Dari berbagai permasalahan terkait penerimaan siswa baru, ada yang sangat mengganggu terkait hak siswa difabel yakni penolakan dari pihak sekolah dasar dengan alasan tidak bisa meneri ma siswa difabel. Meski telah ada Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Provinsi Jawa Timur, namun nyatanya masih ada calon siswa difabel yang mengalami penolakan ketika mendaftar di sekolah dasar negeri.
Contoh nyata dari peristiwa ini adalah yang dialami oleh Lina, warga Kabupaten Blitar. Lina mengaku bahwa anaknya yang merupakan seorang difabel ditolak oleh sekolah dasar negeri karena keadaannya. Sekolah memberi alasan penolakan karena menganggap bahwa mereka tidak bisa menerima siswa difabel dan harus dirujuk ke SLB. Sekolah mengaku tidak mampu untuk mencarikan guru pendamping khusus bagi calon siswa difabel, hal ini bertentangan dengan Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Provinsi Jawa Timur pada Bab III pasal 7 yang berbunyi “Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota bertanggungjawab dalam menyediakan : a. Guru Pembimbing Khusus yang dapat memberikan program pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus yang disediakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota; b. Sarana dan prasarana bagi peserta didik berkebutuhan khusus serta memperhatikan aksesibilitas dan/atau alat sesuai kebutuhan peserta didik.”.
Lina mengaku alasan dia mendaftarkan anaknya ke sekolah dasar negeri karena jarak rumah yang dekat dengan sekolah tersebut sehingga memudahkan akses anaknya untuk sekolah karena harus memakai kursi roda. Lina menjelaskan bahwa kondisi anaknya yang tunadaksa tidak mampu naik motor untuk mobilitas, sementara dia tidak memiliki mobil untuk kendaraan mengantar anaknya ke sekolah yang lebih jauh. Padahal sudah jelas dikatakan oleh Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Provinsi Jawa Timur pada Bab III Pasal 5 yang berbunyi “Setiap PAUD dan Sekolah/Madrasah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 memprioritaskan untuk menerima peserta didik yang berkebutuhan khusus yang bertempat tinggal berdekatan dengan sekolah/madrasah dan dikehendaki oleh orang tua anak yang bersangkutan.”.

Meskipun saat itu Lina langsung mendaftarkan anaknya ke SLB terdekat, namun SLB terdekat dari rumah Lina yaitu sekitar 10km. Pada saat itu fasilitas yang dimiliki oleh SLB tersebut masih belum memadahi sehingga belum bisa menyediakan sarana akomodasi seperti mobil untuk menjemput siswa yang membutuhkan sehingga Lina terpaksa memaksakan keadaan anaknya untuk tetap berangkat sekolah menggunakan motor, namun seiring berjalannya waktu kondisi anaknya semakin tidak memungkinkan untuk naik motor sehingga Lina memutuskan untuk tidak berangkat sekolah lagi karena anaknya mengeluh tidak kuat naik motor dan memilih untuk belajar dirumah secara mandiri. Hal ini tentunya adalah pilihan yang berat karena pendidikan merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi anaknya namun karena keterbatasan yang dimilikinya ia harus terpaksa memilih pilihan tersebut.
Tidak kecil kemungkinan kasus ini hanya terjadi pada Lina saja, pasti masih banyak kasus serupa yang dialami oleh orang tua dengan anak difabel namun harus pasrah dengan keadaan. Pemerintah daerah tentunya harus lebih memperhatikan kasus-kasus yang menyangkut hak siswa difabel agar tidak mendapatkan diskriminasi dalam pendidikan dan bidang lainnya.