news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Tanda Heran dan Dengar-dengaran

Konten dari Pengguna
11 Mei 2017 14:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Akmal Nasery Basral tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tanda Heran dan Dengar-dengaran
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
FOTO Presiden Joko Widodo menyusuri Jalan Trans Papua di ruas Wamena-Habema di atas sadel motor trail yang mengisi headline media massa, mengingatkan saya kembali pada hembusan hangat angin Bumi Cenderawasih. Papua bagi saya pada awalnya adalah sesayup kenangan, ketika almarhum ayah pernah mencoba mengadu peruntungan dari tanah cantik yang saat itu bernama Irian, di akhir era 60-an. Seiring bertambahnya umur, wilayah ini semakin saya kenali dari halaman buku pelajaran, warta televisi, atau lalu lalang informasi di koran. Tahun demi tahun berganti, Papua tetaplah sepotong nama–layaknya ratusan nama tempat lain di tanah air–yang asing tidak akrab pun tak.
ADVERTISEMENT
Lalu di akhir 2009 menjadi kesempatan pertama kali bagi saya menjejakkan kaki di kota paling Selatan pulau itu: Merauke. Sebuah riset untuk rencana pembuatan film, saat itu, membawa kaki saya menjelajahi Taman Nasional Wasur yang kaya ragam fauna dan flora. Untuk pertama kalinya mata saya melihat apa yang belum saya saksikan di tempat lain, sarang semut setinggi lebih dari 2 meter yang dalam bahasa setempat disebut Musamus (konon tingginya bisa mencapai 5 meter!). Warga setempat berbahasa Indonesia sangat baik dan ramah. Mereka menjamu saya dengan Sagu Sep, makanan tradisional yang dibakar di atas tanah, lalu menyusuri kawasan Wetland luas tempat bercengkerama kanguru dan rusa, yang di saat musim hujan berubah menjadi seperti danau. Untuk bermalam, saya bisa memejamkan mata cukup lelap di rumah seorang warga yang berada di depan Gereja Katolik St. Yosep yang bangunannya dari kayu sederhana. Alamnya yang rimbun lebat, alih-alih terasa menyeramkan, justru terasa sangat menyenangkan bagi seluruh panca indera.
ADVERTISEMENT
Tiga tahun kemudian tangan nasib kembali membawa saya ke pulau ini, kali ini lebih ke bagian tengah: Jayapura, Abepura, lalu Manokwari dan terus masuk ke Papua Barat ke wilayah Kaimana di mana terdapat Teluk Triton (foto atas). Di depan dermaga kecil dan lusuh di mana saya mengepalkan tangan itu berdiri perkasa Gunung Emansiri, tempat lahirnya legenda Burung Garuda mistik yang diyakini masyarakat setempat sebagai inspirasi bagi Bung Karno -- yang pernah menjalani pengasingan di Boven Digul -- dalam lahirnya lambang negara Garuda Pancasila.
Berbeda dengan Merauke dan Manokwari yang sangat kental nuansa Nasraninya, wilayah Kaimana yang diabadikan dalam lagu populer"Senja di Kaimana" itu adalah wilayah yang pekat suasana keislamannya. Para warga sepuh yang beberapa dari mereka sudah berhaji ke tanah suci, dengan penuh semangat membagi kenangan masa remaja mereka saat terjadi Operasi Trikora. Keakraban antara komunitas warga muslim dan non-muslim sangat terlihat di perairan Kaimana bertebaran beberapa pulau kecil yang unik kadang satu pulau dihuni oleh 100% muslim, dan pulau sampingnya dihuni oleh 100% warga Nasrani.
Tanda Heran dan Dengar-dengaran (1)
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Pada saat itulah saya mulai mengenal satu kata majemuk "tanda heran" -- yang ternyata sudah menjadi kosa kata kolektif masyarakat Papua -- dari Pendeta Izaak Samuel (I.S.) Kijne (1900-1970) yang dianggap sebagai salah seorang misionaris paling berpengaruh di Bumi Cenderawasih. Saya tak tahu apakah "tanda heran" merupakan terjemahan tertentu dari kata Bahasa Belanda, atau semacam interpretasi subyektif dari Kijne yang kelahiran Vlaardingen, Negeri Belanda atas kekaguman demi kekaguman yang menguasainya ketika berkhidmat di Papua.
Saya menduga, yang dimaksudkan dengan "tanda heran" adalah kondisi-kondisi yang bisa membuat kita "terheran-heran" (dalam arti positif), semacam "keajaiban-keajaiban" atau peristiwa-peristiwa tak terduga, mengejutkan, namun dalam konteks yang menakjubkan, yang datang susul menyusul seperti gelombang. Jika dugaan saya benar, maka rasanya saya pun merasakan adanya pergerakan dari "tanda heran" yang satu ke "tanda heran" yang lain.
ADVERTISEMENT
Untuk lebih adilnya, tentu tak semua hal baik dan indah saja yang mampir di telinga saya selama berkunjung ke sana. Ada lagi satu istilah khusus di mana, sayangnya, ini berkonotasi negatif, yakni "Patipa", atau "Papua Tipu Papua". Istilah ini saya dengar berulangkali diucapkan orang-orang di ibu kota Jayapura, ketika yang dimaksudkan adalah bahwa "ketidakmajuan" -- untuk tak menyebut lambatnya pembangunan -- di Papua sebetulnya bukan disebabkan oleh Pemerintah Pusat atau dominasi etnis lain terhadap orang Papua, melainkan terjadi akibat kerakusan segelintir oknum pejabat Papua sendiri dalam mengelola dana pembangunan. Beredar pula kabar bahwa sejumlah pejabat penting mereka lebih senang menghabiskan waktu di hotel-hotel terkenal kawasan itu dalam memburu komisi dari proyek-proyek investasi, ketimbang bertungkus lumus di kantor masing-masing untuk membuat cetak biru kemajuan rakyat setempat.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, secara umum dari dua kali perjalanan ke Papua (dan Papua Barat sebagai provinsi), saya memilih untuk lebih mendengarkan pada spirit positif yang berpendar di udara. Saya seolah mendengar langsung gaung ucapan Pendeta Kijne hampir satu abad silam, saat melewati satu bagian kota Manokwari dengan sepotong dinding bertuliskan grafiti yang sepertinya ingin selalu mengingatkan masyarakat Papua, namun sejatinya menyampaikan pesan universal yang tak terbantahkan keberlakuannya: Bahwa kejujuran, kesetiaan, dan (kerendahan hati untuk) saling mendengarkan, adalah prasyarat yang harus lebih dulu dipenuhi sebelum keajaiban demi keajaiban akan tercipta di satu wilayah, di sebuah negeri.
Dalam konteks komunikasi politik domestik yang kian sumpek belakangan ini, pesan yang terekam abadi di Bumi Cenderawasih itu tampaknya harus disimak dan dijalankan sungguh-sungguh oleh siapa pun yang ingin Indonesia terus berjalan ke depan sebagai bangsa yang bermartabat, dengan ayunan langkah elegan yang akan mengantarkan dari satu "tanda heran" ke "tanda heran".
ADVERTISEMENT
Semoga putaran roda motor trail Presiden Jokowi di sebagian punggung bumi Cenderawasih, bisa mengantarkannya kepada pemahaman yang lebih menukik tentang esensi pembangunan, bahwa untuk "jujur" dan "setia" saja masih belum mencukupi jika tak dibarengi dengan keikhlasan untuk "dengar-dengaran" (saling mendengarkan demi kebaikan).
ANB/11.05.17
Tanda Heran dan Dengar-dengaran (2)
zoom-in-whitePerbesar