Gatot Nurmantyo: 'Gadis Cantik' yang Menarik untuk Dipinang

Toto Sugiarto
Direktur Eksekutif Riset Indonesia | Analis pada Exposit Strategic
Konten dari Pengguna
23 April 2018 11:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Toto Sugiarto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gatot Nurmantyo (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gatot Nurmantyo (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
ADVERTISEMENT
Sewaktu masih menjabat sebagai Panglima TNI, nama Jenderal Gatot Nurmantyo telah beredar di “bursa” calon presiden/ wakil presiden untuk Pemilihan Presiden 2019. Ia sering dikabarkan akan mencalonkan diri pada Pilpres 2019. Kala itu, ia sering disebut akan menjadi calon presiden.
ADVERTISEMENT
Namanya mulai mencuat di ruang publik ketika tampil mengawal Presiden Joko Widodo saat menghadiri aksi Bela Islam 212 dengan memakai peci putih. Gatot beralasan bahwa ia mengenakan peci putih itu berlandaskan pada pelajaran perang yang ia terima terkait psikologi massa.
Mungkin maksudnya adalah jika ia memakai peci putih di tengah peserta aksi bela Islam yang mayoritas memakai baju dan peci serta jilbab berwarna putih, secara psikologis dirinya dan juga presiden jokowi akan diterima sebagai teman sehingga massa akan tenang. Dengan memakai peci putih, Gatot ingin tampil sebagai bagian dari masyarakat yang kala itu sedang menuntut keadilan tersebut.
Terkait pandangannya terhadap aksi Bela Islam 212 tersebut, Gatot berusaha memandang secara positif. Di tengah pandangan publik ketika itu yang melihat Aksi Bela Islam 212 sebagai aksi kelompok radikal dan intoleran. Gatot memandangnya secara positif bahwa mereka tidak bersenjata dan niatnya untuk berdoa.
ADVERTISEMENT
Ia tidak terlalu peduli terhadap banyaknya suara negatif terhadapnya. Bagi mantan Pangdam V Brawijaya tersebut, keamanan presiden adalah tujuan utama. Peci putih ketika itu adalah alat komunikasi, lambang perdamaian antara dirinya dengan peserta aksi. Tujuannya hanya satu, semata demi keamanan presiden.
Popularitas Gatot Nurmantyo ditopang oleh citra dirinya yang relatif bersih. Ia tidak terkait berbagai kasus korupsi besar. Citranya yang dekat dengan rakyat dan relatif bersih dari korupsi tampak menjadi salah satu alasan di balik mencuatnya namanya. Publik senang dengan figur yang bersih. Dari setiap pemilu rakyat berharap munculnya pemimpin yang berjiwa negarawan dan memiliki integritas yang baik.
Masuk “Bursa”
Kenapa Gatot Nurmantyo beredar di “bursa” pilpres tersebut. Hal ini terkait dengan sikap Gatot sendiri yang terlihat memiliki minat untuk berebut kursi RI1. Ia pernah mengatakan bahwa setelah pensiun dari ketentaraan, ia berhak dipilih.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, terdapat kecenderungan adanya dialektika dalam masyarakat. Dialektika ini merupakan teori yang diangkat oleh seorang filsuf jerman, GWF Hegel. Teori dialektika Hegel mendasarkan diri pada kontradiksi berupa tesis yang dipertentangkan dengan antitesis dan menghasilkan sintesis. Dinamika sejarah manusia dari dulu sampai nanti berbentuk dialektika tersebut. Untuk menghasilkan kemajuan dalam sejarah manusia, diperlukan kontradiksi.
Jika diterapkan dalam kontestasi pilpres 2019, setelah dipimpin pemimpin sipil yang biasanya digambarkan sebagai pemimpin yang kurang tegas sehingga memunculkan ketidak-stabilan, biasanya diikuti kerinduan akan munculnya pemimpin tegas dan mampu menciptakan kestabilan.
Figur tokoh militer biasanya dicitrakan sebagai figur yang tegas tersebut. Setelah sebelumnya dipimpin seorang Jenderal, yakni mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan sekarang dipimpin sipil yakni Jokowi, ke depan figur seorang jenderal kembali dirindukan.
ADVERTISEMENT
Sekarang ini, nama Gatot Nurmantyo semakin santer disebut-sebut, baik sebagai calon presiden ataupun calon wakil presiden. Pada berbagai hasil survei, rata-rata Gatot memiliki peringkat cukup baik. Gatot selalu muncul di peringkat papan atas.
Langkah Politik
Namun demikian, untuk bisa berlaga di arena pemilihan presiden tahun 2019 bukan hal mudah. Calon tidak akan banyak karena sudah diganjal undang-undang pemilu. Persyaratan yang tinggi menjadi batasan jumlah pasangan yang bisa berlaga. Dalam kondisi ideal maksimal hanya tiga pasangan calon, namun hal itu sulit terjadi. Dalam kondisi biasa, arena pilpres hanya cukup untuk dua pasangan calon.
Karena itu, hanya tokoh luar biasa yang akan mampu berlaga di arena pilpres 2019. Tokoh tersebut harus memiliki mesin politik yang besar (partai politik atau gabungan partai politik yang akumulasi jumlah suara atau jumlah kursinya telah memenuhi presidential threshold). Inilah tantangan bagi tokoh yang memiliki keinginan menjadi kandidat calon presiden atau wakil presiden. Tantangan bagi Gatot semakin besar karena ia sejatinya bukan bagian dari parpol manapun.
ADVERTISEMENT
Apakah Gatot mampu “mengalahkan” tantangan ini. Mampukah Gatot menemukan dukungan dari partai politik sementara parpol pun terlihat telah memiliki tokoh yang ingin diusungnya. Gatot harus mampu memberi alasan kuat kepada parpol sehingga parpol tersebut mengurungkan niat mengusung kader sendiri dan beralih mendukung Gatot.
Gatot tampak berupaya mengalahkan tantangan tersebut. ia membuktikan niatnya untuk nyapres dengan melakukan langkah-langkah politik. Tidak hanya mengatakan, melainkan dengan aksi nyata. Ia sering muncul di hadapan publik dalam berbagai aktivitas. Pesannya jelas, ia ingin merawat ingatan publik terhadapnya. Ia menjaga agar dirinya tidak tenggelam setelah jabatan panglima TNI tidak lagi dijabatnya.
Sewaktu Gatot masih menjabat Panglima TNI, banyak pihak memperkirakan popularitas Gatot atau anjlok begitu lepas dari jabatannya. Namun tampaknya prediksi ini salah. Di tengah manuver politisi menghadapi pilpres 2019, nama Gatot Nurmantyo terlihat tegar tak tergoyahkan. Kesan Gatot dekat dengan kalangan Islam turut membuat figur Gatot tak tergoyahkan. Dengan berbagai kemunculan yang rutin, ia berhasil menjaga popularitas.
ADVERTISEMENT
Ia juga mendatangi berbagai kekuatan politik seperti Partai Gerindra dan Prabowo, PKS, dan berbagai kekuatan politik lainnya. Ia juga rajin mendatangi tokoh agama, pesantren, serta tokoh masyarakat. Tujuannya jelas, ia mencari kemungkinan diusung oleh berbagai kekuatan politik sebagai calon presiden atau calon wakil presiden.
Sang Penentu Kemenangan
Namun demikian, berbagai langkah nyata yang dilakukan ternyata belum secara maksimal menjadi perhatian publik. Berbagai aksi nyata tidak mampu mengerek elektabilitas Gatot ke puncak elektabilitas. Salah satu potretnya terlihat pada survei yang dilakukan Cyrus Network pada 27 Maret-3 April 2018.
Pada survei tersebut terlihat bahwa elektabilitas yang dilakukan dengan pertanyaan terbuka (tidak dengan menyodorkan sejumlah nama), elektabilitas Gatot Nurmantyo (3%) masih jauh lebih rendah dibanding elektabilitas Jokowi (58,5%) dan Prabowo Subianto (21,8%). Meskipun Gatot berada di peringkat ketiga, perbedaan Gatot dengan Jokowi dan Prabowo Subianto cukup jauh.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut menjadi PR Gatot jika benar-benar ingin berhasil masuk ke arena pilpres 2019. Ia harus mampu menaikan elektabilitasnya menjadi seimbang dengan Jokowi dan Prabowo. Dekat dan memberi harapan kepada masyarakat pemilih adalah upaya yang tidak bisa tidak harus dilakukan jika ingin mendapatkan dukungan dari masyarakat pemilih.
Tetapi ada pandangan lain, meskipun perbedaannya jauh, dilihat dari berbagai pengukuran elektabilitas, baik pada berbagai cara pengukuran pada survei cyrus network ataupun pada berbagai pengukuran hasil survei lembaga lainnya, Gatot Nurmantyo hampir selalu berada pada peringkat ketiga.
Artinya, Gatot adalah calon pendamping capres paling potensial mengerek jumlah suara. Posisinya yang berada di peringkat tiga membuat ia paling menarik dijadikan pendamping dan paling memungkinkan sebagai tokoh yang menyumbang suara besar bagi capres. Gatot adalah cawapres paling berpotensi memberikan keuntungan elektoral bagi pasangannya. Gatot bisa menjadi penentu bagi kemenangan pasangannya. Inilah posisi yang paling mudah diraih Gatot Nurmantyo, yakni sebagai cawapres.
ADVERTISEMENT
Cawapres Jokowi
Jokowi dan Gatot Nurmantyo (Foto: Reuters/Beawiharta)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi dan Gatot Nurmantyo (Foto: Reuters/Beawiharta)
Di manakah Gatot bisa bermanuver? Pergerakannya amat ditentukan oleh terbentuknya koalisi dan apakah koalisi tersebut bisa menerima Gatot Nurmantyo sebagai sosok yang akan mereka usung (sebagai capres ataupun cawapres).
Saat ini, peta koalisinya meskipun masih cair namun sudah bisa diprediksi kemungkinannya. Pertama koalisi pendukung Presiden Jokowi. Partai politik yang pasti mendukung Jokowi adalah PDIP, Partai Golkar, PKB, PPP, Nasdem dan beberapa partai baru. Kedua, partai politik pendukung Prabowo Subianto. Partai politik tersebut adalah Partai Gerindra dan parpol yang hampir pasti mendukung yaitu PKS dan PAN. Ketiga adalah partai politik yang belum jelas posisinya, yaitu Partai Demokrat. Partai yang didirikan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini terlihat menggadang-gadang Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), anak sulungnya, sebagai syarat bagi koalisi bagi yang ingin menggandengnya.
ADVERTISEMENT
Dari sisi kriteria, terdapat Kriteria ideal komposisi pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kriteria tersebut adalah sipil-militer, jawa-luar jawa, nasionalis-Islam. Kriteria ini berlandaskan pada pemikiran bahwa semakin beragam latar belakang kandidat akan semakin besar “kolam” dukungan yang diperoleh. Sebagai contoh jika pasangan calon presiden dan wakil presiden ini sosok yang sama-sama berlatar belakang Jawa, “kolam” dukungannya akan lebih sempit dibanding jika pasangan calon ini berlatar belakang Jawa-Luar Jawa.
Dengan popularitas dan elektabilitas yang cukup memadai serta posisinya yang bisa dilihat sebagai penentu kemenangan bagi pasangannya, Gatot Nurmantyo akhirnya menjadi sosok yang menarik untuk dilirik. Ia sosok yang menarik untuk digaet menjadi calon wakil presiden.
Latar belakangnya yang bukan dari partai politik menghindarkan capres yang didampinginya dari dilema kekecewaan parpol koalisi jika memilih salah satu kader parpol koalisi sebagai pasangan. Gatot bisa menghindarkan seorang capres dari konflik internal koalisi parpol pendukung.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, latar belakangnya yang militer membuat Gatot kurang ideal jika mendampingi Prabowo Subianto. Meskipun hal ini bisa saja terjadi dan sempat masuk radar Partai Gerindra untuk mendampingi Prabowo, namun jika hal itu terjadi, bisa menjadi kelemahan pasangan ini. Di mata publik, pasangan militer-militer akan terkesan menakutkan sehingga cenderung dihindari pemilih. Kriteria ideal bahwa kandidat adalah sipil-militer atau militer-sipil perlu menjadi perhatian.
Karena itu, Gatot paling mungkin jika mendampingi Jokowi. Selain keduanya memunculkan komposisi sipil-militer, juga memunculkan citra sebagai pasangan Nasionalis-Islam. Citra sebagai pasangan Nasionalis-Islam akan menjadi penentu bagi kemenangan Presiden jokowi dalam pipres mendatang.
Alternatif lain bagi Gatot, ia menjadi calon presiden dengan didampingi tokoh sipil. Namun hal ini sulit terjadi. Pandangan bahwa Prabowo Subianto hanya akan menjadi king-maker dan antara lain mengusung Gatot sebagai capres hampir mustahil terjadi. Prabowo telah memperlihatkan kehendaknya untuk maju sebagai capres.
ADVERTISEMENT
Catatan Akhir
Akhirnya, saat ini Gatot Nurmantyo terlihat seperti gadis cantik yang menarik untuk dipinang. Ia menarik karena akan memberi keuntungan elektoral bagi capres yang berhasil menggaetnya. Ia akan mampu menambah jumlah dukungan bagi pasangannya.
Selain itu, Gatot adalah solusi dari kebuntuan rebutan posisi kandidat wakil presiden yang sekarang tampak dialami para capres. Citra kedekatannya dengan kalangan Islam juga menjadi hal menarik lain dari Gatot. Ia bisa menyelamatkan republik dari kondisi chaos akibat kemungkinan menguatnya politik kebencian.