Menelisik Permasalahan Sampah Plastik yang Makin Pelik

Trubus ID
Media online kekinian yang menyajikan informasi seputar gaya hidup hijau yang ramah lingkungan dan peristiwa terkait alam, lingkungan, sosial, serta pemberdayaan masyarakat untuk bumi kita yang lebih hijau dan lestari
Konten dari Pengguna
15 Januari 2019 0:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Trubus ID tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sampah plastik tidak hanya menjadi masalah di perkotaan, namun juga di lautan. Dampak negatif sampah plastik tidak hanya merusak kesehatan manusia, membunuh berbagai hewan, tetapi juga merusak lingkungan secara sistematis. Karena itu, jika tidak dikelola secara serius, pencemaran sampah plastik tentunya akan sangat berbahaya bagi kelanjutan bumi itu sendiri.
Pencemaran Plastik di Dunia
Kota-kota di dunia menghasilkan sampah plastik hingga 1,3 miliar ton setiap tahun. Bahkan menurut perkiraan Bank Dunia, jumlah ini bertambah hingga 2,2 miliar ton pada tahun 2025 mendatang. Selama lebih dari 50 tahun, produksi dan konsumsi plastik global terus meningkat.
Sementara itu di lautan, Sekitar 10 hingga 20 juta ton sampah plastik mencemari setiap tahun. Sebuah studi baru memperkirakan, sekitar 5 triliun partikel plastik dengan berat total 268.940 ton mengambang di lautan saat ini. Sampah plastik menghasilkan kerugian sekitar 13 miliar dolar setiap tahun, mulai dari kerusakan ekosistem laut hingga wisata alam.
ADVERTISEMENT
Studi yang dilakukan peneliti di Pusat Nasional UC Santa Barbara yang diterbitkan dalam jurnal Science menyebut, 8 juta metrik ton sampah plastik mencemari laut setiap tahun. Pada tahun 2025, input tahunan diperkirakan mencapai 2 kali lipat lebih besar lagi.
Sampah Plastik di Indonesia
Indonesia memiliki sebuah prestasi yang tidak bisa dibanggakan jika dikaitkan dengan sampah plastik. Yah, dalam daftar negara penyumbang sampah plastik di dunia, Indonesia duduk di peringkat ke dua sebagai negara dengan sampah terbanyak yang dibuang ke laut.
Beberapa waktu silam, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti mengatakan, berdasarkan data dari Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS), sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun di mana sebanyak 3,2 juta ton merupakan sampah plastik yang dibuang ke laut.
ADVERTISEMENT
Menurut sumber yang sama, lanjut dia, kantong plastik yang terbuang ke lingkungan sebanyak 10 milar lembar per tahun atau sebanyak 85.000 ton kantong plastik.
Sementara itu, berdasarkan data World Economic Forum 2016, dari seluruh plastik yang dihasilkan tersebut, hanya sekitar 2 persen yang didaur ulang secara efektif, 14 persen didaur ulang, 14 persen dibakar, 4 persen menumpuk di TPA/TPS, dan 32 persen lainnya mengotori lingkungan.
Indonesia saat ini menempati peringkat kedua penyumbang sampah plastik terbesar ke lautan. Apabila tidak segera ditanggulangi, World Economic Forum memprediksi di tahun 2050 akan lebih banyak sampah plastik di laut dibandingkan ikan.
Penanganan Sampah Plastik
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~End Page~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Secara umum pola penanganan sampah di Indonesia hanya melalui tahapan paling sederhana, yakni mengumpulkan, mengangkut, kemudian membuang. Pola penanganan sampah tersebut telah berlangsung puluhan tahun, dan menjadi kebijakan umum yang dilaksanakan pemerintah.
ADVERTISEMENT
"Pola pengelolaan sampah tersebut berjalan karena dilandasi oleh mindset bahwa sampah adalah sesuatu yang tidak berguna sehingga harus dibuang," ujar Kepala Biro Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian LHK) Djati Witjaksono Hadi beberapa waktu lalu.
Dengan demikian, pendekatan yang dijalankan adalah pendekatan melalui penyelesaian di tempat pemrosesan akhir. Djati menerangkan, amanat utama Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yaitu mengubah paradigma pengelolaan sampah. 
Adapun pengubahan paradigma tersebut dari mengumpulkan, mengangkut, dan membuang, menjadi pengurangan penggunaan material yang berpotensi jadi sampah (reduce) dan daur ulang sumber daya (recycle).
Pendekatan yang tepat menggantikan atau mengombinasikan penyelesaian di tempat pemrosesan akhir yang selama ini dijalankan adalah dengan mengimplementasikan pendekatan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle), tanggung jawab produsen diperluas (extended producer responsibility atau EPR).
ADVERTISEMENT
Polemik Larangan penggunaan kantong plastik
Salah satu langkah mengurangi atau reduce sampah plastik di Indonesia adalah dengan menerapkan larangan penggunaan kantong plastik. Beberapa kota di Indonesia sendiri sudah mulai menerapkan aturan ini. Metode pembayaran Insentif pada pemerintah daerah yang mengeluarkan Perda larangan kantong plastik pun dikeluarkan. Bahkan denda kepada ritel yang menggunakan kantong plastik juga akan diberlakukan.
Denda pada Ritel Langgar KUH Perdata
Pengenaan sanksi denda kepada toko ritel sebenarnya juga melanggar KUH Perdata, yang posisinya lebih tinggi dibanding Perda. Dalam aturan hukum praktek jual-beli pada Pasal 612 dan Pasal 1320 KUH Perdata menjadi kewajiban toko modern atau ritel dalam melayani pembelinya harus dengan penyerahan barang secara lengkap bersama kantong belanja karena konsumen telah membayar barang berikut biaya kantong belanjanya.
ADVERTISEMENT
"Saat ini belum ada yang bisa menemukan pengganti kantong plastik, sebagai alat membawa belanjaan," ujar Rahadiansyah, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti.
kendala utama ialah mengubah perilaku kebiasaan penggunaan kantong plastik di masyarakat. Utamanya, bagi pedagang pasar, untuk itu tanggung jawab pemerintah adalah memberikan pemahaman yang massif, konsisten, dan tepat sasaran.
"Kalau pedagang menengah bawah di pasar jika diberikan sanksi berat denda sampai Rp25 juta kan menjadi pertanyaan layak tidaknya. Pengguna kantung plastik bukan perilaku kejahatan yang mesti diganjar dengan denda puluhan juta rupiah," ujarnya.
Solusi untuk pedagang harus konkret. Misalnya saja, pedagang pasar yang setiap harinya bergantung pada penggunaan kantong plastik harus jelas pengganti plastik itu, kebijakan ini jangan sampai justru memberikan beban baru bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT
"Ada kontrol pemerintah pusat dalam pengurangan sampah plastik. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) seharusnya mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) untuk menyelaraskan sikap pemerintah," terangnya lagi.
Sementara yang terjadi saat ini, aturan pelarangan penggunaan  kantong plastik di daerah  hanya berdasarkan peraturan Gubernur, Walikota, atau Bupati. Alhasil, konsumen menjadi bingung terhadap  peraturan yang berlaku.
Sejumlah daerah yang telah memberlakukan kebijakan ini di antaranya Banjarmasin dan Balikpapan,  Bogor, Bandung dan menyusul DKI Jakarta yang  mulai diberlakukan pada Januari 2019 ini.
"Pemerintah daerah terlalu prematur mengambil kebijakan dalam menanggulangi sampah plastik, sebab sampai hari ini belum ada hasil penelitian resmi yang menyatakan bahwa ada plastik yang berkualitas ramah lingkungan," terangnya lagi.
ADVERTISEMENT
Asosiasi Tolak Insentif larangan plastik
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~End Page~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sementara itu, terkait regulasi pembayaran insentif pada Pemda terkait pelarangan kantong plastik juga banyak mendapat penolakan dari berbagai pihak, Suhat Miyarso, Wakil Ketua Asosiasi Aromatik dan Plastik lndonesia (INAPLAS) mengatakan, insentif pemerintah tersebut justru akan membuat pemda menjadi tidak kreatif dalam mencari solusi penanganan sampah termasuk sampah plastik. Ia bahkan menyebut, insentif tersebut tidak akan menyelesaikan masalah sampah plastik di negeri ini.
Suhat menjelaskan, plastik itu sebenarnya bermanfaat buat kehidupan. Ketika sudah menjadi sampah, dan mengganggu lingkungan, maka yang harus dibenahi adalah manajemen sampahnya. Bukan mematikan industri plastiknya, dengan menerbitkan perda larangan plastik.
"Saya (INAPLAS) mengusulkan agar insentif tersebut dicabut dan diberikan kepada pemerintah daerah yang memilih meningkatkan kinerja pengelolaan sampah, sesuai Undang Undang Pengelolaan Sampah nomor 18 tahun 2008, melalui metode pilah, angkut, olah dan jual (Manajemen Sampah Zero), tanpa memberlakukan larangan pemakaian kantong belanja plastik," jelasnya saat diwawancara Trubus.id belum lama ini.
ADVERTISEMENT
Ia menambahkan, dengan metode ini semua sampah dapat ditangani seluruhnya langsung di sumbernya, sehingga tidak di perlukan tipping fee dan tempat pemrosesan akhir. Sejumlah pemda tersebut telah bekerja lebih keras dan lebih cerdas sehingga pantas mendapat insentif.
Ia menambahkan, sejumlah Pemerintah Daerah memilih untuk meningkatkan kinerja pengelolaan sampah dari pada melarang penggunaan kantong belanja plastik. Pemerintah daerah itu diantaranya adalah Cirebon, Cilegon, Wonosobo, Tangerang, Banyumas, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Pekan Baru, Rokan Hilir, TapanuliTengah dan Natuna.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI), Christine Halim. Ia menerangkan, seharusnya pemerintah bisa menyontoh program waste management modern yang dilakukan sejumlah negara, seperti Singapura, Hongkong dan lainnya, ketimbang melarang penggunaan kantong plastik.
ADVERTISEMENT
Menurutnya jika merujuk pada pengolahan sampah di sejumlah negara tersebut, mereka tidak dipusingkan dengan tumpukan sampah, termasuk sampah plastik yang sampai terbawa ke laut. Ketimbang memberikan insentif yang membuat pemda tidak kreatif, akan jauh lebih baik, insentif tersebut dialihkan untuk membuat sistem pengolahan sampah yang modern.
Saut Marpaung, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Daur Ulang Plastik Indonesia (APDUPI) menambahkan, jika tujuan utama regulasi ini untuk mencegah kerusakan lingkungan hidup, maka yang terpenting adalah masyarakat perlu mendapat edukasi kuat untuk memilah sampah plastik di rumah tangga, sebelum dikirim ke TPA dan tidak membuang sampah plastik sembarangan.
"Artinya, peran masyarakat sangat penting dalam mengurangi sampah plastik," tegasnya kepada Trubus.id belum lama ini.
Sampah plastik dan edukasi masyarakat
ADVERTISEMENT
Belum adanya sistem tata kelola daur ulang plastik menjadi salah penyebab permasalahan sampah plastik di Indonesia. Untuk itu pemangku kepentingan, baik swasta maupun pemerintah harus terus giat mengedukasi masyarakat terkait dampak positif dari sampah plastik
Direktur Industri Kimia Hilir Ditjen Industri Kimia Tekstil dan Aneka Kemenperin, Taufik Bawazier menerangkan, hal yang paling dibutuhkan untuk mengurangi sampah plastik adalah adanya peran masyarakat. Untuk itu sangat penting masyarakat mendapat edukasi yang kuat untuk memilah-milah sampah plastik di rumah tangga sebelum dikirim ke TPA dan tidak membuang sampah plastik sembarangan.
Dalam pengelolaan sampah, baik masyarakat, industri daur ulang dan pemulung yang biasa memungut sampah plastik juga perlu dibina untuk bisa memilah-milah sampah plastik. Taufik menerangkan, di balik sampah plastik ada nilai ekonomi yang bisa membantu masyarakat juga. Untuk itu menggapi hal itu, mindset yang melihat plastik sebagai sampah harus di ubah menjadi melihat plastik sebagai bahan baku.
ADVERTISEMENT
Plastik-plastik yang diklaim sebagai penyebab kontribusi sampah di laut bisa diambil dan dinilai tambahkan di industri daur ulang, sehingga bisa menciptakan daya saing industri yang kebih kuat. "Jadi, mindset kita harus melihat plastik sebagai bahan baku. Ini perlu edukasi ke semua lapisan masyarakat," terangnya kepada Trubus.id.
Bahan baku plastik (scrap) menyumbang devisa mencapai US$ 40 juta pada 2017. Jadi kalau dikatakan Indonesia impor scrap US$ 50 juta, namun jika memanfaatkan sampah plastik Indonesia justru bisa ekspor US$ 90 juta.
"Saya kira teknologi yang perlu dikembangkan adalah pengolahan hasil sampah yang ada di lingkungan perlu ditingkatkan," tuturnya lagi.
Plastik ramah lingkungan
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~End Page~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Berbagai polemik penanganan sampah mengemuka. Namun menurut Sugianto Tandio, Direktur teknik produsen plastik ramah lingkungan sekaligus Co Founder dan Chairman, Greenhope, jawaban dari semua masalah sampah plastik itu adalah bagaimana sampah plastik itu dapat terurai.
ADVERTISEMENT
Ia menerangkan, kampanye 3R yang dilakukan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia selama 70 tahun belakangan ini tidak menyelesaikan masalah. Ia mengakui, kampanye tersebut cukup bagus, namun bukan sebuah solusi.
Ia menjelaskan, menurut penelitiannya, setelah di 3R dilakukan beberapa kali, sampah yang dihasilkan masih tetap akan berupa plastik yang hanya akan terurai selama 1000 tahun lamanya. Hal ini lah yang menurutnya jadi tidak menyelesaikan, namun hanya menunda masalah.
Menurutnya, harus ada 1 langkah lagi yang dilakukan sehingga 3R berubah menjadi 4R agar masalah sampah bisa diatasi. R ke empat itu adalah Return to earth atau dikembalikan ke bumi alias terurai sempurna. Dengan begitu, semua sampah plastik yang dibuang di TPA harus dapat terurai.
ADVERTISEMENT
Terkait larangan penggunaan plastik Sugianto menjelaskan, larangan itu sifatnya masih tentang merubah prilaku. Pengurangan penggunaan plastik dengan menggantikan tas belanja juga dinilainya bukan jalan keluar.
Untuk itu, guna mencari jalan keluar permasalahan ini harus dilihat secara holistik. Dia mencontohkan, negara di Eropa dan Amerika yang sebelumnya mengeluarkan regulasi terkait tas belanja kini sudah melakukan evaluasi. Pasalnya, tas belanja, berapa kali dipakaipun pada akhirnya kembali ke tempat sampah. Kondisi ini yang akhirnya membuat jumlah sampah plastik justru bertambah, bukannya berkurang.
Karena itu, salah satu langkah tercepat menangani masalah ini adalah dengan menggunakan plastik ramah lingkungan yang bisa cepat terurai. Setelah menggunakan plastik yang bisa terurai, langkah selanjutnya adalah mengubah prilaku masyarakat agar membuang sampah ke tempatnya sehingga sampah-sampah itu bermuara di TPA agar bisa diurai.
ADVERTISEMENT
Ia memaparkan, ada tiga jenis plastik yang bisa terurai sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI). Yang pertama bioplastik, biodegradable, dan oxobiodegradle.
Tapi plastik jenis Bioplastik dan Biodigradable dari nabati harganya tiga sampai lima kali lebih mahal dari plastik pada umumnya. Sementara jenis oxobiodigradable harganya masih setara seperti plastik biasa. Kondisi ini tentunya berpengaruh secara ekonomi di Indonesia.
"Kita punya pendapatan negara/perkapita Indonesia cuma 3600 dolar/per orang per tahun , di eropa AS di atas 50 ribu. Masyarakat mereka sudah berpikir, kalau plastik dibakar semua tidak ada yang peduli tidak peduli terurai semua," terangnya.
Untuk itu ia menyebut, salah satu solusi mendapatkan plastik yang dapat terurai sesuai SNI adalah plastik jenis Oxobiodigradable.
ADVERTISEMENT
"Tas belanja biasa rata-rata 200 / pcs yang biasa yang terurai , kalau oxo harganya 200 tapi terurai, dengan jangka 2-5 tahun. Kalau nabati 3 sampai lima kali lipat (lebih cepat) terurai tapi tinggi (harga). Terurai tergantung mikroba ecoplast sehingga lebih cepat terurai. Nabati jagung, tenologi Eropa. Plastik nabati yang dari eropa (hati hati) tidak terurai di TPA. Baru terurai di Industri kompos yang hanya ada di Eropa. Sementara di Indonesia belum ada," terangnya lagi. [RN]