Produktifkah ASN Bekerja dari Mana Saja?

Tri Cahyo Wibowo
Instructor, coach, writer, and consultant of productivity. Civil servant at Jakarta Productivity Development Center (Pusat Pengembangan Produktivitas Daerah Provinsi DKI Jakarta).
Konten dari Pengguna
13 Mei 2022 11:45 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tri Cahyo Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Bekerja dari Mana Saja. FOTO: pexels.com/nappy
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bekerja dari Mana Saja. FOTO: pexels.com/nappy
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini begitu santer terkait isu bahwa ASN dapat WFA (work from anywhere) atau bekerja dari mana saja. Hal ini merupakan salah satu efek disrupsi yang terjadi sejak pandemi COVID-19 melanda negeri kita.
ADVERTISEMENT
Di awal masa pandemi, seluruh lini “dipaksa” untuk bisa bekerja dari rumah agar dapat meminimalisasi kontak antara satu orang dengan orang lainnya. Pada dunia ASN sendiri, sebenarnya pemerintah sudah
berencana untuk bisa membuat konsep bekerja dari rumah/mana saja bagi ASN, namun pandemi ini menjadi satu cambukan keras sehingga ASN pun harus ikut beradaptasi dengan perubahan ini.

Ide ASN Bekerja dari Mana Saja

Dilansir dari ayocirebon.com pada tanggal 22 November 2019, Tjahjo Kumolo selaku Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan-RB) mendukung pelaksanaan ASN bekerja dari rumah. Ia menyampaikan bahwa nantinya ASN dapat bekerja dari mana saja, selayaknya wartawan yang juga bisa mencari dan menyusun berita di manapun. Tentu saja hal ini perlu dibarengi dengan ketepatan target waktu dan output yang telah direncanakan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, saat pandemi COVID-19 dirasa mulai melandai di negeri ini, Pemprov Jawa Barat pun mulai menggodok rencana memberlakukan WFA bagi ASN di lingkungan Pemprov Jawa Barat (cnbcindonesia.com). Nantinya, jika pekerjaan-pekerjaan dapat diselesaikan secara daring, maka ASN tersebut tidak perlu lagi ke kantor, dengan syarat target kinerja yang telah ditentukan tercapai.
Pada dasarnya, sebagaimana yang telah penulis sampaikan di awal, mau tidak mau, suka tidak suka, semua lini harus beradaptasi dengan kondisi kekinian, baik tersebab oleh pandemi maupun karena saat ini kita sudah mulai memasuki era 4.0 ketika Internet of Things menjadi makanan sehari-hari.

Beradaptasi di Era VUCA

Dunia saat ini begitu cepat bergerak dan berubah, bahkan kita menyebutnya dengan istilah VUCA (volatility, uncertainty, complexity, and ambiguity). Volatility bisa dikatakan sebagai gejolak, di mana penyebab permasalahan terbaru menjadi sulit diketahui karena kondisi yang cepat berubah. Misalkan saja, dulu bisnis taksi menjadi bisnis yang cukup ajeg dan tidak ada lawannya. Namun tiba-tiba, muncul aplikasi online yang menawarkan transportasi yang lebih mudah dijangkau dan relatif lebih murah. Seketika bisnis taksi pun bergejolak.
ADVERTISEMENT
Uncertainty/ketidakpastian menjadi hal yang lumrah terjadi dewasa ini. Betapa permasalahan global saling berkelindan yang berdampak pula pada kegiatan-kegiatan lokal. Ambillah contoh pascapandemi COVID-19 ini, banyak lini bisnis yang menjadi tidak pasti masa depannya, apakah dapat bertahan atau akan berakhir tergerus zaman.
Hal lain, jika berbicara mengenai complexity/kompleksitas, kita akan dihadapkan pada permasalahan yang timbul bukan hanya karena satu penyebab saja, bisa jadi ia muncul karena berbagai hal tersebut terkelindan dengan permasalahan atau faktor penyebab masalah lainnya. Dibutuhkan pendalaman yang komprehensif dan menyeluruh untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul dewasa ini agar dapat menemukan akar permasalahannya dan mencapai solusi terbaik.
Terakhir mengenai ambiguity atau dapat dikatakan sebagai sesuatu yang membingungkan/menyesatkan. Kompleksnya permasalahan terkadang membuat solusi yang ditawarkan belum tentu tepat, bahkan bisa jadi malah memperburuk keadaan. Itulah mengapa kolaborasi, kerja-kerja bersama, dan kajian yang utuh, cepat, dan akurat perlu diterapkan untuk menyelesaikan berbagai problematika yang hadir di era sekarang ini.
ADVERTISEMENT

Berselancar Menikmati Disrupsi

ASN yang merupakan salah satu tonggak pembangunan negara perlu menginsyafi bahwa dunia telah berubah begitu cepat dan drastis. Banyak sekali kita temukan komentar di luar sana yang menyatakan lambannya kinerja ASN. Kritikan itu perlu menjadi pelecut semangat bagi para ASN untuk bisa memperbaiki diri dan organisasinya sehingga bisa memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat, sebagaimana ASN dikenal sebagai civil servant (pelayan masyarakat).
Kembali kepada perkara WFA, tentu saja hal ini menjadi sebuah tantangan bagi dunia ASN. Salah satu skill penting yang harus dimiliki oleh seorang ASN agar bisa melakukan WFA adalah: melek teknologi.
Merujuk pada data Statistik ASN Desember 2021 yang diterbitkan oleh Deputi Bidang Sistem Informasi Kepegawaian Badan Kepegawaian Negara (BKN) pada tahun 2022, terlihat bahwa unsur terbanyak ASN dipenuhi oleh usia 51-60 tahun ke atas, di mana diisi oleh generasi baby boomers dan generasi X.
Grafik Jumlah PNS Berdasarkan Kelompok Usia. Sumber: Statistik ASN Desember 2021 yang diterbitkan oleh Deputi Bidang Sistem Informasi Kepegawaian Badan Kepegawaian Negara tahun 2022
Baby boomers adalah generasi yang belum banyak bersentuhan dengan teknologi, sedangkan generasi X adalah mereka yang menyaksikan dan merasakan perkembangan teknologi, meskipun belum secanggih sekarang.
ADVERTISEMENT

Tantangan ASN WFA

Hal pertama yang perlu dipersiapkan agar ASN bisa WFA adalah mereka harus lincah, lancar, dan lihai dalam memanfaatkan teknologi. Generasi baby boomers harus berusaha dan berupaya dengan sungguh-sungguh agar bisa memanfaatkan teknologi. Di sisi lain, generasi X, Y, dan Z harus membantu generasi baby boomers agar bisa mandiri menggunakan teknologi.
Kedua, penyadaran bahwa WFA adalah bekerja, bukan libur pun perlu disadarkan kepada para ASN. Penulis menemui di lapangan beberapa ASN menganggap bahwa WFA/WFH adalah libur, sehingga sulit dihubungi, sulit diajak berkoordinasi, dsb.
Di sisi lain, ada beberapa ASN yang ditemui penulis di lapangan yang menganggap “kalau ga ke kantor, berarti ga kerja”, sehingga ia hanya bisa bekerja, rapat, berkomunikasi, dan berkoordinasi jika dan hanya jika bisa bertatap muka. Celakanya, jika ia adalah seorang pimpinan, maka anak buahnya akan terbawa-bawa, sehingga tidak ada lagi yang disebut WFA.
ADVERTISEMENT
Hal lain pula yang menjadi tantangan WFA adalah perihal jam kerja. Kedua belah pihak, baik pimpinan maupun bawahan harus sama-sama menyadari batasan-batasan jam kerja. Hal ini sebagai upaya untuk menjaga kesehatan mental dan work-life balance agar tidak terjadi burnout pada pegawai. Jika burnout terjadi, maka produktivitas pegawai tersebut dapat dipastikan akan menurun.
Terakhir, yang perlu dipahami bersama adalah bahwa tidak semua jenis pekerjaan ASN dapat melakukan WFA. Perlu ada aturan yang jelas dalam pelaksanaan WFA bagi ASN dan jikapun tidak dapat melakukan WFA, apakah akan ada insentif tambahan atau bagaimana.
ADVERTISEMENT
WFA pada ASN bisa produktif asalkan dipersiapkan dan dilakukan dengan tepat, cermat, dan terencana.