Jelang Sidang Isbat, Lukman Hakim Selalu Dapat Pesan dari Ibu-Ibu

Konten Media Partner
9 Oktober 2019 16:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin, saat membuka Pertemuan Pakar Falak MABIMS di Hotel Grand Keisha, Yogyakarta, Rabu (9/10/2019). Foto: Dion
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin, saat membuka Pertemuan Pakar Falak MABIMS di Hotel Grand Keisha, Yogyakarta, Rabu (9/10/2019). Foto: Dion
ADVERTISEMENT
Dalam relasi negara dan agama, banyak negara di dunia hanya menganut dua pola. Keduanya adalah negara agama dan negara sekuler. Namun Indonesia tidak menganut keduanya. Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin, menilai hal itulah yang menjadi ciri khas negara kita.
ADVERTISEMENT
"Dalam negara agama, hubungan antara negara dan agama menyatu menjadi satu. Apa yang dikatakan negara itulah yang dikatakan agama. Arab Saudi, Iran, dan Vatikan adalah contoh negara yang masuk pola tersebut," tutur Lukman saat membuka Pertemuan Pakar Falak MABIMS di Hotel Grand Keisha, Yogyakarta, Rabu (9/10/2019).
Sementara dalam negara sekuler, pemerintah tidak mencampuri dan tidak mengintervensi persoalan-persoalan keagamaan warganya. Semua urusan keagamaan diserahkan kepada masing-masing individu.
"Pola relasi negara dan agama di Indonesia sangat khas. Pemerintah melalui lembaga-lembaga kenegaraannya tidak bisa menetapkan satu persoalan agama yang mengikat seluruh warga negara karena kita terdiri dari beragam agama," kata Lukman.
Adapun komponen yang dapat mengikat adalah konstitusi dan peraturan perundang-undangan di bawahnya. Di samping itu, negara juga tidak bisa menyerahkan begitu saja persoalan-persoalan agama kepada masing-masing individu.
ADVERTISEMENT
"Hal tersebut karena konstitusi dan beberapa regulasi serta tradisi para pendahulu kita mengatakan bahwa persoalan kehidupan keagamaan juga menjadi tanggung jawab negara untuk ikut mengurusinya. Maka dari itu, Indonesia bukanlah negara agama atau sekuler. Kita negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, tetapi kita bukan negara Islam," tegas menteri berusia 56 tahun itu.
Dari situ, negara memposisikan diri sebagai fasilitator kebutuhan hidup umat beragama di wilayahnya. Luqman mencontohkan ketika penentuan awal puasa atau penetapan Hari Raya Idul Fitri. Negara, dalam hal ini Kementerian Agama, tidak bisa menetapkan sendiri secara sepihak, melainkan harus melakukan sidang isbat serta mengumpulkan para tokoh dan organisasi-organisasi masyarakat.
"Persoalannya memang tidak sederhana. Negara juga membutuhkan kearifan agar saat hadir memfasilitasi kebutuhan hidup beragama warganya mampu menyikapi keberagaman itu," ujar politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.
ADVERTISEMENT
Dia kembali menyinggung tentang sidang isbat, dimana hasilnya juga tidak bisa mengikat semua. Hal tersebut karena ada juga ormas-ormas yang merasa mempunyai keyakinan sendiri, dengan caranya sendiri, dan mengumumkannya sendiri.
"Namun terlepas dari itu semua, menjelang sidang isbat penetapan Hari Raya Idul Fitri, WhatsApp saya selalu dipenuhi pesan dari para ibu-ibu. Mereka bertanya malam ini masih shalat tarawih atau sudah bisa memasak opor ayam," canda Lukman yang disambut gelak tawa para hadirin. (Dion/adn)