Perdagangan Satwa Bisa Dijerat Pidana Pencucian Uang, Begini Penjelasannya

Trubus ID
Media online kekinian yang menyajikan informasi seputar gaya hidup hijau yang ramah lingkungan dan peristiwa terkait alam, lingkungan, sosial, serta pemberdayaan masyarakat untuk bumi kita yang lebih hijau dan lestari
Konten dari Pengguna
18 September 2018 8:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Trubus ID tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Trubus.id -- Direktur Penegakan Hukum Pidana  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Yazid Nurhuda, mengatakan pelaku perdagangan satwa liar dilindungi dapat dituntut hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), selain dituntut tindak pidana sehingga memberikan efek jera.
ADVERTISEMENT
"Nilai ekonomi satwa liar yang dilindungi sangat tinggi, sehingga membuat oknum yang tidak bertanggung jawab dengan segala cara memperjualbelikan satwa liar tersebut," kata Yazid di Pontianak, Senin (18/9).
Yazid menjelaskan harus ada pemahaman yang bersinergi antara penyidik dan para penuntut umum sehingga dakwaannya tindak pidana kepada pelaku menjadi tinggi dan juga didakwa TPPU agar memberikan efek jera.
Ia berharap, dengan diselenggarakannya pelatihan peningkatan kapasitas penuntut umum dalam penanganan perkara tindak pidana satwa liar yang diselenggarakan oleh LSM bekerja sama dengan instansi terkait tersebut, maka lembaga swadaya masyarakat juga bisa memberikan pendampingan saat proses hukum terhadap pelaku perdagangan satwa liar.
ADVERTISEMENT
Baca Lainnya: Bangkai Orangutan Ditemukan Tanpa Kepala, Mengapung di Sungai Kalahien
Hal senada juga diakui oleh Kasatgas SDA Lintas Negara Jampidum Kejagung, Ricardo Sitinjak.
"Dengan persamaan persepsi tersebut kami harapkan dapat dibangun dengan diselenggarakannya pelatihan peningkatan kapasitas penuntut umum dalam penanganan perkara tindak pidana satwa liar," katanya.
 Ia juga berharap, dengan tuntutan tinggi terhadap para pelaku perdagangan satwa liar, memberikan efek jera baik kepada pelaku maupun kepada masyarakat lain, sehingga seminimal mungkin mencegah perdagangan satwa liar dilindungi tersebut.
 Berdasarkan kajian IAR Indonesia terhadap 299 perkara tindak pidana satwa liar di Indonesia, hampir seluruh putusan, hakim memutuskan tidak terlalu berbeda dari tuntutan jaksa.
ADVERTISEMENT
Baca Lainnya: Di Aceh, Jumlah Konflik Orangutan Dengan Manusia di Posisi Tertinggi Kedua Setelah Gajah
Rata-rata tuntutan jaksa juga jauh lebih rendah dari ancaman maksimal berdasarkan UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, misalnya, di Kalbar dari 11 kasus terakhir rata-rata tuntutan penjara hanya delapan bulan, dan denda 15 juta.
Sebagai contoh kasus perdagangan dua individu orangutan oleh sindikat di wilayah hukum Kalbar Agustus 2017. Jaksa hanya menuntut sembilan bulan penjara dengan denda Rp5 juta, dan subsider dua bulan penjara. Sehingga hakim juga memberikan putusan rendah, yakni lima bulan penjara dengan denda Rp1 juta, dan subsider satu bulan penjara.
ADVERTISEMENT
Sementara itu kasus perdagangan enam individu kukang di wilayah hukum Sumatera Barat, 4 September 2017. Pada perkara ini jaksa menuntut tiga tahun penjara dengan denda maksimal, yaitu Rp100 juta, dan subsider enam bulan.
Terbukti hakim mempunyai keyakinan lebih untuk memutuskan penjatuhan hukuman di atas tuntutan jaksa (ultra petita), yakni menjadi tiga tahun enam bulan penjara, denda Rp100 juta, dan subsider enam bulan penjara, atau peran jaksa sebagai aparat penegak hukum sangat strategis dan dapat membantu dalam upaya perlindungan satwa dari ancaman kepunahan melalui penuntutan dengan peningkatan mendekati angka ancaman maksimal. [KW]