Diary 2: Dipecat KPK, Semoga Dapat Kerja Lebih Baik

Tri Artining Putri
Mantan Pegawai KPK yang disingkirkan dengan tes atas nama kebangsaan.
Konten dari Pengguna
11 Oktober 2021 8:49 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
18
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tri Artining Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Semoga dapat pekerjaan yang lebih baik.”
Kan bisa berkarya di mana saja.”
ADVERTISEMENT
“Yang sabar ya, orang kaya kamu pasti gampang dapat kerja lagi.”
Saya sering sekali mendapat tiga kalimat tersebut sebagai respons atas pemecatan di Komisi Pemberantasan Korupsi. Narasi ini juga banyak sekali ditiupkan di media sosial. Saya menduga, narasi model begini dibuat untuk mempersempit penyingkiran kami sebagai masalah kepegawaian saja.
Beruntungnya saya enggak dapat satu pun dari tiga kalimat itu dari teman-teman dekat. Saya bertemu mereka akhir pekan lalu. Tepatnya Minggu, 10 Oktober 2021, kami janjian ketemu untuk saling update kehidupan.
Hai. Ini teman-teman saya. Kanan namanya Dara, kiri namanya Ririn. Di sini, Dona belum datang.
Nah itu Dona yang di belakang, lagi sibuk belanja online 10.10.
“Liat tesnya begitu, gue malah heran kalo lo ga kena pecat,” ujar mereka, kemudian kami tertawa. Sejak 2019, mereka tahu betul gerak gerik saya menolak Revisi Undang Undang KPK. Mereka tahu detail cerita peretasan akun Instagram saya. Kemarin saat bertemu, ada lagi cerita soal peretasan, kali ini WhatsApp saya yang kena.
ADVERTISEMENT
Ceritanya bisa disimak di link berikut:
"Kalo ini cuma soal kerjaan mah ya kali sampe ada bajak-bajakan WhatsApp," kata Dara. "Repot amat mau mecat lo," lanjut dia. Kami tertawa lagi.
Kami berempat sudah lama sekali enggak kumpul dan ngobrol. Pandemi yang jadi penyebabnya. Jadi dalam pertemuan kali ini, mereka benar-benar bertanya soal Tes Wawasan Kebangsaan yang saya jalani. Dari awal, sampai dipecat. Meski sudah membaca di media massa, mereka merasa tetap perlu bertanya untuk memastikan kebenarannya.
Kerennya, mereka enggak kaget ketika saya bilang semua yang mereka baca di media massa itu benar. Mereka merasa sudah terlalu banyak hal aneh di Indonesia. Termasuk Tes Wawasan Kebangsaan yang saya jalani.
ADVERTISEMENT
Mereka juga meyakini Komnas HAM dan Ombudsman tidak mengada-ada dengan temuan-temuannya. TWK ini melanggar HAM, mengandung pelecehan, dan cacat prosedur. Dan mereka sama sekali enggak mengecilkan persoalan ini jadi soal kepegawaian saja.
Silakan baca soal temuan Komnas HAM dan Ombudsman tentang TWK KPK di link berikut:
“Makanya lo nurut aja biar ga dipecat, banyak ngelawan segala sih,” kata salah satu dari mereka, sarkas. Ada juga yang langsung berkata kasar, yang kalimatnya enggak mungkin saya tulis di sini. Salah satu lainnya, yang seorang Sarjana Hukum, bahkan mengomentari seorang politikus yang menurutnya bodoh.
Pake bilang semua orang pasti tergantikan, ya semua orang juga tauuuu, tapi kan ini bukan soal ituuuu,” kata dia dengan nada gemas. “Enggak perlu tahu pasal-pasal undang undang segala deh buat tahu tesnya tu ngaco, ngawur, aneh,” lanjut dia.
ADVERTISEMENT
Mereka sepakat bahwa digaji negara tidak sama dengan menggadaikan idealisme. Dan bukan berarti harus kehilangan kebebasan berkeyakinan. Karena semuanya dijamin dan diatur undang undang.
Respons mereka kemudian adalah: terus sekarang KPK-nya gimana?
Inilah sebab pertemanan kami bertahan sejak umur empat, sampai sekarang. Otak dan hatinya sehat semua.
Pertanyaan mereka penting banget dijawab sama kita semua. Lalu bagaimana nasib KPK sekarang? Dipimpin oleh pelanggar etik, pelanggar HAM, dan merupakan otak intelektual tes yang cacat prosedur. Bagaimana nasib pemberantasan korupsi ke depan?
Saya tentu enggak punya kapasitas untuk menjawab ini. Karena posisi saya sekarang di luar KPK. Bagaimana menurut para pemirsa yang budiman?
Selain bertemu dengan teman-teman dekat, Sabtu, 9 Oktober 2021 saya pergi kondangan. Salah satu teman seangkatan di KPK, menikah. Saya pergi dengan ibu. Ibu yang mendukung penuh pergerakan saya, termasuk saat menolak revisi Undang Undang KPK.
ADVERTISEMENT
Silakan cari berita soal penutupan logo KPK menggunakan kain hitam pada 2019. Saya ikut menjahit kain yang digunakan menutup logo di Gedung Merah Putih itu. Ibu, ikut menemani saya berkeliling di sekitaran rumah, mencari toko kain.
“Besok bilang ya ke wartawan, Ibu ikut beli kain hitamnya,” kata Ibu waktu itu. Beliau pikir saya ini orang penting yang sering diwawancara wartawan. Padahal bukan. Hahahahaha!
Ibu yang selalu menjadi sumber kekuatan, setiap saya berangkat untuk melawan kesewenang-wenangan dalam Tes Wawasan Kebangsaan ini.
“Lawan terus sampai habis, jangan mau dianggap orang bodoh, jangan diem aja,” kata Ibu saat mendengar saya tidak lolos tes, awal Mei lalu.
Saya sama Ibu, dalam perjalanan pulang dari kondangan. Macet banget.
Ibu juga tahu sekarang saya jadi belajar menulis lagi di kumparan. Sampai tulisan ini tayang, sikap Ibu masih sama. “Tulis di artikel, Adek (panggilan saya di rumah), Ibu bangga.”
ADVERTISEMENT
Info tambahan. Di kondangan Sabtu lalu, saya juga bertemu dengan mantan atasan, Mas Febri Diansyah. Saya jadi kepikiran menulis tentang Febri Diansyah di artikel selanjutnya. Siapa setuju? Coba di-like dulu yang banyak ya artikel ini. Saya jamin artikel tentang Mas Febri akan sangat menarik, menguak tabir yang selama ini enggak banyak orang tahu.
Febri Diansyah dan teman saya yang baru menikah Sabtu lalu, namanya Mba Bunga. Mas Febri diminta jadi saksi.