news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Dimensi Transformasi Ekonomi (3)

Tri Cahyo Wibowo
Instructor, coach, writer, and consultant of productivity. Civil servant at Jakarta Productivity Development Center (Pusat Pengembangan Produktivitas Daerah Provinsi DKI Jakarta).
Konten dari Pengguna
3 Februari 2022 11:36 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tri Cahyo Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kota. Sumber: Dokumentasi pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kota. Sumber: Dokumentasi pribadi.
ADVERTISEMENT
Dimensi Transformasi Ekonomi Part 1 dan Part 2 telah cukup banyak mengulas bagaimana sebuah negara dapat berubah/bertransformasi secara ekonomi dengan berbagai pendukungnya.
ADVERTISEMENT
Part 3 ini akan membahas mengenai hal-hal penting yang biasanya terjadi pada restrukturisasi ekonomi.
Beberapa isu yang mungkin terjadi pada saat restrukturisasi ekonomi adalah, pertama adalah adanya kemungkinan perubahan struktural (structural change) yang menghambat pertumbuhan. Structural change sendiri adalah perubahan drastis yang mengubah cara industri atau pasar bekerja, biasanya disebabkan oleh perubahan yang besar (major change) di sisi perkembangan ekonomi [Investopedia].

Structural Change

Salah satu kunci untuk melakukan perubahan struktural (structural change) adalah dengan dinamisme yang melekat pada sistem tersebut. Biasanya perubahan struktural seringkali dipicu oleh: inovasi teknologi, perkembangan ekonomi terbaru, pergeseran global dalam kumpulan modal dan tenaga kerja, perubahan ketersediaan sumber daya, perubahan penawaran dan permintaan sumber daya, serta perubahan lanskap politik.
ADVERTISEMENT
Perubahan struktural (structural change) dapat berakibat positif maupun negatif. Beberapa negara mengalami penurunan produktivitas yang disebabkan oleh structural change dan beberapa negara lainnya mengalami hal sebaliknya.
Grafik kemungkinan perubahan struktural yang mengurangi pertumbuhan. Sumber: Presentasi Dr. Woon Kin Chung pada Workshop on Productivity, Quality, and Innovation for Transforming Economies (Januari 2021)
Grafik tersebut menunjukkan bahwa perubahan struktural yang terjadi di Amerika Latin dan Afrika mengakibatkan menurunnya tingkat produktivitas negara tersebut, hal sebaliknya terjadi di Asia.
Sebagai contoh, salah satu perubahan major yang terjadi di Amerika Latin adalah imbas dari perubahan ekonomi global, yaitu resesi (yang berujung depresi) yang dialami oleh Amerika Serikat berimbas keras kepada Amerika Latin, terlebih ketika investor menarik dananya dari Amerika Latin untuk menyelamatkan bisnis mereka di Amerika Serikat [James Petras, 2009].

Premature Deindustrialization

Hal kedua yang menyebabkan restrukturisasi ekonomi adalah deindustrialisasi yang prematur (premature deindustrialization). Premature deindustrialization -- menurut Dani Rodrik, salah satu ahli ekonomi di Harvard University, adalah kondisi di mana suatu negara mengalami penurunan pada bidang manufacturing tanpa menjadi negara maju terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
Beberapa negara yang mengalami premature deindustrialization terbanyak adalah negara-negara di Afrika, Amerika Latin, dan beberapa negara Asia. Sebagaimana Mexico yang sudah tidak memiliki banyak peluang pekerjaan pada sektor industri manufaktur [vox.com].
Gambar grafik perubahan nilai tambah dari sektor manufaktur terhadap GDP. Sumber: Presentasi Dr. Woon Kin Chung pada Workshop on Productivity, Quality, and Innovation for Transforming Economies (Januari 2021)
Persona dari grafik tersebut mengisyaratkan bahwa pada dasarnya sektor manufaktur sudah mulai ditinggalkan dan mayoritas bisnis di berbagai negara kini lebih banyak bergerak di sektor jasa. Namun, beberapa negara berhasil menjadi negara maju dengan manufakturnya dan beberapa negara justru mengalami penurunan pascapuncak kemajuan industri manufaktur di negaranya.
Malaysia, Cina, Korea Selatan, Jepang, dan Singapura adalah beberapa negara yang berhasil memanfaatkan berkembangnya industri manufaktur menjadi titik tolak untuk masuk sebagai negara yang berpendapatan tinggi (high income nations), sedangkan Pakistan, Laos, Kamboja, Nepal, dan Mongolia gagal mewujudkan hal tersebut dan terjebak masuk ke dalam negara berpendapatan rendah (middle income trap).
ADVERTISEMENT

Low Complexity

Rendahnya kompleksitas produk pada suatu negara yang terjadi secara terus-menerus juga merupakan salah satu isu pada restrukturisasi ekonomi. Seiring dengan keberhasilan suatu negara mengelola industri manufakturnya, maka negara tersebut pun sukses menghasilkan produk-produk yang lebih kompleks yang memiliki added value (nilai tambah) yang tinggi.
Gambar perbandingan kompleksitas industri antara Pakistan dan Vietnam. Sumber: Presentasi Dr. Woon Kin Chung pada Workshop on Productivity, Quality, and Innovation for Transforming Economies (Januari 2021)
Pakistan mengalami perubahan produk yang tidak terlalu signifikan dan tidak jua kompleks, berkebalikan dengan Vietnam yang mampu semakin cepat mengubah produknya menjadi produk-produk yang lebih kompleks dan tentu saja memiliki nilai tambah (value added) yang tinggi.
Pakistan pada tahun 1995 dan 2018 masih berkutat untuk mengekspor barang/jasa di bidang servis dan tidak berubah secara signifikan sedangkan Vietnam yang semula bergerak di bidang servis mulai meningkatkan ekspor di bidang elektronik. Sangat signifikan, bukan?
ADVERTISEMENT

Middle Income Trap

Middle income trap merupakan salah satu isu yang berpengaruh pada restrukturisasi ekonomi dan pernah dibahas oleh penulis di sini.
Log grafik perbandingan pendapatan per kapita negara-negara terhadap pendapatan per kapita Amerika Serikat. Sumber: Presentasi Dr. Woon Kin Chung pada Workshop on Productivity, Quality, and Innovation for Transforming Economies (Januari 2021)
Middle income trap adalah sebuah kondisi di mana sebuah negara mampu keluar dari level pendapatan rendah menuju pendapatan menengah namun tidak mampu naik lebih dari itu menjadi negara kaya (high income). Bank Dunia (World Bank) memperkirakan bahwa dari 101 negara berpendapatan rendah di tahun 1960 hanya 13 negara yang berhasil menjadi negara kaya di 2008, yaitu di Asia antara lain: Jepang, Hongkong, Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan.
~Tri Cahyo Wibowo~
Instruktur Produktivitas di Pusat Pengembangan Produktivitas Daerah Prov. DKI Jakarta