Mengupas 'Obsesi' ASEAN terhadap Perdagangan Bebas (dan Ujung Konsekuensinya)

Tsabita Prameswari
Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
15 Juni 2022 14:24 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tsabita Prameswari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pertemuan Konsil Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Ke-18 di Nonthaburi, Thailand pada tahun 2019 silam (Photo: VNA).
zoom-in-whitePerbesar
Pertemuan Konsil Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Ke-18 di Nonthaburi, Thailand pada tahun 2019 silam (Photo: VNA).
ADVERTISEMENT
Secara kronologis, langkah-langkah awal hubungan ekonomi oleh lembaga regional ASEAN dapat ditelusuri dari upaya penjajakan kerja sama pada 1970-an dalam relasi ekspor dan impor barang, kemudian meluas menjadi perdagangan jasa, keterbukaan terhadap investasi asing, hingga kooperasi sumber daya manusia. Mengingat konteks sosiopolitik kala itu menempatkan kawasan Asia Tenggara sebagai area kontestasi pengaruh akibat bipolaritas kekuatan dunia, opsi liberalisasi perdagangan sebagai bentuk kolaborasi ekonomi yang dipromosikan oleh proponen kapitalisme mungkin menjadi tidak terelakkan. Namun, lima dekade berlalu, ASEAN masih konsisten mengidealisasi perdagangan bebas sebagai tangga menuju integrasi ekonomi. Hal tersebut dapat dijumpai dalam berbagai kesepakatan ekonomi yang berlaku, dari ASEAN Free Trade Area (AFTA) hingga cetak biru terbaru Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2025 dan kerangka paling aktual Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Tulisan ini selanjutnya mencoba memahami “obsesi” ASEAN terhadap perdagangan bebas dan berargumentasi bahwa orientasi pembangunan dan dinamika ekonomi politik domestik merupakan pendorong utama dalam pengambilan keputusan yang demikian.
ADVERTISEMENT
Evaluasi atas kinerja dan trayektori yang telah dilakukan dalam inisiasi tertentu merupakan hal yang krusial; dan demikian pula yang dilakukan oleh ASEAN. Meskipun demikian, penilaian yang dilakukan oleh ASEAN cenderung terbatas pada evaluasi yang menguantifikasi hasil semata dan mengesampingkan pertimbangan kualitas. Hal tersebut dapat ditemukan misalnya dalam laporan progres MEA terakhir pada tahun 2013 yang berfokus pada penyajian hasil agregat, alih-alih dikontekstualisasi dengan kondisi masing-masing negara. Perilaku yang demikian mengindikasikan bahwa ASEAN masih berfokus pada pembangunan berorientasi pertumbuhan, yakni pembangunan yang menitikberatkan akumulasi modal dan restrukturisasi ekonomi berdasarkan asas neoliberalisme (Roy, 2016).
Orientasi pembangunan yang demikian selanjutnya menjadi justifikasi atas persistensi untuk menciptakan pasar yang bebas (laissez-faire), desentralistik, dan kompetitif; tetapi tidak sensitif terhadap kondisi masyarakat. Pasalnya, model pembangunan tersebut mengasumsikan jalur pembangunan yang linear, juga menganggap bahwa dampak yang diakibatkannya akan dirasakan setiap orang secara proporsional—padahal pembangunan perlu bersifat fleksibel dan konsekuensi dari pembangunan tersebut juga cenderung berat sebelah (Noxolo, 2016). Hal tersebut terefleksi dalam kontradiksi kesejahteraan masyarakat di Asia Tenggara, spesifiknya dalam kasus keberhasilan program pengentasan kemiskinan, yang ternyata juga diikuti dengan tren peningkatan disparitas di Asia Tenggara (ESCAP, 2022). Artinya, sekalipun pendapatan masyarakat telah mencapai standar tertentu, akses terhadap institusi pendidikan, jasa kesehatan, bahkan hak politis masih terbatas sehingga keadilan masih belum teraih (Hwok-Aun & Choong, 2021).
ADVERTISEMENT
Selain itu, pembangunan yang hanya berfokus pada pertambahan jumlah pendapatan saja juga bertendensi mengabaikan upaya mengangkat posisi tawar pasar Asia Tenggara dalam rantai nilai global. Dalam sistem produksi global tersebut, sumber daya dan hasil produksi yang ditawarkan oleh Asia Tenggara masih menempati posisi subordinat, sebab daya tawarnya masih terbatas pada buruh upah rendah dan industri ekstraktif dengan nilai tambah yang rendah pula (Carroll et al., 2020). Tak hanya itu, tanpa adanya fokus pembangunan yang melampaui pengejaran penghasilan, risiko berlakunya logika kompetisi ke bawah (race to the bottom) untuk berlomba-lomba melonggarkan regulasi atas kesejahteraan pekerja dan proteksi ekologis menjadi semakin tinggi, yang selanjutnya tentu akan mengekspos masyarakat kelas bawah pada kerentanan (Phillips, 2017).
ADVERTISEMENT
Preferensi kebijakan perdagangan bebas oleh ASEAN selanjutnya juga dapat dipahami dari kacamata dinamika ekonomi politik di masing-masing negara anggota. Menurut McKinnon (2018), pembangunan ekonomi di Asia Tenggara sejatinya adalah tentang kompetisi kekuasaan politik. Meskipun demikian, dalam realitasnya, penyesuaian-penyesuaian ekonomi di kawasan seringkali dibingkai sebagai kebijakan yang bersifat apolitis. Hal tersebut dapat ditemukan misalnya dalam cetak biru MEA 2025 yang menyebutkan secara eksplisit bahwa pilar ekonomi sudah seyogyanya ditempatkan secara terpisah dan bersifat vakum dari konteks politik maupun kultural (Juego, 2015). Pemikiran yang demikian cenderung menafikan realitas bahwa pertimbangan politik seperti opini publik, tekanan kelompok suprastruktur, kontestasi kepentingan antara aktor-aktor dalam negeri, serta pengaruh eksternal sebenarnya andil pula dalam memproduksi keputusan ekonomi di tingkat regional. Terlebih dalam konteks negara-negara ASEAN yang pembangunan ekonominya biasanya diinisiasi oleh pemerintah, dan dengan keadaan tersebut membuka peluang menghidupkan harmoni antara aliansi bisnis dan politik (Jones, 2016).
ADVERTISEMENT
Kedekatan kedua aktor tersebut lantas berimplikasi pada penyesuaian haluan kebijakan ekonomi terhadap kepentingan-kepentingan sektor swasta, alih-alih berfokus pada perwujudan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat (Jones, 2016). Contoh empiris dari pola tersebut dapat ditemukan dalam pengalaman Indonesia, yakni ketika Undang-undang (UU) tentang Cipta Kerja yang bertendensi menguntungkan komunitas pemegang kapital sekaligus memangkas hak-hak pekerja disahkan oleh otoritas. Pola patronase yang demikian kemudian melanggengkan dan menjadi wadah konsolidasi bagi pihak oligarki untuk terus-menerus mengeksploitasi dan mendominasi tatanan politik serta ekonomi dalam negeri, yang selanjutnya juga memengaruhi luaran kebijakan di tataran regional melalui institusi ASEAN.
Tak dapat dimungkiri bahwa perdagangan bebas mungkin telah menuai prestasi dan berkontribusi pada perkembangan ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Meskipun demikian, perlu disadari pula bahwa konsistensi pemilihan model integrasi ekonomi yang berbasis pada liberalisasi pasar oleh ASEAN tentunya tidak langgeng semata-mata karena kesuksesannya, melainkan ditopang juga oleh prakondisi serta ide tertentu. Esai ini telah menguraikan bahwa pengambilan keputusan tersebut didorong oleh orientasi pembangunan yang terbatas pada bilangan semata, juga pembingkaian isu kebijakan ekonomi sebagai keputusan yang terpisah dari konsiderasi politik. Dengan demikian, untuk mencapai integrasi ekonomi yang berorientasi pada rakyat—sebagaimana dicita-citakan dalam rencana MEA 2025—, ASEAN perlu mengusahakan, bila perlu memprioritaskan, reorientasi model pembangunan dan penentuan keberpihakan pada masyarakat di atas kepentingan segelintir.
ADVERTISEMENT
Referensi
Carroll, T., Hameiri, S., & Jones, L. (Eds.). (2020). The Political Economy of Southeast Asia: Politics and Uneven Development under Hyperglobalisation. Springer International Publishing. https://doi.org/10.1007/978-3-030-28255-4
Hwok-Aun, L., & Choong, C. (2021). Introduction: Inequality and Exclusion in Southeast Asia. In L. Hwok-Aun & C. Choong (Eds.), Inequality and Exclusion in Southeast Asia: Old Fractures, New Frontiers (pp. 1–21). ISEAS – Yusof Ishak Institute.
Jones, L. (2016). Explaining the failure of the ASEAN economic community: The primacy of domestic political economy. The Pacific Review, 29(5), 647–670. https://doi.org/10.1080/09512748.2015.1022593
Juego, B. (2015, October 29). The Political Economy of the ASEAN Regionalisation Process. Heinrich Böll Foundation. https://www.boell.de/en/2015/10/28/political-economy-asean-regionalisation-process
McKinnon, K. (2018). What is development in Southeast Asia and who benefits? Progress, power and prosperity. In L. Law, F. Miller, & A. McGregor (Eds.), Routledge Handbook of Southeast Asian Development (1st ed., pp. 14–26). Routledge. https://doi.org/10.4324/9781315726106
ADVERTISEMENT
Noxolo, P. (2016). Postcolonial Approaches to Development. In J. Grugel & D. Hammett (Eds.), The Palgrave Handbook of International Development (pp. 41–53). Palgrave Macmillan UK. https://doi.org/10.1057/978-1-137-42724-3_3
Phillips, N. (2017). Power and inequality in the global political economy. International Affairs, 93(2), 429–444. https://doi.org/10.1093/ia/iix019
Roy, S. (2016). A critique on current paradigms of economic ‘growth’ and ‘development’ in the context of environment and sustainability issues. Consilience: The Journal of Sustainable Development, 16(1), 74–90.
The Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP). (2022). Asia and the Pacific SDG Progress Report 2022: Widening Disparities Amid Covid-19. United Nations.