2018, Konflik Manusia dengan Satwa Liar di Riau Meningkat Tajam

Trubus ID
Media online kekinian yang menyajikan informasi seputar gaya hidup hijau yang ramah lingkungan dan peristiwa terkait alam, lingkungan, sosial, serta pemberdayaan masyarakat untuk bumi kita yang lebih hijau dan lestari
Konten dari Pengguna
26 November 2018 14:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Trubus ID tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Menurut Kepala BBKSDA Riau Suharyono, tahun sebelumnya tidak sampai jumlah konflik tidak sampai segitu. Konflik ini disebutnya terjadi di berbagai kabupaten dan kota yang ada.
"Mulai dari harimau, beruang, buaya hingga gajah," kata Suharyono, Rabu (21/11/2018) siang.
Dia menjelaskan, konflik paling tinggi terjadi  di Kabupaten Kampar. Pihaknya mencacat ada tujuh kasus , seperti konflik dengan Monyet Ekor Panjang (Macaca Fascicularis), macan dahan, beruang madu, dan Gajah Sumatra (Elephas Maximus Sumatranus).
Kemudian disusul dengan Kabupaten Siak serta Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing). Masing-masing ada 6 kasus. "Kalau di Kuansing itu Buaya Sinyulong, Ungko dan Siamang," katanya.
Jumlah ini kemudian disusul oleh Kabupaten Bengkalis sebanyak 5 kasus. Di mana, beruang madu dan gajah sering muncul bahkan konflik dengan warga disana. Selanjutnya Kabupaten Pelalawan ada 4 kasus. Terdiri dari Harimau Sumatera, Buaya Muara, Beruang Madu dan Gajah Sumatera.
ADVERTISEMENT
"Di Inhil ada 3 kasus diantaranya harimau Sumatra, buaya muara dan beruang madu. Bukan hanya di kabupaten saja, tetapi di Kota Pekanbaru juga ada konflik dengan satwa. Tercatat ada 2 yaitu dengan gajah," katanya.
Terakhir ada di Kepulauan Meranti dan Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu). Masing-masing hanya 1 konflik. Di Meranti dengan buaya muara sedangkan di Inhu dengan harimau Sumatera.
Tingginya angka konflik manusia dengan satwa dilindungi ini disebabkan beberapa faktor. Diantaranya makin sempitnya habitat mereka. Di mana, banyak masyarakat yang mengalihfungsikan hutan menjadi perkebunan.
"Hewan-hewan itu merasa wilayah jelajahnya sempit. Apalagi perburuan terhadap pakan satwa liar juga banyak, sehingga terkadang satwa itu keluar habitatnya untuk mencari makan," sebutnya.
Ditambah lagi, banyaknya masyarakat yang memburu babi dan memasang jerat mengakibatkan kurangnya pakan para satwa tersebut. 
ADVERTISEMENT
"Contohnya saja banyak pemburu memasang jerat babi. Babi salah satu sumber makanan harimau," ungkap mantan Kepala BBKSDA Bali tersebut.
Meski begitu, BBKSDA Riau tak tinggal diam. Pihaknya kata Suharyono, sudah melakukan berbagai cara untuk menekan angka konflik. Di antaranya melakukan sosialisasi dengan masyarakat yang tinggal dekat hutan. 
"Masyarakat diminta untuk tidak memasang jerat, tidak membuka perkebunan sawit di hutan dan tidak mengganggu habitat para satwa tersebut," jelasnya.
Sementara itu, jika terjadi konflik, masyarakat juga bisa menghubungi BBKSDA Riau. Dengan cara menghubungi nomor telepon 081374742981. 
"Kita akan kirim personel yang paling dekat dengan lokasi temuan satwa liar dan jika terjadi konflik dengan manusia," kata dia.
Selain sosialisasi, BBKSDA Riau juga berkoordinasi dengan instansi terkait. Seperti TNI, Polri, dan aparat pemerintah setempat. "Kita melakukan koordinasi agar penanganan konflik bisa lebih cepat dan tepat sasaran," ucapnya.
ADVERTISEMENT
"Biasanya jika sudah terjadi konflik, satwa itu akan digiring ke habitat asal. Tetapi jika tidak bisa maka akan kita lakukan evakuasi," pungkasnya. (M Syukur)