Warteg Terhempas, Mampukah Bertahan?

Tri Cahyo Wibowo
Instructor, coach, writer, and consultant of productivity. Civil servant at Jakarta Productivity Development Center (Pusat Pengembangan Produktivitas Daerah Provinsi DKI Jakarta).
Konten dari Pengguna
21 Januari 2021 6:57 WIB
Tulisan dari Tri Cahyo Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Warteg. Sumber: commons.wikimedia.org
Siapa yang tak mengenal warung makan ini, Warteg (Warung Tegal)? Warung makan yang terdapat di berbagai tempat di Indonesia yang menawarkan berbagai jenis makanan khas Tegal dengan harga yang sangat merakyat, hampir semua orang bisa membeli makanan di warteg, dari mereka yang beroda empat ataupun mereka yang berjalan kaki.
ADVERTISEMENT
Terdapat pula seloroh yang mengatakan bahwa warteglah yang menjadi asal-mula teknologi touchscreen (layar sentuh) karena saat ingin makan di warteg pembeli hanya cukup “menyentuh” etalase dan seketika semua yang ia inginkan telah tersaji. Warteg dapat pula dikatakan sebagai “restoran cepat saji” karena makanan dapat dihidangkan dengan begitu cepatnya.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa Usaha Mikro dan Kecil (UMK) merupakan penopang perekonomian yang lebih ajeg dan tahan terpaan badai krisis ekonomi. Hal ini disebabkan UMK bersifat lokal sehingga tidak bergantung kepada bahan baku impor, tenaga kerja asing, perubahan kurs rupiah, dan rantai pasok (supply chain) yang panjang. Warteg termasuk ke dalam salah satu UMK yang bergerak di bidang makanan dan minuman atau sering pula disebut sebagai bisnis kuliner.
ADVERTISEMENT
Grafik Persentase Jumlah UMK Menurut Kategori Lapangan Usaha, Tahun 2017. Sumber: BPS
Bisnis UMK pada bidang kuliner dan akomodasi sendiri dicatatkan BPS (2017) menempati posisi kedua sebagai lapangan usaha terbesar setelah bisnis Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi, dan Perawatan Mobil dan Motor yaitu sebesar 16,99 persen. Artinya, bisnis kuliner merupakan salah satu ladang usaha yang memiliki perputaran uang yang cukup signifikan untuk Indonesia.
Grafik Persentase Penyerapan Tenaga Kerja UMK Menurut Kategori Lapangan Kerja Usaha, Tahun 2017. Sumber: BPS
Tenaga kerja yang diserap oleh UMK Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum pun tidak bisa dikatakan sedikit karena berada di posisi ketiga setelah UMK Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi, dan Perawatan Mobil dan Motor dan Industri Pengolahan yaitu sebesar 14,39 persen. Hal ini menunjukkan bahwa cukup banyak masyarakat yang menggantungkan penghidupannya dari bisnis ini.

Dampak COVID-19 Terhadap Warteg

Hampir 1 (satu) tahun pandemi COVID-19 menghajar sendi-sendi kesehatan dan ekonomi masyarakat, termasuk para pemilik dan pengelola bisnis warteg. Mukroni (2021), Ketua Komunitas Warteg Nusantara (Kowantara) mengungkapkan bahwa terdapat sekitar 40.000 warteg di area Jabodetabek. Masih menurut Mukroni, warteg rata-rata dapat menghasilkan omzet sebesar 3-10 juta rupiah per harinya, nilai yang tidak sedikit untuk sebuah usaha mikro dan kecil.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi di tengah terpaan kesulitan ekonomi akibat pandemi COVID-19 ini, omzet warteg sendiri telah turun hingga 90 persen. Salah satu penyebab menurunnya omzet ini disebabkan oleh pembatasan ketat yang terpaksa dilakukan pemerintah untuk menekan penyebaran virus COVID-19. Pembatasan ini membuat banyak pelanggan tak lagi makan di warteg karena mereka sendiri pun berkurang penghasilannya, juga karena mereka lebih memilih memasak di rumah atau membawa bekal sendiri saat bepergian atau bekerja.
Di sisi lain, harga beberapa bahan pokok pun mengalami kenaikan. Berdasarkan data yang dilansir oleh Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) pada September 2020, harga cabai rawit merah mengalami kenaikan sebesar 11,2 persen, cabai rawit hijau naik sebesar 8,1 persen, bawang putih mengalami kenaikan sebesar 2,6 persen, dan bawang merah naik sebesar 6,3 persen. Telur ayam dan daging ayam pun mengalami kenaikan sebesar 9,3 persen dan 5,1 persen.
ADVERTISEMENT

Stimulus Pemerintah dan Inovasi Warteg

Sejak Agustus 2020, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan berupa Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM) yang menyasar para pelaku usaha mikro. Hal ini patut diapresiasi karena sedikit-banyak mampu membantu usaha mikro untuk kembali menggulirkan usahanya. Akan tetapi, bantuan ini baru bersifat 1 (satu) kali pencairan saja, belum berupa insentif yang berjangka.
Jika bantuan dapat diberikan secara berkelanjutan, tentu saja ini akan menjadi sebuah angin segar bagi usaha mikro, termasuk warteg yang kondisinya saat ini sedang kembang-kempis. Namun memang, insentif ini harus pula memperhatikan kemampuan negara. Apakah APBN/APBD mampu menanggungnya, dan berapa lama durasinya? Tentu saja ini masih membutuhkan studi dan pertimbangan ekonomi yang matang.
Selain bantuan dari sisi pemerintah, warteg pun perlu melakukan inovasi-inovasi dalam proses bisnis mereka. Merujuk pada konsep produktivitas, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh warteg agar bisnis mereka masih bisa bertahan di tengah krisis.
ADVERTISEMENT
Pertama, pengusaha warteg harus mengefisienkan proses pengolahan makanan, dari pembelian bahan baku hingga masakan tersaji di etalase. Jangan sampai dihasilkan waste yang tidak perlu, misal bahan baku yang dibeli berlebihan, masakan tidak habis (overproduction), dsj.
Kedua, warteg bisa mengoptimalkan penjualan dengan berbasiskan aplikasi daring. Go Food contohnya, pada akhir 2019 dapat membukukan 50 juta transaksi dan meningkat 20 persen selama pandemi. Jika warteg mampu mengambil kesempatan ini, maka warteg bisa bertahan bahkan bangkit dari himpitan krisis.
Terakhir, penulis ingin menyampaikan bahwa segala permasalahan dapat ditemukan solusinya jika kita mampu secara cermat mengidentifikasi penyebab-penyebabnya dan tidak menyerah untuk menyelesaikannya.