Cerpen: Bye-bye Love

Konten Media Partner
10 April 2019 14:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ilustrasi. Foto: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi. Foto: pixabay
ADVERTISEMENT
My love life is very ironic.
Namaku Katya, umur 22 tahun dan beberapa bulan lalu baru saja diwisuda disalah satu universitas negeri di Jogja. Itu artinya aku sudah harus mulai berpikir untuk menghidupi diriku sendiri dan otomatis menjadi bagian dari masyarakat pekerja.
ADVERTISEMENT
Welcome to the new phase of my life’ batinku begitu aku sudah resmi jadi sarjana. Mamaku memintaku untuk tetap tinggal di Jogja dan cari pekerjaan di sini.
Aku mengiyakan saja, bukan berarti aku terlalu penurut dengan semua permintaan mama tapi lebih tepatnya aku sendiri bingung harus pergi ke mana.
Jadi Jogja sudah jadi pilihan terbaik. Ditambah lagi, aku nggak perlu pusing untuk menentukan di mana aku tinggal karena this is my home.
Aku hanya tinggal berdua dengan mamaku. Kakakku sudah merantau jauh dan membangun keluarganya sendiri. Jadi tinggalah kami berdua, cewek berusia 22 tahun dan seorang single mother yang usianya sudah 49 tahun.
Mama seorang pekerja keras. Dia harus mengambil peran ganda sebagai ibu yang mengurus urusan rumah tangga dan juga sebagai ayah yang harus menafkahi keluarga.
ADVERTISEMENT
Prinsipnya yang sangat dipegang teguh adalah ‘Get busy living or get busy dying’ quotes dari Stephen King dalam novelnya yang berjudul Rita Hayworth and Shawshank Redemption. Dan quotes itu begitu terkenal tak hanya di novelnya tapi juga di film adaptasinya yang judulnya Shawshank Redemption.
Mama pernah merasa begitu hancur ketika papa meninggalkan kami demi si wanita sialan itu. Awalnya mama tak punya banyak harta bisa cukup digunakan untuk membiayai aku sekolah SMA dan juga digunakan untuk kehidupan sehari-hari. Sampai akhirnya mama nekat meminjam uang dari saudara sepupunya untuk modal.
Jadilah sebuah toko pakaian yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah kami. Tokonya belum terlalu besar tapi setidaknya cukup untuk membiayai kehidupan kami dan juga menggaji dua orang yang membantu menjaga toko. Aku sangat kagum padanya. Mama begitu mandiri dan kuat menyokong kehidupan keluarganya sendiri. Aku harus bisa seperti mama. Dan segera mencari pekerjaan adalah salah satu hal yang bisa kulakukan untuk memulainya.
ADVERTISEMENT
Hidup sebagai anak dari keluarga broken home membuatku anti-percaya dengan hal remeh seperti cinta. Aku sangat kesal dengan apa yang sudah papa perbuat pada mama.
Dia semudah itu saja pergi. Mungkin semua laki-laki juga sama, bisa pergi dengan sebegitu mudahnya dan mengabaikan yang dirasakan perempuan.
Hingga memasuki umur 24, aku sama sekali tidak pernah menyentuh hal-hal yang dinamakan cinta itu. Cinta? Hubungan? Ah No way, I don’t want it. I can make my own living just like mom. Karena itu aku lebih banyak menghabiskan waktuku untuk kerja, kerja, dan kerja.
Weekend-pun kuhabiskan dengan teman satu gengku atau dengan mama atau bahkan mengundang temanku ke rumah dan kami akan masak-masak dengan mama.
ADVERTISEMENT
Begitu saja sudah ckup bikin aku senang.
Tapi mama tetaplah mama. Dia mulai menua dan tentu saja ingin jika suatu saat anak bungsunya bisa memperkenalkan seorang cowok yang bisa menjagaku nantinya. Mungkin itu sudah jadi pemikiran orang tua kebanyakan bahwa prestasi orang tua adalah menyekolahkan anak setinggi-tingginya, membuat mereka jadi orang sukses atau setidaknya mampu menghidupi dirinya sendiri, dan yang terakhir adalah menikahkan anak.
Aku menimbang-nimbang ucapan mama. Mama pastinya ingin jika semua anaknya menikah dan dia hidup di masa tuanya dengan dikelilingi keluarga dan juga cucu yang lucu. Aku bisa melihat begitu bahagianya mama saat sedang video call dengan keluarga kakak. Matanya berbinar saat melihat Kenzi, anak kakakku yang usianya masih 2 tahun.
ADVERTISEMENT
“Katya, coba tuh-tuh liat si Kenzi. Dia keriting persis kakakmu. Haha lucu itu.”
Mama sambil menunjuk-nunjuk ke layar hp. Si Kenzi terlihat tertawa-tawa kecil melihat neneknya.
“Ya iyalah dia kan keritingnya juga dapat dari mama. Kan kakak anaknya mama. Kenzi anaknya kakak. Ya jelas dapat gen keriting lah”
Aku sambil mengamati si Kenzi yang tidak bisa diam. Kakakku pasti bersusah payah merekam Kenzi yang sudah mondar-mandir nggak bisa diam.
Mungkin tidak ada salahnya mengikuti keinginan mama. Mungkin aku bisa mencoba. Tidak ada salahnya kan?
Beberapa kali sebenarnya temanku bilang ingin mengenalkan aku pada seorang cowok. Aku menolak mentah-mentah saat Nova bilang itu. Cowok yang ingin Nova kenalkan padaku adalah teman dari suaminya.
ADVERTISEMENT
Umurnya 27 tahun dan satu tempat kerja dengan suami Nova. Mungkin bisa dicoba dulu. Kenalan dulu. Nanti kalau tiba-tiba naksir dan cocok bisa dilanjutkan. Aku tidak terlalu menaruh harapan tinggi pada percobaan pertamaku ini.
“Nov, ingat yang waktu beberapa bulan habis kamu merit sama Tonny, yang kamu cerita soal cowok?” Aku menahan gengsi. Bagaimana nggak gengsi. Waktu itu kan aku langsung menolak mentah-mentah dengan dalih mau fokus jadi pekerja keras.
“Yang mana ya Kat?” si Nova malah tidak ingat.
“Nggak jadi deh.” Aku membatalkan niatku. Ah mungkin si cowok yang mau dikenalkan itu sudah punya cewek atau malah sudah merit juga.
“Eh Kat. Yang mana sih?” Nova mengernyitkan dahi. Berusaha mengingat-ngingat obrolan waktu itu.
ADVERTISEMENT
Aku diam saja, fokus ke acara TV yang sedang menayangkan film yang sudah pernah diputar di bioskop.
“Sebentar… sebentar. Wait kayaknya aku mulai ingat.” Aku menoleh ke arah Nova. Ada harapan nih.
“Owalah aku ingat. Si Yudha. Yang temennya Tonny. Btw, dia sering main ke rumah lho. Kapan-kapan kalau pas ada dia deh kamu datang aja.” Nova langsung menyusun skenario untuk mengenalkan aku ke Yudha.
Beberapa minggu setelahnya, Nova mengundang aku ke rumahnya. Pokoknya aku di suruh datang saja. Dia bilang mau acara bakar-bakaran di halaman belakang rumahnya.
“Aku udah siapin ayam. Semua bahan udah ada. Kamu tinggal datang. oke?” suara Nova di telepon.
“Iya deh. Aku datang. aku bawa minuman gitu ya. Cola atau apalah.” Aku menawarkan. Setidaknya aku harus bawa sesuatu buat memeriahkan.
ADVERTISEMENT
“Iya boleh banget. Oh iya Kat. Jangan lupa dandan cantik ya.” Suara Nova tertawa.
Ternyata dia mengundang Yudha juga.
Awalnya aku masih setengah hati untuk memulai. Yudha belum datang ketika aku sampai di rumah Nova dan Tonny. Banyak pertanyaan melayang-layang di benakku ‘Dia ganteng nggak ya? Dia orangnya asik nggak ya? Kira-kira aku bisa klik sama dia nggak ya?’
“Hayoo. Penasaran sama yang namanya Yudha ya?” Nova menggodaku.
Dia benar banget. Bisa membaca pikiranku.
Aku dan Nova sedang memotong sayuran ketika Yudha datang. begitu mendengar suara yang asing, aku langsung menoleh. ‘Dia yang namanya Yudha?’ Hmm good looking juga cowok ini. Tunggu dulu, penampilan nggak menjamin dia adalah orang yang asik. Biasanya cowok ganteng cuma menang penampilan aja dan nggak berbanding lurus dengan kemampuan intelektualnya.
ADVERTISEMENT
Rupanya dia berhasil mematahkan dugaanku. Dia cerdas dan obrolan kami nyambung. Dia orangnya santai tapi cara bicaranya sopan. Kami kemudian bertukar kontak WhatsApp.
Tentunya orang yang sedang pdkt akan jadi sering chatting. Dua minggu kemudian dia mengajakku jalan. Cuma di mall di Jalan Magelang saja sih , tapi cukup seru. Tentu saja selanjutnya kami semakin sering bersama. Kadang kami berdua sering main ke rumah Nova dan Tonny.
“Jadi kapan?” Nova tiba-tiba melontarkan pertanyaan itu.
“Apanya yang apaan sih.” Aku sudah tahu arah pembicaraan Nova. Maksudnya adalah kapan meresmikan hubungan ini.
“Duh kamu tuh pura-pura nggak tahu. Kalian udah deket banget kenapa nggak pacaran?” Nova memang benar. Aku dan Yudha sudah sangat dekat.
ADVERTISEMENT
Sebetulnya aku tidak terlalu memusingkan soal diresmikan atau tidak diresmikan. Toh sama saja. Bedanya kalau sudah diikat denga label yang namanya pacaran memang kamu akan sedikit punya hak atas pasanganmu.
Jadi kalau ditanya-tanya sudah jelas bahwa hubungan kami adalah pacaran. Tapi diikat dengan label pacaran juga rasanya terlalu aneh. Apa memang harus diresmikan seperti yang dilakukan oleh anak-anak ABG saat sedang menjalin hubungan? Entah deh. Aku tidak mau ambil pusing.
“Jadi gimana Kat? Nova masih bertanya karena belum mendapat jawaban.
“Lihat nanti deh. I want the man take the first move.
Aku memang masih menganut percintaan yang begitu konservatif yang mengharuskan cowok yang memulai lebih dulu.
“Apa pun itu deh, Kat. Yang jelas aku dukung kamu buat jadian sama Yudha.”
ADVERTISEMENT
Nova mengedipkan matanya dan tersenyum jahil.
Tiga minggu kemudian, tepatnya sepulang dari nonton film Eiffel… I’m in Love 2, Yudha take his first move.
Kami jadian.
Ja-di-an. Meskipun sudah jadian, bukan berarti aku langsung memperkenalkannya pada mama.
Tidak belum saatnya. Masih terlalu cepat jika Yudha bertemu mama.
“Kamu sekarang sering banget pergi ya.”
Mama duduk di sebelahku yang sedang asik menikmati tayangan FTV.
“Iya ma. Hehe.” Aku hanya nyengir.
“Jadi siapa? Kenapa belum dikenalin ke mama?”
Mama mulai terlihat antusias setelah tahu anaknya, yang akan berumur 25 tahun sebentar lagi, sedang menjalin hubungan dengan lawan jenis.
‘’Nanti dulu ma. Nanti mama aku kenalin ke Yudha. Tapi bukan sekarang. Bukan besok juga.” Aku tertawa. Dasar mama. Baru juga anaknya jadian tapi langsung minta dikenalkan.
ADVERTISEMENT
Seperti biasa. Aku dan Yudha mengagendakan kencan setiap seminggu sekali. Biasanya dia akan menjemput di depan rumahku. Dia belum pernah masuk ke rumahku.
Pokoknya di depan rumah adalah batas dia menjemput dan mengantar aku pulang. Mama biasanya hanya mengintip dari dalam ketika si Yudha datang menjemput atau mengantar. Butuh proses mungkin sampai aku bisa siap memperkenalkan Yudha pada mama.
Ketika akhirnya Yudha kuperkenalkan, mama senang sekali. Mereka cepat sekali akrab. Yudha berhasil memenangkan hati mama. Kadang Yudha mengajak aku dan mama makan di luar. Aku berpikir, setelah ini semuanya akan jadi lebih mudah.
Aku punya pacar yang sayang padaku dan juga perhatian pada mama. Aku bahkan sudah mulai lupa pada persoalan papa yang meninggalkan mama. Lupa juga pada anggapan bahwa semua lelaki itu brengsek seperti papa.
ADVERTISEMENT
Bisa dibilang, saat ini, adalah saat-saat terindahku. Yudha semakin sering main ke rumah. Bahkan dia juga begitu sigap membantu mama saat stok baju-baju baru di toko mama datang. Pokoknya dia baik and my first trial going well.
Saat indah tidak berlangsung lama rupanya. Hidup kan memang tidak diisi hal indah-indah saja. Hubungan pacaran yang awalnya manis-manis saja bisa putus.
Orang yang menikah saja bisa cerai. Aku ingat betul hari itu Yudha mengajak ketemu. Sambil makan, dia bicara soal keinginannya sedikit menjaga jarak dulu denganku. Lho kenapa? Kami baik-baik saja. Kenapa dia jadi tiba-tiba ingin menjauh dulu?
“Cuma sebentar Kat. Aku lagi butuh waktu sendiri dulu. Kita jangan ketemu-ketemu dulu ya.” Dia menatap mataku. Tangannya mengusap-usap punggung tanganku.
ADVERTISEMENT
“Kita memangnya ada masalah apa?”
Nada bicaraku meninggi. Aku kesal. Siapa cewek yang tidak kesal kalau tidak ada masalah langsung diminta untuk berhenti ketemu sebentar.
“Kerjaan, Kat.”
Hanya itu jawabnya. Masalah kerjaan. Klise.
“Kamu nggak pernah kayak gini sebelumnya. Biasanya kalau ada masalah kerjaan, dia tidak akan pernah melarangku untukk ketemu kamu. Kok jadi gini sih.”
Aku mulai marah. Ekspresiku betul-betul menunjukkan kekesalah. Aku tak mau dengar alasan apapun. Pokoknya aku mau tetap ketemu Yudha. Kami kan pacaran. Aku kan pacar dia.
“Tolong ngerti ya, Kat. Aku janji nanti aku kabari kamu.”
Dia tetap memutuskan bahwa aku tak boleh menemuinya sementara waktu. Dia tidak memberikan batasan hingga kapan aku tak boleh bertemu dia. Pokoknya dia bilang sebentar.
ADVERTISEMENT
Dampak aku tidak bertemu dia membuat aku jadi uring-uringan di rumah. Aku kangen dia tapi dia belum juga mengabari kapan aku boleh ketemu. Sudah beberapa minggu Yudha memang tidak menunjukkan batang hidungnya di rumahku. Tentu saja mama jadi penasaran.
“Yudha mana? Biasanya sering ke sini.” Mama bertanya.
“Nggak tahu deh ma.” Aku langsung pergi masuk kamar. Nggak tahu deh. Aku kesal. ‘Yudha, aku tuh kangen’.
Hampir sebulan dia tidak ada kabarnya. Aku main ke rumah Nova. Tonny belum pulang kerja saat itu. Aku cuma duduk mengobrol santai. Tadinya Nova mau mengajak bikin cake, tapi melihat mood-ku yang berantakan, kami nggak jadi melakukannya. Daripada memaksakan bikin cake, nanti rasanya akan tidak enak. Dia belum tahu perkara aku dan Yudha.
ADVERTISEMENT
“Eh iya. Gimana si Yudha?”
Dia bertanya perkembangan hubunganku dengan Yudha.
“Nggak tau deh Nov. Males ngomongin dia.” Aku bete. Sudah tak berniat ngobrol gara-gara terpancing emosi.
Nggak lama setelah itu Tonny pulang.
“Eh. Katya.” Tonny menyapa.
“Baru balik, Ton?” Aku berbasa-basi saja. Menghargai karena Tonny sudah menyapa.
“Iya. Biasa, agak telat gara-gara kerjaan belum selesai.” Jawabnya menjelaskan.
Si Nova tentu saja langsung sigap beres-beres. Kalau sudah merit, setiap perempuan langsung otomatis pergi ke dapur mengambilkan minuman atau apa saja.
“Ton. Memang kantor lagi sesibuk apa sih?” Aku bertanya begitu saja. Aku ingin mengulik sedikit informasi.
“Sibuk? Nggak sibuk-sibuk amat sih. Kenapa memangnya?” Tonny balik bertanya.
“Oh nggak apa. Cuma pingin tahu aja. Oh iya Yudha gimana? Kamu sering ketemu di kantor?” aku bertanya lagi. Kali ini aku terang-terangan bertanya. Harusnya aneh sih kalau seorang perempuan malah tak tahu keadaan pacarnya sendiri dan malah bertanya pada orang lain.
ADVERTISEMENT
“Yudha. Emmmm…… ya gitu baik kok. Kenapa?” Ekspresi Tonny berubah.
Dia terlihat seperti menyembunyikan sesuatu.
Aku hanya menggeleng. Berusaha memperhatikan gelagat Tonny yang menyembunyikan sesuatu.
“Nov, siapin makannya nanti aja. Aku mau mandi dulu” Tonny langsung pergi.
Setelah beres dengan urusan dapur, Nova menghampiri aku lagi. dia sepertinya bisa menangkap bahwa aku sedang ada masalah dengan Yudha.
“Bukannya aku curigain Tonny. Tapi aku ngerasa dia nyembunyiin sesuatu” Aku bicara to the point.
“Soal Yudha kan? Nanti coba aku bantu kamu. Aku tanya ke Tonny. Hey, everything is gonna be okay, Kat. Senyum dong. Jangan sedih-sedih melulu. Jangan dikit-dikit pasang tampang cemberut.” Nova berusaha menghibur.
Di kamar. Belakangan ini aku menghabiskan akhir pekan dengan film-film Netflix. Sudah malas jika diajak keluar. Tidak bersemangat. Belakangan ini Nova juga jadi sering datang ke rumahku.
ADVERTISEMENT
“Eh udah dong. Kamu dulu padahal yang bilang mau semangat terus. Urusan kecil soal cinta nggak bakal menghancurkan seorang Katya Ariesta.” Si Nova menceramahiku.
Membuatku ingat pada komitmenku dulu bahwa aku nggak akan runtuh hanya gara-gara cinta. Bahwa hubungan itu nggak ada artinya.
“Sampai kapan aku harus nunggu Nov?” Aku kesal. Nada bicaraku lagi-lagi meninggi.
“Kat. Udah relain Yudha. Plis. Sekarang saatnya kamu move on ya.” Nova berusaha membujuk.
“Maksud kamu apa? Kenapa aku harus move on dari Yudha? Dia suruh aku tunggu sebentar.”
Nafasku memburu. Aku kesal. Sangat kesal. Dan Nova sekarang sangat menyebalkan.
“Kat, udah ya. untuk kebaikanmu. Jangan ingat-ingat Yudha lagi.” Nova mengelus punggungku.
ADVERTISEMENT
Aku membelakangi Nova. Masih kesal.
“Kat. Yudha,” Nova berhati-hati menyampaikannya.
Takut membuatku semakin marah, “Yudha mau nikah.”
Mataku terbelalak. Apa maksudnya semua itu? Nova memelukku. Mengusap-usap punggungku berusaha menenangkan. Dia tahu bahwa responku akan begini. Sebetulnya dia sudah ingin mengatakannya sejak beberapa hari yang lalu.
“Kenapa?” Aku menangis di pelukan Nova.
“Udah. Udah. Aku ngerti ini berat. Tapi kamu harus belajar nerima itu.” Nova tidak melongarkan sedikit pelukannya.
Aku begitu hancur. Setega itu Yudha membuatku menunggu? Setega itu dia pergi meninggalkan aku? Dasar manusia tidak punya hati. Cowok memang brengsek. Cowok brengsek. Sama brengseknya seperti papa yang pernah meninggalkan mama.
Sekarang semuanya sudah berakhir.
‘Seorang Katya sudah terlalu bodoh mencoba mencintai seorang cowok’.
ADVERTISEMENT
Dan bertahan pada kesendirian sejak dulu adalah pilihan terbaik.
Mama terus membujukku untuk mencoba hubungan yang baru lagi. Aku sudah capek.
“Jangan karena apa yang mama alami, kamu jadi takut mencoba lagi.” Mama berusaha menguatkan.
Love is a bullshit. Semua laki-laki sama saja pada akhirnya ninggalin.”
Aku menahan tangis. Sudah terlalu lelah dengan obrolan soal ini. Muak.
“Sayang,” Mama mendekapku, “Papa dan Yudha cuma sebagian kecil dari laki-laki yang meninggalkan. Masih ada banyak yang lebih baik.”
Mama diam sejenak. Membelai-belai rambutku.
“Semua laki-laki jahat, ma.”
Aku sesenggukan.
“Nggak semua sayang. Kalau semuanya sama saja, tidak mungkin kakakmu sekarang bahagia dengan istrinya. Hubungan mereka baik-baik saja.”
ADVERTISEMENT
“Kita hanya sedang tidak beruntung. Mama dan kamu hanya sedang tidak beruntung mendapatkan cinta yang salah. Mama yakin kamu bisa cari yang lain. Setidaknya dia sudah bisa menunjukkan sejak awal. Itu lebih baik dibandingkan kamu tahu nanti saat kamu menikah dengan Yudha.” Mama menitikkan air mata.
Ingatannya tentang papa muncul lagi. Aku juga disesaki ingatan papa, ingatan Yudha. Begitu menyakitkan. Aku dan mama tidak beruntung.
Bulan-bulan berikutnya, aku sudah mulai kuat lagi untuk menjalani berbagai kegiatanku. Aku mulai terbiasa. Aku mulai berkumpul lagi dengan teman-temanku. Mulai menikamati hidup.
Cinta? Sudahlah. Mau dia ada atau tidak, aku sudah tidak peduli. Aku menjadi keras pada diriku sendiri. Tapi kamu adalah manusia yang tidak bisa mencegah keberadanan cinta di muka bumi. Terlebih lagi kamu juga tidak akan bisa mencegah perasaan seseorang terhadapmu.
ADVERTISEMENT
Seseorang sedang menyukaiku. Seseorang terang-terangan mendekatiku. Dia baru masuk di kantorku. Kami berbeda divisi.
Menyukai aku? Terserah lah. Aku tidak ingin berurusan. Itu hak dia.
Namanya Anton. Dia oranya berani malu. Nekat sekali. Kadang dia menyapa aku ketika nggak sengaja bertemu di lobi kantor. Dia pernah menitipkan sebungkus gudeg lewat temanku untuk diberikan padaku. Dia benar-benar nekat. Lama-lama aku gemas. Aku mendatangi dia ketika makan siang. Yang bikin aku gemas adalah tingkahnya yang konyol.
“Kamu kaya banget ya. Tiap berapa hari sekali sering kasih aku makanan.”
Aku mengangkat plastik putih. Isinya chicken katsu.
Yang dihampiri malah salah tingkah. Ternyata di balik sikap nekat dan konyolnya, dia juga bisa salah tingkah.
ADVERTISEMENT
”Ya itu sebagai salah satu bentuk perhatian ke orang yang aku suka.” Ujarnya menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
“Kok kamu berani suka sama aku?” Aku memojokkannya dengan pertanyaan.
Dia gugup. Dan entah kenapa dia malah jadi lucu sekali. Aku tertawa. Anton tidak semenyebalkan yang aku kira. Aku jadi dekat dengan dia. Bukan berarti aku membalas perasaannya. Hanya menjadikannya teman saja.
Dia cukup asik diajak bercerita. Terutama jika diajak konsultasi soal kerjaan. Dia ternya menguasai banyak hal. Meskipun aku mengabaikan fakta bahwa Anton menyukaiku, bukan berarti dia mundur. Dia tipe cowok yang pantang mundur. Aku malah sudah nggak terlalu memikirkan soal perasaan.
Suatu ketika dia mengajakku jalan. Aku tidak menganggap ajakan jalan in isebagai agenda kencan atau apa, tapi hanya jalan biasa dengan seorang teman.
ADVERTISEMENT
Rupanya Anton sudah siap-siap ingin bicara. Dia tampil keren. Dia ingin menyampaikan perasaannya. Dia bahkan sudah membuat prolog yang dirangkai sedemikian rupa. Tapi aku tak semudah itu ditaklukan. Aku Katya Ariesta. Wanita yang begitu memegang teguh prinsipku bahwa cinta itu adalah omong kosong.
“Aku yakin kamu sudah tahu. Kamu sudah dengar dari teman-teman kantor yang sering meledek. Teman-teman yang sering bilang kalau aku suka sama kamu.”
Dia menghela nafas sebentar. Mempersiapkan diri untuk mengatakan kalimat selanjutnya.
“Tapi rasanya aneh kalau bukan aku yang bilang langsung. Katya,”
Anton gugup bukan main. Seorang manusia konyol ini bisa gugup jika jatuh cinta.
“Aku suka kamu.”
Kalimat itu selesai sudah.
ADVERTISEMENT
Aku terbelalak. Ini kali kedua aku mendengar langsung ungkapan cinta seseorang. Tapi untuk kali ini belum. Aku belum bisa. Aku tidak bisa mungkin. Aku tidak bisa menerima ungkapan cinta itu.
“Maaf. Nggak bisa.” Jawabanku begitu lugas.
Aku pergi dari situ meninggalkan Anton. Anton malu. Dia ditolak. Lebih baik aku jujur mengatakannya. Aku memang nggak bisa.
Hari-hariku diisi dengan kerja dan kerja. Aku bersikap biasa lagi. Beberapa kali aku bertemu Anton di kantor. Dia hanya menyapa sekenanya. Dia tidak lagi mengirim makanan atau menghampiri ruangan divisiku untuk menceritakan hal konyol. Dia menyerah.
Aku, Katya Ariesta, umur 26 tahun tahun ini. Aku tidak percaya cinta saat ini. Untuk saat ini tidak, tapi tidak tahu jika nanti. Semoga saja masih percaya. (bfn)
ADVERTISEMENT