Kumparan Plus - Metaliquerasi Triskaidekaman

Pohon

Triskaidekaman
Penulis paruh waktu. Sudah menerbitkan empat novel yang judulnya panjang-panjang dan isinya aneh semua. Kontak: [email protected]
7 Februari 2022 2:46 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
“Turun, Prem. Kamu akan terlambat!”
Premis turun dari pohon palsu dengan hati-hati. Pohon itu tak bisa berbunga, bertambah panjang, apalagi berbuah. Ia ditanam hanya supaya Lobsterdam tampak tetap hijau. Sejak Lobsterdam kehilangan semua pohon akibat serangan bom ke Betislava beberapa tahun sebelumnya, seperti inilah kehidupan para warga negara-negara anggota Asosisuper—termasuk Premis dan keluarganya. Mereka memandangi rindang dedaunan yang bukan daun. Mereka memanjat pohon palsu untuk mengasup hiburan dan menelan sari buku untuk mengasup gizi.
“Bubur apa hari ini, Mam?”
One Hundred Years of Solitude,” sahut ibu Premis tanpa menoleh.
“Mam! Masak buku itu lagi?”
“Hari ini bagian Jose Arcadio dan Ursula. Kemarin bagian Aureliano II dan Petra. Kan beda?”
“Huh… penulis di dunia ini bukan cuma Gabo, Mam.”
“Kenapa? Kamu bosan? Cuma itu serbuk jus yang diskon minggu lalu. Jadi Mami borong. Kalau mau sari buku lain....”
Ibu Premis mendecak, diam sebentar.
“Mam, saya dengar ada The Wandering lagi diskon di kantin dekat sekolah....”
“Oh, sepatu merah? Jangan bandel, Prem. Nanti kamu jadi setan. Gentayangan ke sembarang tempat, kena tembak pasukan Asosisuper.”
Premis kesal. Cara bicara ibunya tak pernah berubah. Hanya kepadanya, tidak kepada Sinopsis (kakaknya), juga tidak kepada Klimaks dan Protagonis (adik-adiknya). Dia selalu menganggap Premis anak kecil, tidak besar-besar, tidak paham-paham.
The God of Small Things juga lagi diskon, Mam....”
“Hei, Prem! Kenapa kamu selalu tertarik dengan buku-buku komunis? Bisakah kamu tertarik dengan buku yang normal-normal saja seperti buku Paulo Coelho atau Gabriel Garcia Marquez?”
“Bisakah Mami mencari buku yang lebih mendebarkan, seperti karya-karya Stephen King, Dan Brown, atau Nora Roberts?”
“Diamlah dan habiskan buburmu yang cuma sedikit itu. Selama tunjangan kita belum dinaikkan, Mami tidak bisa membeli sari buku yang tidak diskon,” bentak ibu Premis. “Tentu Mami tidak akan membelikan kalian sari buku yang isinya penuh hal gaib,” tambahnya tiba-tiba.
Waktu memang berputar terlalu cepat. Premis mengunyah serat-serat kasar Macondo yang terpintal dengan bijih-bijih Jose Arcadio Buendia, untuk kesekian kali dalam pekan ini saja, sambil membayangkan suasana Metaliquerasi. Tempat kerjanya itu pernah magis, tetapi sekarang hanya remah-remah realisme yang tersisa di sana.
***
Tadinya Tamperemental hanya objek studi banding. Sekarang Tamperemental adalah obsesi. Semacam kiblat bagi Collophone, untuk gerakan yang mereka sebut Satu Literasi. Dia tak ragu sedikitpun akan apa saja yang ‘dihasilkan’ Tamperemental. Sedikit-sedikit, lihatlah Tamperemental. Ada apa-apa, tirulah Tamperemental. Ada masalah, coba lihat bagaimana Tamperemental menyelesaikannya. Tidak hanya Collophone. Hampir semua anggota sekretariat Asosisuper bagian literasi mengikuti pola pikir itu; terbutakan dan menjadi tidak kreatif dengan cara yang persis sama. Berkat bujukan Collophone, Dewan Komisaris Besar Asosisuper bersedia mengerahkan segala daya, bahkan menggelontorkan dana sangat besar. Mereka menerapkan aturan dengan masif dan militan, dengan kata-kata yang lembut dan menghibur, tetapi diam-diam memaksa, pasif-agresif. Gerakan Satu Literasi menyelusup ke sekujur sendi kehidupan rakyat.
Bergabunglah dengan komunitas baca buku agar pikiran terbuka dan tercerahkan.
Bacalah buku untuk bersenang-senang.
Kalau kamu merasa membaca buku adalah beban, berarti kamu belum bertemu teman baca buku yang tepat.
Kamu suntuk ketika membaca buku? Sini, gabung dengan komunitas XYZ!
Perlahan tetapi pasti, militansi mengetat. Aturan semakin dibuat-buat. Setiap warga harus membaca setidaknya dua puluh lima halaman buku dalam sehari. Setiap warga harus mengikuti tren buku terkini, tahu nama-nama penulis kiwari, dan tahu buku-buku pemenang penghargaan. Dalam setahun, setiap warga setidaknya harus memesan empat buku yang belum dicetak dan membuat ulasan atas sekurangnya lima buku.
Seluruh aktivitas membaca itu harus dicatat dalam sebuah diari. Semakin banyak tugas-tugas perbukuan yang tercatat, semakin banyak akses dan kemudahan ke bidang lain yang terbuka untuk warga yang bersangkutan.
Kenyataannya, tetap saja ada orang yang tidak bisa membaca sepuluh halaman sehari. Kepala mereka berputar-putar. Atau mereka disleksia. Ada juga sekelompok orang yang tetap tidak bisa membeli buku karena kekurangan uang; tidak bisa ke perpustakaan karena kesulitan membagi waktu di antara pontang-panting membanting tulang, atau karena tinggal di tempat yang jauh dari mana-mana. Masyarakat sesekali menggelar protes, tetapi tidak pernah digubris Collophone dan kawan-kawannya. Kepada warga yang tak begitu suka membaca, tak punya banyak waktu, atau merasa kesulitan, para penggila buku sibuk berpongah; merasa diri lebih berdaya dan berbudaya.
Collophone semakin menikmati perannya memaksa semua orang menikmati buku, sambil menindas kaum yang menghindari buku. Tentu saja istri dan anak-anaknya tahu, tetapi mereka tidak bisa berbuat banyak. Kalau sudah membawa-bawa pemerintah, apalagi Asosisuper, lebih baik diam, daripada hidup dipersusah.
Collophone terus berpropaganda tentang buku dan bacaan seolah dia bisa menjadi kaya karena melakukan itu; sementara hidup Adriatami, Sinopsis, Premis, Klimaks, dan Protagonis masih pas-pasan, bahkan terancam jatuh miskin jika satu dari mereka ada yang sakit parah. Mau tak mau, Adriatami nekat menerobos lewat jalur orang dalam, demi kelangsungan hidup keluarganya. Berkat Collophone yang tak segan-segan bernepotisme, Adriatami pun diterima bekerja di Metaliquerasi.
Akibat serangan bom ke Betislava, pohon-pohon tidak bisa lagi tumbuh di Lobsterdam. Maka, ditanamlah pohon-pohon palsu, dengan daun-daun palsu. Ilustrasi: Dian Intan/kumparan+
Saat itu Metaliquerasi masih berupa perpustakaan besar nasional. Sejak gerakan Satu Literasi digalakkan, warga terpaksa datang berbondong-bondong untuk membaca, meminjam buku, atau sekadar menghabiskan hari-hari lowong. Setelah para pemodal kapitalis berdatangan, Metaliquerasi mulai menjual buku. Tinggal pilih bahasanya, apa saja ada, semua tersedia. Rekomendasi bertebaran, gelondongan ada, personalisasi pun bisa. Ada bungkus-bungkus teh dan kopi sebagai pendamping, pemanis, teman minum. Paket-paket bundel buku dijual murah, lebih murah daripada bajakannya.
Adriatami menikmati peran gandanya dalam struktur organisasi Metaliquerasi lama. Dia kurator yang memilih buku-buku untuk didiskusikan sekaligus penyusun katalog bulanan untuk buku-buku terbitan baru. Pekerjaan itu terlihat mentereng dan mengagumkan bagi keempat anaknya. Mereka tertarik bergabung ke Metaliquerasi. Sepertinya bekerja di sana aman, pikir mereka. Apalagi sudah ada jembatan nepotisme terbentang. Mula-mula Sinopsis yang bergabung. Dia menjadi penyelia beberapa klub buku bisnis, yang beranggotakan eksekutif muda perlente dan bujang-bujang paruh baya yang ingin kelihatan necis. Sinopsis tak suka pekerjaan itu, tak suka dengan kemunafikan para pesertanya. Dia murni bertahan karena gajinya lumayan besar ketimbang mengurus genre lain, dan tentu karena tak ada orang lain yang mau menangani klub macam itu.
Kemudian, Premis mengikuti jejak abangnya. Setelah menjadi sarjana ilmu perpustakaan, Premis dipercayai menjadi koordinator komunitas-komunitas buku yang baru terbentuk. Anggotanya tak tertebak: kadang remaja tanggung, kadang ibu rumah tangga, kadang karyawan, kadang polisi. Tugas lain yang juga diembankan kepadanya adalah menumbuhkan minat baca, agar orang-orang yang baru pertama kali datang ke Metaliquerasi mau datang lagi lain kali.
Ketika pekerjaan mengharuskan dia memotivasi orang lain, Premis justru bertanya-tanya apa motivasinya sendiri. Dia tidak tahu apakah dia membaca buku karena suka, karena harus, atau karena dia tak tahu rasanya lepas dari buku. Yang dia ingat, dua penulis kesukaan pertamanya adalah Keigo Higashino dan Sidney Sheldon, tetapi kemudian dia mengenal banyak sekali penulis lain, termasuk para penulis perempuan, non-biner, minoritas etnis, penyintas malapetaka; sampai-sampai dia bingung harus memfavoritkan penulis mana. Akhirnya dia tetap memotivasi orang lain untuk membaca, membeli buku, meminjam sesering mungkin, atau bahkan bergabung ke klub bukutanpa mengetahui tujuan hidupnya sendiri. Dia ikan yang ikut arus, tetapi bukan ikan mati. Justru dia merasa hidup sehidup-hidupnya.
Namun, itu dulu, sebelum Betislava luluh lantak oleh bom polonium oplosan. Dampak bom itu cukup parah. Ia bahkan menyapu bersih hara dari tanah Lobsterdam. Tak satu pohon pun bisa tumbuh lagi. Tak ada pohon, artinya tak ada kertas yang bisa dibuat; dan tak ada kertas artinya tak ada buku-buku baru. Di sisi lain, ancaman kelaparan terus menjepit rakyat Lobsterdam. Demi tetap bisa makan, barang apa pun mereka tumbuk dan blender. Mereka tak punya apa-apa selain buku yang berlimpah ruah di dalam ruangan, terlindung dari efek kerusakan tanah. Sejak itulah rakyat Lobsterdam sepakat untuk mengandalkan sari buku sebagai makanan pokok.
Metaliquerasi lekas dialihfungsikan menjadi pusat penggerusan buku terbesar se-Asosisuper. Perpustakaan yang penuh buku kini sarat lemari, berpendingin maupun tanpa pendingin, semua berisi kotak-kotak adonan sari buku dan botol-botol jus buku. Sebagai bahan mentah, buku-buku masih ada di sana, tetapi tersimpan rapi di gudang saja, tidak untuk diperlihatkan dan dipegang-pegang khalayak.
Meja-meja panjang yang tadinya tempat membaca kini menjadi restoran dan kedai minum. Unit-unit baru bermunculan seperti lumut di atas batu. Departemen Racik-Sendiri-Jus-Bukumu, yang mengajak para pembaca buku memilih dua hingga lima buku kesukaan mereka, lalu menakar dan meracik semuanya menjadi jus. Program Buat-Sendiri-Klub-Bukumu. Acara-acara peluncuran sari buku juga disemarakkan aksi para penulis yang selalu meminum jus buku mereka sendiri pada akhir acara.
Adaptasi Metaliquerasi berlangsung selama sekitar dua tahun. Dalam kurun itu, banyak karyawan yang berangsur tak betah. Adriatami juga. Namun, ketika karyawan lain berpatah arang dan mengundurkan diri, Adriatami terus bertahan, walaupun sambil terus menggerutu. Gerutu itu terbawa sampai ke rumah, di mana dia mengorbankan satu demi satu buku di rumahnya untuk digerus. Dalam beberapa bulan saja, seluruh buku di rumah keluarga Premis sudah habis membubuk, tuntas masuk ke perut masing-masing dan berakhir sebagai tinja.
Karena tak ada lagi yang tersisa, Collophone dan Adriatami harus memutar otak agar stok buku untuk makanan sehari-hari tetap aman. Collophone jarang pulang karena terlalu sibuk mengabdi untuk Asosisuper, sehingga otomatis jarang membawakan buku-buku. Praktis, hanya Adriatami yang bisa diandalkan untuk memberi makan keluarga. Dia mengandalkan lembur dari pekerjaannya yang rangkap dua; kali ini sebagai kurator kombinasi jus untuk ditawarkan kepada tiap kategori metabolisme tubuh, dan sebagai petugas yang membuat katalog berisi jus-jus baru dan manfaat masing-masing. Lembur, karena gajinya tentu masih sama saja. Bahkan cenderung turun, apabila memperhitungkan inflasi.
Adriatami menjadi jauh lebih pelit, begitu ketat berhemat. Di mata keempat anaknya, Adriatami telah berubah dari ibu dengan pekerjaan mentereng menjadi penguasa otoriter yang selalu memaksakan buku-buku yang itu-itu saja.
Premis merasa dirinya dahan retak yang lupa siapa pohonnya. Dia tak tahu lagi buku-buku apa yang sungguh-sungguh dia butuhkan, buku-buku apa yang dia inginkan. Di Metaliquerasi, dia boleh saja menyuapkan jus Matt Haig, Chimamanda Ngozi Adichie, Ocean Vuong, atau Cho Nam-joo kepada para peserta klub buku yang dia ampu, tetapi di rumah, kerongkongannya melulu dicekik serpihan buku Gabriel Garcia Marquez dan Paulo Coelho—penulis kesukaan ibunya. Sesekali dia menyelundupkan sari buku Alejandro Zambra atau Italo Calvino, tetapi tetap saja sari yang dominan selalu Gabo lagi, Coelho lagi. Premis betul-betul jemu. Dia tak tahu harus mencurahkan perasaan ke mana. Kedua adiknya, Klimaks dan Protagonis, masih bersekolah dan belum banyak mencicipi getir kehidupan. Maka Premis mulai jarang pulang. Dia mendekam di pojok Metaliquerasi sampai malam—kadang duduk di balkon, kadang memanjat pohon palsu di belakang—sambil berharap hidupnya bisa tiba-tiba berubah.
Bencana bom sudah lewat beberapa lama, tetapi tetap tidak ada perubahan. Premis masih bekerja di Metaliquerasi. Begitu juga Adriatami, Sinopsis, dan sekarang Klimaks juga.
Duduk di dalam bus gratis khusus karyawan Metaliquerasi, Premis mulai bersiasat untuk minggat. Pagi itu berjalan lambat. Premis turun di bloknya tepat waktu, mengisi daftar hadir, dan mengambil jus pagi yang selalu disediakan setiap hari Rabu dan Sabtu—hari-hari khusus diskusi klub buku.
Premis selalu menyukai jus pagi karena dia bebas memilih buku untuk diminum sepanjang hari melelahkan itu. Apa pun bukunya, berapa pun; sesanggup perutnya. Dia bisa memilih buku teka-teki silang bekas bersampul artis perempuan era 80-an, atau buku sastra yang kalimat-kalimatnya jarang bertitik. Premis sudah lama ingin mencicipi karya Clarissa Goenawan. Tanpa ragu, dia mencomot The Perfect World of Miwako Sumida. Dicampur boba, ternyata enak juga. Siang nanti, mungkin dia ingin meminum Watersong. Premis meremas-remas gelas jusnya sambil menengok jadwal.
Hari itu ada dua klub yang harus dia ampu sebelum jam makan siang. Setelahnya ada empat klub sampai jam pulang. Semua nama klub tak asing di matanya, kecuali satu klub, yang jadwalnya diletakkan paling belakang. Klub itu ternyata baru terbentuk sepekan berselang. Mereka rata-rata bergiat dengan buku masak dan buku-buku kuliner. Fasilitatornya bernama Zermatt Gavorniak. Premis pernah melihat beberapa fotonya di media sosial, pernah juga melihatnya sekilas dalam beberapa dokumenter kuliner. Di mata Premis, Zermatt pemuda sombong; tak ubahnya dengan eksmud-eksmud dari klub buku bisnis yang kerap diceritakan abangnya ketika mereka bertemu.
Premis menghela napas dan bergerak menuju petak tempat klub buku pertama akan berdiskusi. Di sana sudah duduk beberapa anak muda kikuk.
Semoga ini bukan hari yang buruk, pikirnya.
*** Bersambung ***
___________________________
Catatan editor: sebagian teks pada cerita ini dialihmediakan menjadi audio. Putar media untuk mendapatkan kisah secara utuh.
Ikuti cerita bersambung Metaliquerasi karya Triskaidekaman di sini:
Metaliquerasi. Ilustrasi: Dian Intan/Tim Kreatif kumparan
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten