Pembelajaran Kebijakan untuk Transformasi Industri (3)

Tri Cahyo Wibowo
Instructor, coach, writer, and consultant of productivity. Civil servant at Jakarta Productivity Development Center (Pusat Pengembangan Produktivitas Daerah Provinsi DKI Jakarta).
Konten dari Pengguna
13 April 2021 14:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tri Cahyo Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi distrik bisnis Jakarta. Sumber: pxhere
Part 1 dan Part 2 tentang Pembelajaran Kebijakan untuk Transfornasi Industri telah membahas tentang pentingnya penyusunan dan penerapan kebijakan yang tepat agar industri pada sebuah negara dapat berkembang dengan baik.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya sebuah kebijakan akan terpengaruh dari keinginan dan kelayakan yang dimiliki oleh masing-masing negara.
Prof. Kenichi Ohno pada Workshop on Productivity, Quality and Innovation for Transforming Economies yang diselenggarakan pada akhir Januari 2021 menyampaikan bahwa perkembangan industri akan senantiasa berkelindan dengan 2 (dua) aspek penting, yaitu aspek ekonomi dan aspek politik.
Aspek ekonomi meliputi pengembangan SDM dan teknologi, integrasi infrastruktur, dan transformasi industri, sedangkan aspek politik meliputi pimpinan negara, elit politik, kepentingan koalisi, etnis, mindset populer, faktor-faktor eksternal, dan kemampuan kepemimpinan.
Aspek ekonomi dan politik yang dimiliki oleh masing-masing negara memiliki keunikan tersendiri. Aspek ekonomi adalah apa-apa yang harus dicapai sedangkan aspek politik adalah apa yang perlu dilakukan.
Ambillah contoh negara kita menginginkan akselerasi pada industri 4.0, maka dari sisi politik dan kebijakan hal tersebut harus direncanakan dengan sangat matang agar aspek ekonomi yang ingin dicapai bisa terwujud.
Gambar Standar Penyusunan Kebijakan. Sumber: Presentasi Kenichi Ohno pada Workshop on Productivity, Quality and Innovation for Transforming Economies yang diselenggarakan pada akhir Januari 2021
Dalam menyusun kebijakan, terdapat 5 (lima) unsur utama yang perlu ada. Pertama, diperlukan top leader yang visioner. Ini adalah awal mula perumusan sebuah kebijakan. Tanpa top leader yang visioner, tidak akan pernah diketahui pencapaian yang ingin digapai, sehingga tanpa tujuan yang jelas, kebijakan yang dihasilkan menjadi tidak relevan atau bahkan tidak ada kebijakan yang mendukung perkembangan industri yang dibutuhkan.
ADVERTISEMENT
Unsur kedua adalah membangun konsensus. Tahap membangun konsensus ini dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan brainstorming, melakukan studi dan survey, dan melakukan konsultansi dengan para stakeholder. Stakeholder yang dilibatkan berpartisipasi antara lain: pemerintah, swasta, akademisi, dan perwakilan daerah. Ketiga cara ini akan menghasilkan tujuan dan arah kebijakan.
Setelah terbangun konsensus, maka tahap penyusunan kebijakan berikutnya adalah dokumentasi. Fase dokumentasi ini berfungsi untuk membukukan konsensus yang telah disusun. Penyusunan ini pun perlu melibatkan stakeholder. Biasanya akan dilakukan penyusunan draft, pemberian tanggapan dan melakukan revisi, hingga finalisasi dan persetujuan.
Selain itu semua, unsur penting berikutnya adalah adanya sekretariat dengan kewenangan yang sesuai untuk mengkoordinir pelaksanaan penyusunan kebijakan tersebut.
Hal yang penting diperhatikan adalah bahwa dokumen hanyalah sarana mencapai tujuan. Banyak terjadi birokrat menyusun dokumen yang sempurna tapi melupakan implementasinya.
ADVERTISEMENT
Pengimplementasian kebijakan juga merupakan sarana, bukan tujuan akhir, Jika rencana yang disusun diimplementasikan namun hasilnya tidak terlalu signifikan, maka dapat dipastikan telah terjadi kesalahan.
Rencana yang fleksibel dengan berbagai penyesuaian saat implementasinya dapat menghasilkan hasil yang lebih baik.

Kapabilitas Manajemen dan Teknologi Perusahaan

Perusahaan-perusahan merupakan salah satu pendukung inti dalam pengembangan industri sebuah negara. Dibutuhkan perusahaan-perusahaan yang capable di sisi manajemen dan teknologi agar mampu menjadi penyokong perkembangan industri nasional.
Salah satu cara yang dapat diterapkan adalah dengan menggunakan standar tools produktivitas ala Jepang, seperti: perubahan mindset, 5S dan Kaizen, handholding (saling mendukung dan menyokong UKM), shindan (diagnosis dan pemberian rekomendasi bagi UKM), penguatan jejaring untuk pendidikan dan pelatihan teknikal dan vokasional, kosen (perguruan tinggi teknik), gino jissuhesi (teknisi dari luar melakukan magang di pabrik-pabrik Jepang), kosetsushi (pusat bantuan teknis bagi UKM), badan penghubung antara FDI dengan industri lokal, dan pengembangan industri penyokong.
ADVERTISEMENT
Beberapa negara telah mengadopsi tools ini, beberapa ada yang berhasil, beberapa ada yang kurang sukses. Hal ini dipengaruhi oleh political will, penyesuaian yang tepat sesuai kondisi negara, dan perhatian pada sisi teknis dan institusi. Salah satu contoh negara yang berhasil memulai dan melaksanakan productivity movement adalah Singapura ketika di bawah kepemimpinan PM Lee Kuan Yeuw dan saat ini Singapura sudah berhasil mengelolanya sendiri.
Kaizen adalah sebuah cara yang murah untuk meningkatkan efisiensi di lingkungan kerja. Pada awalnya Kaizen dibawa oleh Amerika Serikat pasca-Perang Dunia II (sebagai bentuk bantuan rekondisi Jepang pascapengeboman Hiroshima-Nagasaki) dan diadopsi dengan lebih baik di Jepang. Kaizen memiliki filosofi untuk mengeliminir berbagai hal yang tidak memiliki nilai tambah.
ADVERTISEMENT
Salah satu tools dasar Kaizen adalah 5S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, Shitsuke) atau 5R (Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, Rajin). Seiri adalah menyortir barang-barang yang tidak dibutuhkan pada area kerja. Seiton bermakna meletakkan barang-barang yang sudah disortir di tempat yang sesuai untuk memudahkan penggunaan. Langkah berikutnya adalah Seiso, yaitu pembersihan peralatan dan area kerja.
Basic dari 5S adalah 3S pertama, yaitu Seiri, Seiton, dan Seiso. Jika ketiganya sudah dilakukan dengan tertib maka berikutnya adalah melaksanakan Seiketsu yang bermakna standardisasi. Segala perbaikan yang telah dilakukan dibuat standarnya yang mudah dipahami dan diaplikasikan oleh seluruh pihak.
Terakhir adalah Shitsuke, yaitu penyadaran diri untuk memiliki etos kerja yang tinggi, seperti disiplin, malu jika melakukan pelanggaran, saling menghormati, dan senang melakukan perbaikan.
ADVERTISEMENT