasela dan berjoget bersama Nella Kharisma. Karena Jokowi hadir, jadi sepi.
ADVERTISEMENT
Sepinya massa yang hadir di kampanye Jokowi di Solo ini merupakan tamparan keras terhadap kubu Jokowi. Bagaimana mungkin di kandang sendiri, putra daerah tak mendapat sambutan dan dukungan meriah dari masyarakatnya. Seharusnya, hadirnya Jokowi sebagai presiden dan capres menjadi kebanggaan masyarakat Solo. Ini putra daerah, lho.
Kalau ini terjadi di tempat lain, tidak ada masalah. Tapi, ini terjadi di daerah sendiri. Tempat lahir, besar, dan berkarier Jokowi. Tempat di mana Jokowi menjadi terkenal dan akhirnya bisa ke Jakarta. Kenapa masyarakat Solo tak bangga dengan putra daerahnya sendiri? Kenapa masyarakat Solo tak mau hadir di kampanye Jokowi? Apa yang salah dengan Jokowi? Apa dosa Jokowi? Kok gue jadi ikutan kesal, ya? (hehehe...)
ADVERTISEMENT
Sepinya massa kampanye Jokowi tidak saja akan jadi beban bagi Jokowi dan timsesnya, tapi akan memviralkan pengaruh terhadap persepsi dan pilihan politik publik. Kalau di kandang sendiri kalah massa, bagaimana di kandang orang lain? Begitulah kira-kira persepsi yang akan terbentuk di kepala publik.
Ibarat main sepak bola, kalah di kandang sendiri itu memalukan. Begitu juga di dunia politik. Itu bisa merontokkan dukungan kepada Jokowi secara nasional.
Tahun 2012 masyarakat Solo mengelu-elukan Jokowi. Suara ini nyaring dan didengar oleh publik secara nasional. Dan akhirnya, Jokowi pun diterima rakyat Indonesia. Berawal jadi gubernur DKI, lalu presiden. Super cepat dan super mudah. Ini semua berawal dari suara masyarakat Solo sebagai juru iklannya Jokowi.
ADVERTISEMENT
Suara itu sekarang tak terdengar lagi. Kalau toh terdengar, suara itu sudah berubah. Bukan lagi Jokowi, tapi Prabowo. Suara Prabowo lebih nyaring. Setidaknya di Sriwedari saat kampanye. Apakah suara ini juga didengar oleh publik secara nasional? Boleh jadi benar.
Melihat jumlah massa kampanye antara Prabowo dan Jokowi, masyarakat Solo nampaknya telah beralih dukungan ke Prabowo. Apakah ini pesan sekaligus peringatan bahwa benteng Jokowi di Solo sudah benar-benar ambruk?
Jakarta, 11/4/2019