Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di DIY Terbanyak ke-4 Nasional

Konten Media Partner
5 September 2018 21:01 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan. (Foto: Pexels)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan. (Foto: Pexels)
ADVERTISEMENT
Angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terus meningkat dalam 5 tahun terakhir. Padahal DIY telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur kekerasan terhadap perempuan dan anak sejak 2012.
ADVERTISEMENT
Divisi Sipil dan Politik Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Yogyakarta, Meila Nurul Fajriah, menyebut berdasarkan data Komnas Perempuan, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di DIY sempat mengalami penurunan pada 2012, meski tidak signifikan.
Namun, sejak 2013 hingga 2018, justru angkanya menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Bahkan pada 2018, Komnas Perempuan telah memosisikan DIY di urutan ke-4 sebagai provinsi paling banyak kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Dia menduga kasusnya lebih banyak dari yang terdata, sebab banyak kasus yang tidak dilaporkan ke polisi. "Ada berbagai faktor mengapa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak dilaporkan ke aparat kepolisian," ujarnya di Kantor YLBHI Yogyakarta, Rabu (5/9).
Meila mengungkapkan, aparat penegak hukum menjadi kunci penindakan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sebab, masih banyak penegak hukum yang tidak berpihak kepada korban.
ADVERTISEMENT
Di tingkat kejaksaan misalnya, dia menjelaskan, masih ada yang tidak mendukung penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan hanya memberi tuntutan yang ringan. Meski tidak dipungkiri, kata dia, ada juga jaksa yang sangat peduli kepada korban.
"Kita bandingkan kasus yang ditangani YLBHI Yogyakarta di Sleman dan Kota Yogyakarta. Di Kota Yogyakarta karena jaksanya mendukung, maka kami selaku pengacara diberi hak secara luas untuk berinteraksi dengan korban, namun di Sleman kami masih menunggu. Padahal pendaftaran dua kasus tersebut di daftarkan hampir bersamaan," katanya.
Pada tingkat kepolisian, dia menilai masih ada polisi yang tidak memahami kedudukan korban. Di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT), misalnya, banyak pertanyaan yang memojokkan korban atau menganggap korban sebagai subjek yang salah.
ADVERTISEMENT
Sehingga, ujar Meila, tidak sedikit korban kekerasan itu yang mancabut laporannya karena merasa proses hukum tidak berpihak padanya.
Dia mengatakan, saat ini YLBHI Yogyakarta menangani 5 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan latar belakang berbeda. Kasus pertama yang mereka tangani adalah seorang siswi SMA yang diancam akan diperkosa karena menolak menjalin hubungan asmara dengan pelaku.
Kasus kedua menimpa seorang perempuan yang diancam mantan kekasihnya akan disebarkan foto telanjangnya jika mengakhiri hubungan mereka. Kemudian, kasus ketiga adalah pelecehan seksual oleh seorang laki-laki terhadap perempuan di tempat umum.
"Kasus yang lain adalah foto perempuan diedit, terus diedarkan di situs porno dengan identitas dipalsukan. Dan kasus terakhir anak kecil diancam foto telanjangnya disebarluaskan jika tidak bersedia berhubungan badan dan ini terjadi berulang-ulang," ungkapnya. (erl/fra)
ADVERTISEMENT