news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Cerpen | Selamat Tinggal

Konten Media Partner
13 April 2019 9:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ilustrasi. Foto: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi. Foto: pixabay
ADVERTISEMENT
Aku pulang ke rumah dengan tubuh yang lelah. Energiku terasa dikuras habis, rasanya aku ingin meledak, beragam emosi yang tidak enak seperti berdesakan ingin muncul. Aku memejamkan mata. Hari ini cukup melelahkan dengan tugas yang tiba-tiba berdatangan.
ADVERTISEMENT
You’re home?” Suara yang berat itu menyambutku begitu pintu rumah terbuka.
I am” jawabku begitu singkat.
Aku sedang kacau.
Rio yang tadinya asik dengan maketnya tiba-tiba berjalan mendekatiku. Dia merentangkan tangannya lebar.
Aku diam mematung. Menatapnya. Dia malah tersenyum, tersenyum lebar sekali. Aku masih diam saja.
Come.” Rio masih merentangkan tangannya dan semakin mendekatiku. Semakin mendekatiku.
Dia menarikku dalam peluknya.
“Kamu bau…” Aku menggerutu.
Meronta dari peluknya. Pasti dia belum mandi.
“Kok gitu. Jangan dilepasin dong.” Dia semakin mengeratkan pelukannya.
Calm down. Okay?” dia mengusap-usap punggungku.
Okay sebenarnya menyebalkan tapi semenyebalkan apapun, di saat dia memelukku seperti ini, rasanya nyaman sekali.
Dia selalu memberikan aku pelukan ketika mood-ku sedang tidak bagus. Dia betul-betul mengerti cara mengembalikan mood-ku. Begini cukup.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya pelukan saja, ada banyak hal romantis yang dia lakukan. Salah satunya yang paling aku ingat saat kami berdua pulang selesai nonton film. Kami berdua kelaparan dan makan di penyetan dekat mall.
Kami jalan karena lokasinya tidak jauh. Selesai makan, hujan malah turun. Mau menunggu tapi mendungnya tebal dan rata, tidak mungkin reda dalam waktu singkat. Mau menerobos kok deras.
Akhirnya kami memilih opsi kedua. Hujan-hujanan saja.
Dia melepas jaketnya dan menudungkannya ke kepalaku. Serius dia hanya pakai kaus dan menerobos hujan. Aku masih sedikit aman karena jaketnya. Sampai di mall lagi, kukembalikan jaketnya. Dia berjalan sambil merangkulku. Tangannya gemetar. Sepertinya dia kedinginan. Kulingkarkan sebelah tanganku ke pingganggnya. Dan dia malah merangkulku lebih dekat lagi.
ADVERTISEMENT
Astaga, ini PDA1 namanya. Itu hanya salah satunya. Masih ada lagi banyak hal yang akan terasa sangat panjang jika kuceritakan. Rasanya aku tidak ingin segalanya berakhir.
Yang jelas, aku tidak ingin semua ini berakhir.
Cukup aku dan Rio. Bukannya semuanya sudah lengkap? Kedengarannya lebay kan? Biar saja.
“Janji kalau kita akan kayak gini seterusnya.”
Suatu ketika aku menanyakan itu padanya. Aku menatapnya lekat.
I promise.” Katanya begitu meyakinkan.
Aku tenang mendengarnya. Aku tidak takut lagi jika ini tiba-tiba berakhir. Dia sudah berjanji. Kami berpelukan erat sekali.
Tapi. Dunia ini setidaknya punya dua sisi seperti mata uang. Tidak hanya ada sisi bahagia-bahagia saja. Ada juga sisi buruk.
ADVERTISEMENT
Dan sisi buruk itu, The bad news is nothing lasts forever.
Dia tiba-tiba menghilang. Hilang tidak mengabari.
Aku mencoba menghubunginya, aku menelepon tapi tak pernah diangkat. Aku mengirim banyak chat ke semua media sosial yang dia punya, tidak dibaca apa lagi dibalas.
Bahkan aku mendatangi tempat biasanya dia nongkrong dengan temannya, tapi aku tidak bisa menemuinya. Kutanya pada temannya tapi mereka juga bilang bahwa dia sudah lama sekali tidak ikut main.
Bulan demi bulan berganti. Aku mulai lelah mencari.
Mungkin memang dia ingin menghilang. Mungkin memang benar bahwa tidak ada yang selamanya. Aku hanya meyakinkan diriku. Jika suatu saat Rio kembali, aku akan menerimanya.
ADVERTISEMENT
Yang menyebalkan saat hujan turun. Aku jadi ingat kejadian waktu hujan-hujanan itu. Bahkan tanpa sadar aku sering berkeliling kota, melewati tempat-tempat yang pernah aku dan Rio datangi. Bertapa gilanya aku.
Kegilaan itu belum berakhir. Hanya tanpa kabar beberapa hari saja, aku sudah merasa kehilangan.
Tapi ini bulan, berbulan-bulan. Lalu suatu ketika aku mendapat pesan dari sebuah nomor tak dikenal yang mengaku sebagai adik Rio.
Isi pesannya berupa pemberitahuan prosesi pemakaman Rio.
Bagaimana aku bisa hidup, Rio? Aku kehilangan dia selamanya.
Pada detik hari itu, detik itu, waktu terasa berhenti. Pipiku sudah dibanjiri air mata.
Pikiranku kacau, bahkan aku sendiri juga seperti tak sadar bagaimana aku bisa sampai ke rumah Rio.
ADVERTISEMENT
Aku mendekat, mengusap peti mati itu. Rasanya ingin berteriak. Energiku seperti tersedot habis karena kesedihan yang amat sangat.
Ini tidak mungkin terjadi. Tubuh yang terbaring di situ, yang mengenakan tuksedo, kuharap itu bukan Rio. Aku ingin mengguncang-guncang tubuhnya. Ingin membangunkannya. Ingin dia berkata bahwa ini adalah acara mengerjaiku setelah kamu menghilang.
Prosesi pemakaman dilakukan siang itu juga. Keluarga Rio berjalan dengan langkah berat penuh kesedihan, beberapa kawan yang datang juga merasa hal yang sama.
Awan mendung. Aku berharap agar tidak hujan. Aku berharap hujan hanya akan membawa kenangan tentangmu yang baik-baik saja.
Adik Rio merangkulku. Kami saling berpelukan. Dia mencoba menguatkan aku. Aku begitu terpukul, rasanya tidak ada orang lain yang sesedih aku saat Rio pergi begini.
ADVERTISEMENT
Tanah itu kembali lagi ditutup, mengubur peti Rio.
Aku ingin berteriak, ingin membuka kembali tahan-tanah yang mulai tertimbun, ingin menggapai Rio. Membangunkannya, memberi tahunya bahwa aku sangat rindu dia. Ya pertemuan kami, setelah sekian lama tidak berjumpa adalah di pemakaman ini.
Aku pulang ke rumah setelah prosesi pemakaman usai.
Kamarku menjadi terasa sesak sekali. Di kamarku ada satu bagian khusus yang menggantung banya foto-fotoku dan dia. Aku memejamkan mata. Aku masih bisa merasakan Rio.
Aku masih merasakan hangat pelukannya. Aku merasakan usapan jemarinya yang menyusupi helai-helai rambutku. Aku ingat suaranya yang berat berbisik mengatakan bahwa dia mencintaiku. Kumisnya terkadang mengelitik kulitku ketika dia dia mencium pipiku. Aku ingin dirinya. Aku ingin saat-saat itu kembali lagi. Nothings lasts forever.
ADVERTISEMENT
Rio pergi. Dan hatiku lebih hancur berkeping-keping. Dia sudah pergi ke tempat yang jauh, abadi, dan tidak bisa kujangkau lagi.
“Rio, aku coba ikhlas.”
Kupeluk tubuhku sendiri erat-erat. Air mataku meleleh. Kubayangkan Rio sedang mendekapku saat ini. (bfn)