Soal Gempa Lombok, 3 Bulan Lalu Prof Sarwidi Sudah Ingatkan NTB Rawan Bencana

Konten Media Partner
6 Agustus 2018 12:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Soal Gempa Lombok, 3 Bulan Lalu Prof Sarwidi Sudah Ingatkan NTB Rawan Bencana
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Profo Sarwidi saat diwawancara wartawan di Auditorium Kahar Muzakkir Kampus Terpadu UII Jalan Kaliurang, Sleman, beberapa waktu lalu. Foto : Philipus Jehamun/kumparan.com/tugujogja
ADVERTISEMENT
Tiga bulan lalu atau tepatnya pada 30 April 2018, pakar konstruksi bangunan tahan gempa UII Prof Ir H Sarwidi MSCE PhD IP-U mengingatkan bahwa Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan daerah rawan bencana, termasuk gempa. Karena itu, konstruksi bangunan dan gedung baru harus menggunakan teknologi atau desain tahan gempa untuk menekan jumlah kerusakan bangunan akibat gempa.
Peringatan itu disampaikan Prof Sarwidi dalam seminar nasional bertajuk Kegagalan Struktur Rekayasa Teknik Akibat Gempa yang diadakan oleh Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (Inkindo) Provinsi NTB sebagai rangkaian kegiatan Munas IX di Mataram, NTB dan dimuat di Harian Suara NTB, 30 April 2018.
"Tiga bulan lalu saya sudah mengingatkan bahwa NTB adalah salah satu daerah di Indonesia yang sebagian besar wilayahnya rawan bencana, termasuk gempa. Karena itu, saya mengingatkan agar konstruksi bangunan termasuk bangunan baru harus memenuhi standar kualitas tahan gempa," kata Prof Sarwidi saat dihubungi kumparan.com/tugujogja melalui telepon, Senin (6/8/2018).
ADVERTISEMENT
Prof Sarwidi yang juga merupakan Pengarah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) RI itu resij kembali mengingatkan bahwa sebagian besar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKR) adalah rawan bencana alam, termasuk gempa. Karena itu perlu ada konsep pengurangan resiko bencana (PRB) atau ancaman/kerentanan/kapasitas.
Upaya pengurangan resiko bencana itu, menurut Prof Sarwidi, dimulai dari proses membangun seperti studi/pengamatan, desain, proses konstruksi, pemakian hingga evaluasi. Dan untuk itu, perlu penelitian dan pengembangan (litbang).
Menurut Prof Sarwidi, dari pengalaman selama ini ada sejumlah hambatan mulai dari pemilik, pembangun (perencana dan konstruktif) hingga pengguna. Dan semua komponen ini saling terkait. Artinya, bila pemilik bangunan tidak menghendaki konstruksi sesuai standar tahan gempa maka tenag konstruksi tidak bisa melakukannya. Demikian pula sebaliknya, bila pengguna menghendaki namun tenaga pembangun tak mampu maka akhirnya juga tidak bisa terwujud bangunan tahan gempa.
ADVERTISEMENT
"Dan bisa juga pengguna atau pemakai bangunan bukan merupakan pemilik. Sehingga ketika pemilik membangun tak sesuai konstruksi tahan gempa maka pengguna bisa menjadi korban bila terjadi gempa. Begitu seterusnya," kata Guru Besar FTSP UII ini.
Prof Sarwidi mengigatkan agar perlu ada litbang yang menangani masalah ini untuk mengkaji apa keuntungan bangunan tahan gempa dan apakah suatu keharusan serta bagaimana keamanan bangunan bagi penghuni atau penggunanya.
Isu bangunan tahan gempa sudah lama disuarakan Prof Sarwidi. Bahkan tidak sekadar memberikan gagasan/ide, namun praktik langsung dengan menjadi konsultan bahkan sebagai pelaksana konstruksi bangunan tahan gempa di berbagai daerah di Indonesia. Bahkan Prof Sarwidi telah mencetak ribuan tenaga ahlis konstruksi dan tukang yang mampu membangun bangunan yang memenuhi standar tahan gempa. (lip)
ADVERTISEMENT