Diary 1: Kisah Seminggu Saya Usai Dipecat KPK Gara-gara TWK

Tri Artining Putri
Mantan Pegawai KPK yang disingkirkan dengan tes atas nama kebangsaan.
Konten dari Pengguna
7 Oktober 2021 13:56 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
12
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tri Artining Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perkenalkan, saya Tri Artining Putri. Belum lolos Tes Wawasan Kebangsaan.
zoom-in-whitePerbesar
Perkenalkan, saya Tri Artining Putri. Belum lolos Tes Wawasan Kebangsaan.
ADVERTISEMENT
Niat utama saya setelah resmi disingkirkan dari Komisi Pemberantasan Korupsi adalah rebahan sampai puas. Sebab, mencari keadilan di Indonesia sangatlah melelahkan. Lima bulan and still counting, saya dan 57 rekan yang juga mengalami hal serupa, melakukan segala yang bisa kami lakukan. Kami mengajukan gugatan sambil melayangkan umpatan. Enggak deh, melayangkan umpatan kan tidak sopan. Semua jalur kami mencari keadilan, sangat sopan dan penuh kearifan. Sesuai arahan Presiden Joko Widodo.
ADVERTISEMENT
Kembali ke niat utama saya setelah resmi disingkirkan: rebahan. Sayangnya, dalam tujuh hari pertama menjadi pengangguran dadakan karena kehendak para penguasa, saya masih riweuh. Silakan sebut sok sibuk. Pokoknya, tujuh hari ini saya gagal rebahan. Padahal saya sudah menolak ajakan-ajakan beberapa teman untuk bertemu. Bukannya tidak rindu, tapi rasa lelah melawan rezim ini begitu menjangkit. Hingga saya harus istirahat, sedikit.
Hari pertama, Sabtu, 2 Oktober 2021, saya tidak bisa menghindar karena ada teman dari KPK yang datang berkunjung, bawa donat satu kardus. Dia juga bawa beberapa cerita yang bikin sakit hati tentang lembaga yang sangat kami sayangi itu. Cerita apa yang bikin sakit hati? Mungkin akan saya ceritakan di tulisan selanjutnya. Saat ini saya belum siap.
ADVERTISEMENT
Masih pada hari pertama, beberapa teman yang dulu pernah jadi jurnalis bareng di Tempo, mengajak saya ngobrol. Bukan tentang saya yang dilabeli antipancasila, UUD 45, bahkan disebut merah, tidak bisa dibina. Lebih karena kini saya menganggur dan disebut ENGGAK MUNGKIN LO ENGGAK PUNYA WAKTU KAN, PUT. Ya, pada akhirnya memang salah satu topik utama obrolan kami adalah negara yang semakin membingungkan ini. Termasuk soal Tes Wawasan Kebangsaan yang saya alami, dan satu topik terpenting: KPR.
Lanjut ke hari kedua. Saya harus menghadiri rapat. Iya, rapat. Memang pengangguran enggak boleh rapat? Undangannya saya terima satu hari sebelumnya. Ketika berangkat dari rumah, dua keponakan saya yang cerewet bertanya dengan lantang.
“Mau ke mana, Tante Puput?” kata mereka.
ADVERTISEMENT
“Kerja,” jawab Saya.
“Bukannya udah dipecat sama Firli?” tanya keponakan saya yang berusia 10 tahun. Percakapan ini kemudian saya tutup dengan tawa. Takutnya saya ditanya tentang mengapa KPK dipimpin seorang polisi aktif? Dan mengapa saya bisa dipecat seenaknya padahal tesnya melanggar HAM dan cacat prosedur? Ke mana hukum yang seharusnya berlaku adil untuk semua warga negara Indonesia? Yhaaa… anak-anak zaman sekarang kan pintar dan penuh rasa ingin tahu. Siapa tahu pertanyaannya berkembang kan.
Sekadar mengingatkan, rapat yang harus saya hadiri berlangsung pada hari Minggu. Dan yang ngajakin rapat adalah orang-orang yang saya kagumi. Pengorbanan waktu mereka lebih berharga. Karena kan mereka masih harus bekerja, seharusnya beristirahat di akhir pekan. Betapa beruntungnya saya bisa rapat sama mereka, dan niat rebahan hanya menjadi satu hal yang sangat memalukan. Apa yang dibahas? Masih soal TWK yang melanggar HAM tentu saja. Hasil rapat ini mungkin bisa disaksikan dan dibaca dan dinikmati beberapa hari lagi oleh para pemirsa yang budiman.
ADVERTISEMENT
Saya pikir dengan enggak punya pekerjaan, setiap hari adalah akhir pekan. Ternyata Senin tetaplah Senin. Saya harus berkegiatan, yang tentu saja masih ada hubungannya dengan TWK yang melanggar HAM. TWK yang cacat prosedur. Dan masih tentang Presiden Joko Widodo yang memilih diam dan sepakat sama Ketua KPK Komisaris Jenderal Polisi Firli Bahuri. Sepakat untuk tutup mata dan telinga terhadap rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman.
Kami di Komnas HAM.
Dua hari selanjutnya, masih harus saya lalui dengan rentetan rapat. Tentang pergerakan dan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan yang harus berlanjut. Saya lupa ini kalimat siapa. Saya mendengar ini di salah satu kegiatan advokasi tentang Tes Wawasan Kebangsaan lima bulan ke belakang.
“Ini harus terus dibicarakan, supaya masyarakat tidak lupa. Supaya kita semua tidak lupa.”
ADVERTISEMENT
Saya sebagai bagian dari 58 pegawai yang disingkirkan dengan TWK abal-abal yang melanggar HAM dan cacat prosedur, tidak akan berhenti bersuara. Meski dengan keterbatasan sumber daya. Dan tak punya kekuasaan sebesar mereka.